tirto.id - Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Ditjen Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri buka suara terkait tiga karung berisi ribuan bahan mirip pelapis e-KTP yang ditemukan warga Cimanggis, Depok, Jawa Barat, 18 Maret 2019. Mereka memastikan bahan itu bukan blangko e-KTP.
Direktur Jenderal Dukcapil Kemendagri Zudan Arif Fakrulloh menjelaskan, dalam sejarah penerbitan KTP di tanah air, khususnya sejak Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Adminduk, lembaganya tidak pernah mengenal blangko atau lembaran, seperti yang ditemukan di Cimanggis, Depok.
“Blangko KTP-el yang digunakan dalam pelayanan di Dinas Dukcapil selalu dalam bentuk kepingan yang sudah dipreperso [pre persona] sebagaimana KTP-el yang ada di dompet kita masing-masing,” kata Zudan dalam rilis yang diterima Tirto, Senin (25/3/2019).
Zudan pun memastikan material mirip lapisan e-KTP yang ditemukan di Depok bukan bersumber dari titik pelayanan Dinas Dukcapil. Zudan mengklaim dokumen yang ditemukan warga tersebut bukan dokumen kependudukan.
“Terdapat banyak titik pembeda. Tidak cukup dengan kasat mata menentukan asli atau tidak. Namun yang pasti bukan properti atau sarana pelayanan administrasi kependudukan di Indonesia,” kata Zudan.
Hal ini sejalan dengan hasil penelusuran Direktur Informasi Administrasi Kependudukan (PIAK) Akhmad Sudirman Tavipiyono saat mendatangi Polres Depok. Tavip memastikan yang ditemukan warga blangko e-KTP. Saat ini, bahan pembuatan e-KTP yang sudah reject itu diamankan di Polres Depok untuk dimusnahkan.
Zudan menegaskan, Kemendagri bergerak cepat untuk menyelesaikan masalah ini karena menjelang Pemilu 2019. “Pemilu semakin dekat, tanggung jawab kami bersama termasuk Kemendagri untuk memastikan suasana pemilu aman dan kondusif,” kata dia.
Zudan berharap masyarakat lebih bijak menyikapi isu-isu yang bisa memancing keresahan, seperti isu e-KTP. Cara terbaik, kata dia, adalah menelusuri kebenarannya melalui lembaga resmi yang punya tanggung jawab akan hal itu.
“Ya seperti halnya KTP-el, informasi dan klarifikasi resmi pastilah dari Kemendagri atau pihak kepolisian,” kata Zudan.
Zudan mengatakan dirinya sudah melaporkan masalah ini kepada Mendagri Tjahjo Kumolo. Menurut Zudan, Tjahjo memberikan arahan untuk dilakukan tindakan cepat sesuai dengan prosedur dan aturan yang berlaku, terutama tindakan pengamanan.
“Sekali lagi kami pastikan ini bukan blangko KTP-el, tetapi bahan pembuatan KTP-el yang sudah reject atau rusak,” kata Zudan.
Bukan Kejadian Pertama
Kasus blangko e-KTP yang ditemukan di Cimanggis, Depok ini, bukan yang pertama. Pada awal Desember 2018, misalnya, masyarakat juga menemukan e-KTP sekitar seperempat karung yang dibuang di Pondok Kopi. KTP rusak tersebut langsung diamankan Dukcapil dan dimusnahkan.
Pada bulan yang sama, menyeruak juga isu jual-beli blangko e-KTP di toko daring. Kemendagri pun merespons dengan melaporkan penjual ke aparat. Mereka pun membuka identitas pelaku yang memperjual-belikan itu.
Anggota Ombudsman RI Ninik Rahayu mengkritik permasalahan temuan blangko e-KTP ini. Ia menilai Kemendagri harus memberikan penjelasan agar masalah ini tidak terulang kembali.
“Kemendagri harus memberikan penjelasan resmi, dan memastikan hal ini tdk terjadi secara berulang, karena menimbulkan keresahan masyarakat," kata Ninik saat dihubungi reporter Tirto, Senin (25/3/2019).
Ninik memandang, kepolisian seharusnya mengawal proses pemusnahan bahan baku e-KTP dalam kasus Cimanggis. Ia pun meminta agar insiden yang sama tidak terulang. Sebab, ia khawatir terjadi maladministrasi bila kejadian serupa terus berulang.
“Keberulangan artinya ada potensi maladministrasi karena ada pembiaran kesalahan berulang dalam proses pemusnahan. Maka perlu Kepolisian memastikan pengamanannya,” kata Ninik.
Sementara itu, dosen administrasi dari Universitas Indonesia (UI) Defny Holidin melihatnya dalam dua hal. Pertama, Defny beranggapan wajar bila Kemendagri mengklaim blangko yang ditemukan di Cimanggis bukan blangko kependudukan.
Namun, kata dia, Kemendagri tetap harus bertanggung jawab karena lalai dalam ketidaktuntasan pembersihan atau penarikan blangko berbahan baku versi lama dari unit-unti kerja hingga kelurahan.
Kedua, kata Defny, Kemendagri juga seharusnya bisa langsung memusnahkan komponen e-KTP yang ada di dalam lingkungan Kemendagri. Akan tetapi, kata dia, mereka tidak mempunyai standar untuk menyelesaikan masalah tersebut.
“Kalau kota coba lihat dari gambaran yang lebih luas, saya melihat ini bersumber pada narasi kebijakan peralihan dari KTP konvensional ke e-KTP tanpa disertai mitigasi yang memadai untuk mengantisipasi celah-celah kelemahan prosedur implementasi kebijakan. Kemendagri hanya fokus ke pendataan, pun tak berkinerja memuaskan,” kata Defny.
Meski tidak ingin menunjuk siapa yang salah, Defny menyebut Kemendagri dianggap sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam berulangnya masalah blangko e-KTP ini.
Sebab, kata dia, Kemendagri seolah luput memperhatikan ekosistem kebijakan integrasi administrasi kependudukan, mulai dari arsitektur sistem informasi, pendataan, back up basis data, hingga pemusnahan data dan material yang tak diperlukan.
Defny berharap, Kemendagri segera melakukan sejumlah langkah agar kasus berkaitan blangko e-KTP tidak terulang. Salah satunya, kata dia, Kemendagri harus melakukan isolasi dari tingkat kelurahan dan merekapitulasi jumlah blangko.
Selain itu, kata Defny, mereka semestinya melakukan sortir ketersediaan blangko e-KTP dan KTP konvensional. Menurut dia, Kemendagri juga mesti melakukan labeling berupa barcode sticker pada e-KTP sebagai identitas yang mudah dilacak atau diidentifikasi.
Tak kalah pentingnya, kata Defny, Kemendagri juga mesti menghancurkan semua blangko konvesional dengan mesin penghancur, dan memberikan peringatan serta sanksi atas beredarnya blangko konvensional yang masih beredar di publik.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz