Menuju konten utama

Dua Tahun Setelah Jokowi Ancam Ubrak-abrik Pelabuhan di Priok

Indeks logistik Indonesia memang naik, tapi kalah kompetitif dengan beberapa negara ASEAN. Masih banyak pekerjaan rumah seperti sektor kepabeanan di pelabuhan.

Dua Tahun Setelah Jokowi Ancam Ubrak-abrik Pelabuhan di Priok
Truk melintas di genangan air akibat air hujan di jalan keluar Jakarta International Container Terminal, Tanjung Priok, Jakarta Utara, Kamis (4/1/2018). tirto.id/Arimacs Wilander

tirto.id - "Mau bersaing bagaimana kalau 7-8 hari. Ada 8 crane kok hanya satu yang beroperasi, apa ini ada tawar-menawar untuk pungli. Saya pastikan saya ubrak-abrik”

Kata-kata bernada ancaman ini keluar dari mulut Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat peresmian Terminal I Kalibaru di Tanjung Priok pada 13 September 2016.

Jokowi marah karena kegiatan bongkar dan keluar barang (dwelling time) di berbagai pelabuhan utama di Indonesia, khususnya di Pelabuhan Belawan dan Tanjung Perak, terbilang lama masih memakan waktu 7-8 hari. Di Pelabuhan Tanjung Priok rata-rata baru mencapai 5,6 hari, jauh di bawah target 4,7 hari.

Namun, capaian saat itu sudah lebih baik ketimbang pada Januari 2015, ketika dwelling time di Tanjung Priok sempat mencapai 8-9 hari, termasuk proses dokumen di kepabeanan (custom). Persoalan ini turut andil membuat ongkos logistik Indonesia cukup tinggi dibandingkan negara-negara ASEAN. Dalam dokumen Bank Dunia, saat itu ongkos logistik Indonesia mencapai 25 persen dari total penjualan sektor manufaktur, sementara Thailand hanya 15 persen, dan Malaysia 13 persen.

Upaya perbaikan tata kelola pelabuhan oleh BUMN maupun pemerintah memang sempat digaungkan. Pada Maret 2018, Jokowi meluncurkan perizinan kepabeanan secara online, sejalan dengan Peraturan Menteri (PDF) Nomor 29/PMK.04/2018 tentang Percepatan Perizinan Kepabeanan dan Cukai dalam Rangka Kemudahan Berusaha.

“Sangat kuno sekali begitu kita isi dokumen kepabeanan. Sangat kuno sekali untuk isi dokumen bertumpuk-tumpuk. Kuno sekali,” ucap Jokowi seperti dikutip dari Antara.

Upaya reformasi khususnya di sektor kepabeanan masih bermasalah setidaknya menurut Bank Dunia, yang mengganjar indikator kepabeanan Indonesia dengan nilai terendah 2,67 poin. Nilai itu menempatkan Indonesia di posisi ke-62 dalam indeks kinerja logistik atau Logistic Performance Index (LPI) (PDF) yang dirilis 2018.

Namun, pada Laporan kinerja tahun 2017 (PDF) Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) mengklaim realisasi waktu penyelesaian proses kepabeanan rata-rata mencapai 0,87 hari atau lebih cepat dari target selama satu hari. Paling cepat terjadi di Pelabuhan Tanjung Priok 0,79 hari. Di Tanjung Emas mencapai 1,94 hari, masih lebih lambat dari target yang ditetapkan selama 1,4 hari, di Pelabuhan Belawan justru lebih cepat dari target. Catatan DJBC juga menyebutkan capaian dwelling time 2017 masih di bawah target yaitu 3 hari dari target dwelling time nasional 2,5 hari.

Efisiensi bea cukai dan pengelolaan perbatasan menjadi salah satu dari enam indikator penilaian analisa LPI yang dilakukan oleh World Bank. Indikator lainnya adalah berupa kualitas perdagangan dan infrastruktur terkait transportasi, kemudahan mengatur pengiriman internasional yang kompetitif, kompetensi dan kualitas layanan logistik, kemampuan mencari jalur dan melacak kiriman, serta frekuensi pengiriman yang tepat waktu.

Indonesia mengantongi skor tertinggi dalam indikator ketepatan waktu dengan nilai 3,67 poin dan berada di urutan ke-41 dari 160 negara yang disurvei. Sedangkan indikator infrastruktur, mendapat skor 2,89 poin dan berada di posisi ke-54. Secara keseluruhan, kinerja logistik Indonesia dalam LPI kali ini naik 17 tingkat ke posisi ke-46 dengan skor 3,15 di 2018. Dua tahun lalu, Indonesia menempati posisi 63 dengan skor 2,98 di dari 160 negara yang disurvei dalam indeks tersebut.

LPI adalah indeks kinerja logistik dunia yang dirilis oleh Bank Dunia setiap dua tahun sejak 2012. Indeks ini mengukur kinerja pada logistik perdagangan dalam suatu negara. Semakin kecil angka yang didapat sebagai peringkat, maka semakin bagus kinerja logistik negara tersebut.

Secara keseluruhan, peringkat Indonesia memang meningkat. Namun, peringkat LPI Indonesia di antara negara-negara ASEAN justru masih tertinggal. Saat ini, di antara negara-negara ASEAN, Singapura memimpin di posisi ke-7 dunia. Diikuti selanjutnya oleh Thailand di peringkat ke-32, Vietnam di urutan ke-39, Malaysia di posisi ke-41. Indonesia yang berada di peringkat 46, hanya unggul dengan Filipina di urutan ke-60, Brunei Darussalam di posisi ke-80, Laos ke-82, Kamboja ke-98, dan Myanmar di posisi ke-137.

Infografik Negara berkembang

“Peringkat LPI yang naik drastis adalah Laos diikuti Thailand yang bahkan sekarang posisinya mengalahkan Malaysia. Peringkat Vietnam melampaui Malaysia maupun Indonesia. Ini artinya, meski meningkat namun peringkat Indonesia di antara negara-negara ASEAN justru menurun,” jelas Setijadi, Chairman dari lembaga independen Supply Chain Indonesia, kepada Tirto.

Setijadi menyoroti rendahnya skor yang diraih Indonesia dalam indikasi kepabeanan. Menurutnya, perlu dilakukan analisis lebih lanjut sebagai tahap awal upaya perbaikan. Perlu adanya pembenahan di bidang kepabeanan Indonesia juga diakui oleh Darmaningtyas pemerhati transportasi dari Institut Studi Transportasi (Intrans).

“Kepabeanan adalah hal dasar, kalau mendapat skor rendah maka harus mendapat perhatian khusus dari pemerintah. Saran saya perlu ada tim independen yang mengaudit kinerja kepabeanan Indonesia. Harus dicari tahu kenapa kepabeanan Indonesia bisa lemah seperti itu,” ujar Darmaningtyas kepada Tirto.

Lemahnya penilaian di indikator kepabeanan, juga mendapat catatan dari Adil Karim, Sekretaris Umum Asosiasi Logistik Forwarder Indonesia (ALFI). Proses penjaluran alur keluar barang di bea cukai adalah penyebabnya. Ia mencontohkan, untuk jalur kuning, proses di bea cukai memakan waktu antara 2-3 hari dan bahkan butuh waktu lebih lama yaitu 4-5 hari untuk jalur merah.

“Proses lambat, relokasi lambat, respons penyelesaian dokumen lambat. Ini yang harus diperhatikan oleh para pemangku kepentingan,” ucap Adil kepada Tirto.

Catatan lain dari kenaikan peringkat Indonesia di LPI, adalah ihwal perkembangan infrastruktur. Pada indeks 2018, indikator infrastruktur memang membaik peringkatnya di posisi ke-54, melompat jauh dari posisi 2016 yang hanya berada di peringkat ke-73. Laporan Bank Dunia ini memang linier dengan capaian fokus kerja pemerintahan Jokowi selama empat tahun terakhir yang mengalokasikan anggaran cukup besar di sektor infrastruktur. Anggaran infrastruktur sudah mencapai Rp410 triliun di 2018, naik sekitar 170 persen dibandingkan 2014 yang hanya Rp154 triliun.

Pembangunan infrastruktur erat kaitannya dengan kinerja logistik. Ziaul Haque Munim dan Hans Joachim Schramm dalam jurnal pengiriman dan perdagangan berjudul The impacts of port infrastructure and logistics performance on economic growth: the mediating role of seaborne trade, terdapat kontribusi besar yang mendasar dari kualitas infrastruktur pelabuhan dan kinerja logistik terhadap pertumbuhan ekonomi dan daya saing suatu negara.

Kualitas infrastruktur Indonesia dalam Global Competitiveness Index 2017-2018 (PDF) berada di urutan ke-52 dengan skor 4,52 poin. Namun, secara keseluruhan, peringkat infrastruktur yang dimiliki Indonesia berdasarkan indeks ini berada di peringkat ke-68 dengan skor 4,1 poin. Capaian tertinggi adalah untuk kualitas infrastruktur jalur kereta api dengan skor 4,2 poin dan berada di peringkat ke-30 dari 137 negara yang disurvei. Kualitas infrastruktur pelabuhan di Indonesia masih dianggap rendah yang berada di peringkat ke-72 dari 137 negara yang disurvei. Ini masih jadi pekerjaan rumah yang belum selesai jelang berakhirnya pemerintahan di tahun depan.

Baca juga artikel terkait PELABUHAN atau tulisan lainnya dari Dea Chadiza Syafina

tirto.id - Ekonomi
Penulis: Dea Chadiza Syafina
Editor: Suhendra