tirto.id - "Karakter paling favorit yang pernah lo tulis, siapa, Mbak?"
"Dara … dan Bima," sahut Gina S. Noer selang dua detik. "Gue suka banget sama karakter utama di Dua Garis Biru ini," tambahnya.
Percakapan itu terjadi di ujung Maret kemarin, ketika Dua Garis Biru belum tayang dan masih dalam proses penggodokan final. Kala itu, kami sedang mengobrol tentang industri film Indonesia dan nasib perempuan di dalamnya. Gina berbagi kisah pengalamannya sebagai penulis naskah dan produser selama lebih dari satu dekade terakhir.
Sepanjang karier sejak 2006, Gina telah terlibat dalam 14 film panjang sebagai penulis naskah dari total 16 film. Dari Lentera Merah (2006) sampai Keluarga Cemara (2019). Film-film yang ditulisnya masuk box office, salah satunya Habibie & Ainun (2012) yang meraup 4,5 juta penonton. Bisa dibilang, Gina adalah salah satu penulis naskah paling populer dan produktif saat ini di industri film Indonesia.
Dari semua karya-karya itu, ia menyebut Dara dan Bima—sepasang remaja yang terjebak married by accident—sebagai karakter favorit. Pertanyaannya, kenapa?
Saya harus memendam penasaran cukup lama untuk membuktikannya sendiri, dan paham mengapa dua bocah itu istimewa buat Gina.
Yang Timpang dan Seimbang
Sejak awal film Dua Garis Biru diputar, kita sudah melihat Dara (Adhisty Zara) dan Bima (Angga Yunanda) duduk berdampingan, tapi berdiri di dua panggung yang berbeda. Di dalam ruangan yang sama, dua karakter itu punya nilai berbeda — nilai yang menentukan bagaimana mereka akan diperlakukan oleh seisi kelas, oleh orang-orang sekitarnya.
Dara berdiri saat gurunya memanggil murid-murid dengan nilai ulangan 100. Ia diumumkan sebagai suri tauladan oleh sang guru. Sementara itu, Bima berdiri saat angka 40—nilai terendah—disebut, dan disoraki sekelas.
Adegan itu memang dirakit sesantai mungkin, dibalur humor. Namun, sejak awal sekali, Gina tampaknya tak hanya ingin kita tahu bahwa Zara lebih pintar dari Bima. Adegan itu berfungsi sebagai penjelas ketimpangan kelas kedua karakter utama ini, sekaligus pengenalan identitas yang akan berpengaruh pada pola pikir dan cara mereka mengambil keputusan.
Mata kamera berpindah ke rumah Dara, tempat keakraban dua remaja ini jadi pertunjukan utama. Mereka bergurau di kamar, tertawa pada hal-hal kecil dan remeh, termasuk obsesi Dara pada Korea Selatan dan para boyband-nya.
Dara memupur pipi Bima pakai highlighter, sekalian memulas bibir kekasihnya dengan gincu merah muda. Lalu mengambil selfie dan mengancam akan mengunggahnya ke Instagram. Mereka berdua memang tertawa, tapi Bima tak sudi.
Ia berani dan tak takut pakai mekap di depan Dara—mungkin karena ingin bisa setampan "suami-suami Dara" di poster-poster dalam kamar itu—tapi keberaniannya menciut jika selfie mereka harus dilihat dunia.
Sepenggal adegan yang menyindir kerapuhan maskulinitas lelaki itu cuma sekejap, dan tetap dibalur humor. Dara dan Bima terlibat tarung gemas memperebutkan ponsel Dara di atas kasur.
Sindiran-sindiran sosial seperti ini dibongkar Gina dengan santai, tapi amat rinci. Mirip sekali dengan cara sutradara Edwin menjabarkan konflik kompleks dalam Posesif (2017), film yang naskahnya juga dibidani Gina S. Noer.
Ia masih setia pada teknik "show, don’t tell" dalam Dua Garis Biru sehingga semua kritik dan pelajaran yang disisipkan Gina sangat jauh dari kesan menggurui meski isinya adalah "Pendidikan Seks 101" yang biasa ada dalam brosur-brosur penyuluhan di Puskesmas.
Akan ada dialog tentang bahayanya hamil muda, risiko kematian pada ibu, apa yang harus dilakukan ayah muda, imbauan untuk berdiskusi tentang pendidikan seks di rumah, debat tentang adopsi dan aborsi. Semua lengkap dibungkus Gina jadi satu, rapi, dan terkadang kocak.
Cara Gina yang sabar dan detail menjabarkan konflik sekaligus solusinya tentang isu seks dan pernikahan di usia dini ini perlu diacungi jempol. Apalagi, ia berhasil menerjemahkan kemampuan mumpuninya dalam menulis naskah menjadi visual apik, dalam kesempatan pertama sebagai sutradara.
Dialog-dialog dalam film ini nyaris seratus persen meluncur mulus dari mulut semua tokohnya. Alhasil, perdebatan mereka bukan cuma akrab di telinga karena seperti percakapan sehari-hari, tapi juga intim.
Gina pernah cerita tentang kekesalannya sebagai penulis naskah film. Tak jarang, kedalaman karakter-karakter yang diciptakannya terpangkas ketika film sudah jadi dan diputar di bioskop, sebab keputusan final ada di ujung telunjuk sutradara dan produser.
Kini, saat bangku itu ia yang duduki, Gina tampil tak setengah-setengah. Ia sadar mengapa posisi sutradara dan produser amat penting diduduki perempuan, terutama ketika menarasikan cerita-cerita perempuan.
"Gue berasa banget sekarang pas jadi sutradara. Emang beda banget sih pas lu meletakkan kamera, lu nge-cut di titik yang mana ketika lu punya pembelaan terhadap perempuan atau enggak. Ini, tuh, penting banget di ranah pop karena representasi perempuan di layar punya pengaruh besar," kata Gina pada saya, Maret kemarin.
Si Kaya dan Si Miskin
Selain isu "Pendidikan Seks 101" yang dirayakan media dari Dua Garis Biru, sebetulnya ada isu si kaya dan si miskin yang turut dipotret Gina dengan dingin.
Perbedaan kelas itu mungkin sempat terselip dalam sebaris atau dua baris dialog, tapi lebih sering direkam Gina lewat visual yang cantik. Misalnya, bagaimana Dara berjalan melewati gang-gang sempit di bantaran sungai untuk sampai ke rumah Bima.
Hanya sepersekian detik, Dara langsung dipertontonkan hiruk-pikuk hidup orang dewasa setelah berumah tangga sampai menemui ajal. Semuanya tak indah, apalagi yang ditontonnya adalah rumah tangga kelas bawah — sebuah pertunjukan yang selama ini tak kelihatan apalagi kedengaran dari kamarnya yang nyaman dan lengkap dengan bak berendam.
Sungguh pengalaman yang kontras, saat ia pertama kali tidur di kamar Bima yang dindingnya nyaris tak berjarak dari suara dangdutan, dan teriakan minta uang jajan anak tetangga sebelah.
Lewat karakter Ibu Bima (Cut Mini) dan Ibu Dara (Lulu Tobing), jurang kelas itu juga tergambar makin jelas. Cut Mini mewakili kelas religius dan pendidikan yang tak terlalu tinggi, sementara Lulu Tobing mewakili ibu kelas menengah ke atas yang paham betapa eratnya masa depan cerah dengan pendidikan tinggi.
Dialog mereka sering kali yang paling kontras. Cut Mini ingin anaknya menikah, Lulu Tobing pengin cucunya diadopsi. Cut Mini tak ingin anaknya cerai, Lulu Tobing ingin anaknya sekolah lagi mengejar pendidikan tinggi.
Cut Mini selalu ditempeli dialog penyesalan yang terus-terusan mencari kesalahan dirinya sendiri sebagai seorang ibu dan Bima sebagai anaknya. Sementara itu, Lulu Tobing, dilengkapi dialog solutif dan otoritatif, cenderung ingin segera melupakan masalah dan mengambil alih kendali hidup Dara.
Dua kutub ini menggambarkan bagaimana perempuan (sebagai orang tua) memandang diskursus penikahan dini melalui pijakannya masing-masing. Dua perspektif yang tak jarang dipakai ketika menghadapi ihwal yang dialami Dara dan Bima.
Lagi, untuk kejeliannya mengobservasi dan menjabarkan problematika ini, debut Gina sebagai sutradara ini perlu dirayakan.
Lakon para aktor yang berhasil menyampaikan dialog-dialog hidup yang ditulis Gina juga perlu diapresiasi. Ada adegan long shot di UKS yang begitu rapi dan presisi mengumbar emosi semua tokoh utama di dalam film ini yang berhasil menyentuh klimaks. Bukti bahwa kerja sama Gina sebagai sutradara dengan para pemainnya betul-betul serius dan patut jadi obrolan di media sosial.
Dua Garis Biru bukan cuma berani mengangkat isu sensitif, tapi juga jadi tontonan yang penting. Mengingat, angka pernikahan dini di Indonesia sebetulnya cukup mengkhawatirkan. Per 2017 saja, UNICEF mencatat 14 persen anak-anak di Indonesia menjadi pengantin sebelum berumur 18 tahun. Ada 1,45 juta anak menjadi pengantin perempuan.
Penyebab ramainya praktik ini bukan cuma pendidikan seks yang ditabukan oleh stigma masyarakat, tapi juga kemiskinan dan jenjang sosial yang juga berhasil direkam Gina lewat jembatan di dekat rumah Bima. Beberapa kali jembatan itu dijadikannya metafora penghubung antara hidup si kaya dan si miskin, sekaligus metafora transisi kehidupan keluarga Dara dan Bima yang berubah sejak kehamilan itu datang.
Menariknya, Gina bukan cuma sekali menggunakan simbol-simbol, macam jembatan. Yang paling mencolok adalah ondel-ondel biru yang menolong Bima dan masuk ke mimpi Dara. Gina memberikan ruang yang luas bagi penonton untuk menginterpretasikan makna simbol ondel-ondel itu. Sebagai catatan, dalam tradisi Betawi, ondel-ondel biasa dianggap sebagai leluhur yang melindungi keturunan atau anak-cucunya.
Lebih lanjut, Gina juga tampaknya sengaja hanya memakai ondel-ondel perempuan untuk mempertebal makna nurturing yang memang ingin dijadikannya sorotan utama dalam film ini. Walaupun sebenarnya, banyak metafora bisa diartikan apa saja, dan jadi diskusi panjang.
Begitu pula dengan keputusan Gina memberikan ruang pada semua perspektif dan debat masuk ke dalam Dua Garis Biru. Tidak sedikit orang di media sosial yang menangkap keputusan kepala sekolah mengeluarkan Dara dari sekolah dan membiarkan Bima sekolah sebagai sebuah kewajaran. Padahal, menurut saya, Gina memasukan adegan itu sebagai sebuah pertanyaan tentang standar ganda yang sudah diamini masyarakat patriarkis sejak lama.
Ada banyak sindiran-sindiran semacam itu yang memang sengaja dipaparkan Gina dengan dingin, dan dituntaskan dengan solusi mutlak di ujung film. Solusi yang mungkin akan ganjil di mata masyarakat misoginis, tapi penting untuk dihadirkan. Sebuah kontroversi yang cukup untuk membuat Dara dan Bima pantas jadi karakter favorit.
Editor: Ign. L. Adhi Bhaskara