tirto.id - Dunia dalam Yesterday adalah dunia yang membosankan. Tak pernah ada band bernama Oasis (bagaimana dengan Blur?), Coca-Cola, rokok, dan Harry Potter.
Andai hal-hal menyenangkan itu memang tak pernah ada, segala penderitaan di dunia mungkin saja masih bisa tertangguhkan. Tapi bagaimana jika band sebesar The Beatles, yang kerap dianggap sebagai band terbesar dan paling berpengaruh sepanjang sejarah musik, tak pernah ada? Benarkah hidup menjadi benar-benar suram?
Atau: bagaimana jika orang lain tak mengenal Beatles, dan hanya kamu yang tahu lagu-lagu mereka?
Yesterday (2019), film terbaru Danny Boyle, adalah upaya menghadirkan sebuah dunia semacam itu. Sayangnya, premis awal yang menjanjikan itu kehilangan fokus di tengah adukan plot komedi romantis.
Cerita dibuka dengan kisah Jack Malik (Himesh Patel), seorang musisi yang kepayahan mengembangkan karier. Ia manggung di warung kopi dan bar tempat nongkrong teman-temannya, diabaikan banyak orang, dan sesekali juga bernyanyi di jalanan yang kosong. Ellie (Lily James), kawan masa kecil yang diam-diam menaruh hati pada Jack sejak melihatnya membawakan "Wonderwall", mau jadi manajer sekaligus supir sekalian pemberi semangat.
Jack, yang masih tinggal dengan orangtuanya di Suffolk, ingin menyerah karena tak kunjung berhasil. Ia memilih bersikap realistis dan ingin kembali menjadi guru seperti Ellie. Tapi Ellie yang percaya pada bakat Jack, terus menyemangatinya.
Suatu hari, berawal dari hari yang buruk, Jack dan Ellie bertengkar. Jack naik sepeda, dan tiba-tiba saja: seluruh dunia mengalami pemadaman listrik selama 12 detik. Naas, Jack ditabrak bus.
Sejak itu, dunia Jack tak sama lagi. Ketika diberi hadiah gitar dan Jack memainkan "Yesterday", semua kawan-kawannya terperangah, tak tahu salah satu lagu terpopuler di dunia itu.
"Kapan kamu bikin lagu itu?" tanya Ellie.
"Bukan aku yang bikin. Paul McCartney yang bikin. The Beatles."
"Ha? Siapa?"
Begitulah. Seolah tak pernah ada band bernama The Beatles, dan hanya Jack yang tahu band itu serta lagu-lagunya.
Tak yakin, Jack berusaha mencari The Beatles di Google, namun sama sekali tidak menemukan rekam jejak grup musik legendaris itu. Menyenangkan melihat betapa absurdnya Jack bertanya mengenai The Beatles kepada banyak orang, termasuk kawan-kawannya. Tak seorang pun yang pernah mendengar soal empat dewa dari Liverpool itu.
"Berarti aku dalam posisi yang sulit," gumam Jack.
Jack akhirnya memilih untuk memainkan lagu-lagu Beatles, dan mengaku itu lagu-lagu miliknya. Seperti bisa ditebak, lagu-lagu Beatles tak lekang waktu, tetap disukai oleh banyak orang. Jack perlahan terkenal, jadi pembuka Ed Sheeran, lantas didapuk sebagai calon musisi terbesar sepanjang masa.
Dalam pusaran popularitas, Jack kemudian dihantui pertanyaan: apakah yang dia lakukan ini benar?
Yesterday bukanlah film pertama Danny Boyle yang berkisah tentang kehidupan para legenda. Ia pernah menyutradarai biopik Steve Jobs (2015) dan memproduseri Battle of the Sexes (2017) tentang petenis Billie Jean King.
Pada Maret 2018, Boyle dan Richard Curtis mengumumkan akan berkolaborasi menggarap komedi musikal dengan latar waktu 1960-an atau 1970-an tentang satu-satunya musisi yang ingat The Beatles. Rencana ini bergeser. Latar waktu dipindah ke Britania Raya hari ini, lalu jadilah Yesterday.
Yesterday sebenarnya tak hanya berkisah tentang Beatles. Di luar sisi komedi romantis, film ini juga berusaha menjelaskan bagaimana industri musik bekerja. Pembahasannya mulai dari sosok agen sekaligus manajer, Debra Hammer (Kate McKinnon); para publisis yang bekerja menentukan imaji seorang bintang; hingga bagaimana proses rekaman dimulai.
Sayangnya, pengisahan industri musik ini juga terlalu tipikal, klise, dan ketinggalan zaman. Misalkan, soal penggambaran manajer musik yang culas. Ini stereotyping peninggalan masa lalu,menggambarkan manajer sebagai orang yang serakah dan musisi sebagai orang yang polos dan mudah ditipu.
Karakter Debra juga jadi ironis, mengingat Brian Epstein, orang yang pertama menemukan Beatles dan jadi manajer pertama mereka, menjalani perannya dengan baik, hingga diberi gelar The Fifth Beatles.
Dari segi cerita, film ini berupaya keras menyeimbangkan fokus antara popularitas instan Jack dan kehidupan asmaranya dengan Ellie. Apa boleh buat, usaha itu gagal. Ellie yang sejak awal menempati posisi sentral dalam film, jadi terdesak ketika cerita fokus ke Jack dan ketenarannya.
Hal-hal semacam itu sangat disayangkan. Richard Curtis yang punya pengalaman paten menulis skenario beberapa komedi romantis populer seperti Four Weddings and a Funeral (1994), Notting Hill (1999), dan Love Actually (2003), tak serta merta menjadikan cerita romantis film ini jadi menarik.
Dampak lain dari upaya menyeimbangkan musik dan komedi romantis adalah kegagalan Yesterday menjelaskan berbagai dampak jika The Beatles tak pernah ada. Dalam Yesterday, industri musik seolah tidak banyak berubah tanpa hadirnya The Fab Four. Namun, film ini melupakan fakta bahwa John, Paul, Ringo, dan George memberi hawa baru bagi industri musik dunia era 1960-an dan setelahnya.
Selain itu, lubang besar yang paling mengganggu adalah kegagalan Boyle menjelaskan mengapa ada dua orang lain yang masih bisa mengingat Beatles sama seperti Jack. Pertanyaan ini kemudian melahirkan pertanyaan-pertanyaan lain: kenapa mereka? Apa yang membuat mereka "terpilih" sehingga bisa mengingat Beatles?
Yesterday memang bukan film yang brilian. Namun ia cukup menghibur dengan formula-formula yang sebenarnya jamak. Keunggulan film ini juga hadir dari chemistry antara Himesh Patel dan Lily James, dan penampilan segar nan mengocok perut dari Joel Fry sebagai Rocky --kawan lama Jack yang lantas jadi roadie, yang sayangnya jadi seperti epigon karakter Spike di Notting Hill.
Selebihnya, benar yang ditulis Owen Gleiberman dari Variety:Yesterday hanyalah komedi romantis yang ditempeli kemasyhuran The Beatles.
Editor: Nuran Wibisono