tirto.id - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tampak kurang bertaji memasuki tahun 2020. Mereka hanya sekali melakukan operasi tangkap tangan (OTT). Padahal Januari-Maret 2019, komisi antirasuah tercatat sudah empat kali melakukan OTT.
Empat OTT itu melibatkan: Bupati Kabupaten Mesuji (24 Januari 2019), Ketum PPP M Romahurmuziy (16 Maret 2019), GM Central Maintenance dan FacilitiesK PT Krakatau Steel ( 22 Maret 2019), dan anggota DPR RI dari Fraksi Golkar Bowo Sidik (27 Maret 2019).
Sementara OTT KPK pada periode kepemimpinan Komjen Pol Firli Bahuri dkk terjadi pada 7 Januari 2020 yang menyasar Komisioner KPU Wahyu Setiawan. Ia ditangkap komisi antirasuah terkait dugaan suap pergantian antar-waktu (PAW) DPR RI 2019-2024 dari Fraksi PDIP.
Setelah operasi itu, KPK hanya mengedepankan pencegahan.
Meski demikian, Ketua KPK Firli Bahuri mengatakan institusinya masih akan terus melaksanakan OTT. Ia juga mengklaim timnya di lapangan masih terus bekerja hingga sampai saat ini.
“Kegiatan itu sedang berjalan, kita tinggal tunggu saatnya tentang keberhasilan rekan-rekan tim yang ada di lapangan, pasti akan kami beri tahu pas ada hasil,” kata Firli di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Kamis (5/2/2020).
Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron memaklumi kekhawatiran masyarakat soal ketiadaan OTT selama beberapa waktu ini. Namun, ia menegaskan bahwa KPK sampai sekarang masih terus melakukan penindakan.
“KPK menegaskan tidak akan mengurangi upaya penindakan dalam pemberantasan korupsi, penindakan akan tetap kami lakukan semaksimal mungkin,” ujar Ghufron.
KPK Mau ke Mana?
Peneliti Pusat Kajian Anti-Korupsi (Pukat) UGM Yogyakarta Zaenur Rohman justru kebingungan dengan sikap para pimpinan KPK yang hendak mengedepankan upaya pencegahan atau penindakan.
“Jika kita ingat kembali janji-janji para pimpinan ini, sewaktu seleksi akan mengutamakan pencegahan,” kata Zaenur saat dihubungi reporter Tirto, Jumat (6/3/2020).
Akan tetapi, kata Zaenur, ternyata hingga sekarang pencegahan yang dimaksud juga belum ada. “Karena semua hanya melanjutkan pencegahan periode sebelumnya,” kata Zaenur.
Sedangkan penindakan, menurut Zaenur, KPK masih belum menyentuh kasus-kasus strategis sampai sekarang. OTT Wahyu tak dapat dihitung, sebab itu warisan periode kepemimpinan KPK sebelumnya, Agus Rahardjo dkk.
“Saya menduga KPK semakin kesulitan melakukan penyadapan karena terhambat prosedur UU Nomor 19 tahun 2019. Juga ambruknya moral penyelidik, penyidik, setelah revisi UU KPK,” kata Zaenur.
Sementara peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana menilai bahwa puasa penindakan yang terjadi di KPK merupakan dampak dari UU KPK yang baru sehingga membikin kinerja KPK lambat.
Perihal minimal penindakan dan mengedepankan pencegahan, kata Kurnia, sebenarnya KPK sudah melakukannya dengan baik. Hanya saja terlihat berlebihan ketika Firli dan jajarannya rajin bersafari ke sana-sini.
“Justru dengan banyaknya safari yang dilakukan oleh Firli, malah menimbulkan stigma negatif pada KPK dan rawan menimbulkan konflik kepentingan,” kata Kurnia.
Ia juga pesimistis bahwa KPK di bawah Firli dkk dapat membersihkan tindakan korupsi besar. Firli, menurut dia, hanya mentok pada pencegahan saja.
“Jadi selama empat tahun ke depan publik akan dipertontonkan ragam kontroversial yang dihasilkan oleh lima komisioner KPK tersebut,” kata dia saat dihubungi reporter Tirto, Jumat (6/3/2020).
Drama Pengembalian Kompol Rossa
Tiga bulan pertama masa jabatan Firli cs, KPK hanya menghasilkan satu OTT warisan pimpinan lama dan “sekarung” drama. Salah satunya polemik keberadaan Harun yang menjadi runyam. Boro-boro tertangkap, penemuan Harun hingga kini tak bergerak ke hasil baik.
Selain itu, eks Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi yang juga menjadi buronan KPK masih dalam pengejaran. Nurhadi merupakan tersangka suap dan gratifikasi terkait penanganan perkara di MA pada 2011-2016.
Nurhadi dinyatakan buron bersama dengan dua tersangka lainnya sejak 11 Februari 2020. Mereka yakni Rezky Herbiyono selaku menantu Nurhadi dan Direkut PT Multicon Indrajaya Terminal (MIT) Hiendra Soenjoto.
Drama KPK yang menyita perhatian publik yakni dicopotnya penyidik KPK dari unsur kepolisian, Kompol Rossa Purbo Bekti. Rossa menjadi penyelidik sekaligus penyidik dalam kasus dugaan suap PAW yang melibatkan Harun dan eks komisioner KPU Wahyu Setiawan.
Rossa pun sempat mengajukan surat keberatan ke KPK pada 14 Februari 2020. Hal itu berpegangan pada dasar hukum Pasal 75 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Wadah Pegawai (WP) KPK bahkan menyebut kalau Kompol Rossa tidak pernah menerima surat pemberhentian dari KPK maupun diantar ke Mabes Polri.
“Mas Rossa juga tidak pernah mendapatkan pemberitahuan kapan tepatnya diberhentikan dari KPK dan apa alasan jelasnya karena tidak pernah ada pelanggaran disiplin atau sanksi etik yang dilakukan dirinya,” kata Ketua WP KPK Yudi Purnomo kepada reporter Tirto, Rabu (5/2/2020).
Sehingga, kata Yudi, saat ini Kompol Rossa tetap melaksanakan tugas seperti biasa untuk memberantas korupsi, apalagi ia juga sudah mendapat surat tugas dari atasannya untuk suatu penugasan.
Yudi mengatakan, Rossa masih ingin bekerja sebagai penyidik KPK, lebih-lebih setelah ada pernyataan dari Mabes Polri yang menyebut Rossa tidak ditarik karena masa tugasnya masih sampai September 2020.
Zaenur menilai drama pengembalian Rossa juga memberi dampak pada upaya penindakan yang dilakukan KPK.
“Itu memengaruhi penyelesaian kasus. Juga menurunkan moral para penyidik. Itu agenda terselubung pimpinan yang hingga sekarang saya tidak paham,” kata dia.
Sementara itu, Manajer Departemen Riset Transparansi Internasional Indonesia (TII) Wawan Suyatmiko berpendapat kemelut drama yang menimpa Kompol Rossa tidak memberikan dampak langsung pada kinerja penindakan KPK yang terkesan seret.
Sebab, menurut dia, segala keputusan tetap berada di bahu pimpinan. "Keputusan untuk melakukan tindakan hukum ada di Pimpinan KPK secara kolektif kolegial," ujarnya kepada reporter Tirto, Jumat (6/3/2020).
Hanya saja gerak pimpinan menjadi terhalang oleh kehadiran Dewan Pengawas KPK, semenjak UU 19/2019 mulai berlaku.
Lantaran regulasi penindakan sudah kadung berjalan, kata dia, tetap saja Pimpinan KPK harus membangkitkan kepercayaan publik. Apalagi jika Firli Bahuri menyatakan upaya OTT KPK tidak akan hilang.
"Optimisme dan dukungan publik adalah modal utama KPK. Pimpinan KPK harus membuktikan pernyataan tersebut," kata dia.
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Abdul Aziz