Menuju konten utama

Drama Sidang Kopi Sianida Jessica

Sidang kopi sianida Jessica memang penuh drama. Misteri sianida di kopi Mirna membuat publik selalu mengikuti persidangannya. Antusiasme publik diangkat oleh sejumlah stasiun televisi. Hasilnya: rating naik, demikian pula pendapatannya.

Drama Sidang Kopi Sianida Jessica
Pengunjung menyaksikan rekaman dari CCTV Kafe Olivier saat sidang lanjutan kasus pembunuhan Wayan Mirna Salihin dengan terdakwa Jessica Kumala Wongso di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jakarta, Kamis (28/7). Sidang tersebut beragendakan mendengar kesaksian pegawai Kafe Olivier antara lain Manajer Reservasi atau Resepsionis Resmiyati. ANTARA FOTO/M Agung Rajasa/pras/16

tirto.id - Kesedihan dan tangisan. Itulah dua hal yang menyedot perhatian orang dalam sebuah tragedi. Itulah mengapa sandiwara menyedihkan yang lahir sejak zaman Yunani kuno akan tetap digandrungi sampai kapanpun. Karena itu kisah berbalut tragedi akan selalu laku dijual, di media apapun. Termasuk drama-drama nyata yang ditayangkan di stasiun televisi.

Salah satu yang menjadi perhatian adalah drama sidang kopi sianida dengan tersangka Jessica Kumala Wongso. Sebegitu hebohnya, tiga stasiun televisi, TvOne, Kompas TV, dan iNewsTV menayangkannya seperti serial sinetron yang tiada habisnya. Nonstop.

Mungkin inilah untuk pertama kalinya dalam sejarah pertelevisian di Indonesia, saat sidang kriminal “biasa” mendapatkan sorotan dan antusiasme sedemikian rupa.

Dengan dalih “Breaking News” kebijakan program yang biasa satu atau dua jam diterabas. Penayangan live berkesinambungan hingga berjam-jam, bahkan sampai 10 atau 12 jam. Jika hakim kuat sampai dini hari pun tampaknya produser-produser TV itu akan bergumam, “Sampai kapanpun gue ladenin deh.”

Saban pekan, minimal seminggu sekali, drama sidang Kopi Bersianida disuguhkan ke masyarakat. Drama ini memunculkan perwatakan bermacam-macam rupa.

Jessica Kumala Wongso yang melankolis hanya duduk terpojok di ruang sidang. Dia hanya terdiam melihat pengacaranya, Otto Hasibuan, berkonflik dengan jaksa ganteng bernama Shandy Handika.

Di tengah laga kedua pihak itu, Ketua Majelis Hakim Kisworo sebegai tritagonis mengernyitkan dahi dari kursinya. Sesekali, dia terlihat menyandarkan punggung dan kepalanya menempel kursi.

Di bangku penonton, Ayah Wayan Mirna, Darmawan Salihin, duduk mengawasi. Tatapan matanya tajam, seperti elang yang hendak menyergap mangsa. Mangsa di sini adalah Jessica.

Dalam drama ini, jangan lupakan juga presenter cantik Kompas TV Frisca Clarissa yang dengan bahasa tubuhnya menampakkan sikap skeptis dan kritis terhadap siapapun narasumber yang ditampilkan. Di luar mereka semua, ada banyak tokoh lain yang punya peran juga penting dalam drama kopi bersianida ini, misalnya saksi-saksi.

Plot Zig-zag yang Sulit Tertebak

Brander Mathews, Profesor literasi drama pertama di Amerika Serikat, menekankan pentingnya tensi dramatik. Dengan mengatur nilai tegangan pada bagian-bagian lakon secara tepat maka efek dramatika yang dihasilkan akan semakin baik. Pengaturan tensi dramatik yang baik akan menghindarkan lakon dari situasi yang monoton dan menjemukan.

Tensi dramatik ini yang ditunggu-tunggu orang dalam setiap sidang kopi bersianida. Durasi panjang tidak masalah asal unsur dramatik muncul tak terduga pada tiap babak.

Salah satu spektakel paling menarik terjadi pada saat sidang ke-13, pada 25 Agustus 2016 lalu. Babak pertama dimulai ketika saksi ahli yang merupakan cendekia di bidang toksikologi forensik, I Made Agus Gelgel Wirasuta memaparkan temuan terkait rekonstruksi pembuatan es kopi vietnam yang dia lakukan. Rekonstruksi itu mengarahkan Jessica sebagai pelaku.

Tapi Otto kemudian berhasil membuatnya gelagapan saat mempertanyakan klaim Gelgel tentang Mirna yang menyedot 20 ml es Kopi Vietnam. Otto menyatakan volume es kopi yang disedot Mirna sampai kapanpun akan jadi misteri. Angka 20 ml itu hanya tafsir dan bukan kepastian.

Kemenangan Otto itu dibalik lagi ketika saksi ahli hukum pidana dari Universitas Gajah Mada (UGM), Profesor Edward Omar Sharif Hiariej berpendapat kasus pembunuhan berencana tidak perlu motif pelaku. Edward dengan tenang dan sigap berhasil menjawab pertanyaan Otto. Namun siapa sangka, saat sidang dilanjutkan lagi setelah Magrib, perdebatan terkait motif itu membuat Hakim Anggota Binsar Gultom membuka suara.

"Saya tidak sependapat dengan ahli,” kata Binsar.

Bagi Binsar, jawaban Edward amat membingungkan. Baginya, praktik di lapangan amatlah berbeda dengan teori. Dalam pembunuhan berencana, motif diperlukan untuk membuat kasus terkuak.‎ "Ini praktik bukan teori. Apakah ahli bertahan dengan kesaksian ahli bahwa Pasal 340 tidak membutuhkan motif?" tanya Binsar.

"Saya tetap pada keyakinan saya, Yang Mulia," jawab Edward. Debat diakhiri dengan ucapan Binsar yang sepertinya bisa membuat Jessica tidur tenang. "Cukup. Pernyataan ahli cukup jadi wawasan saja," tutup Binsar.

Bagi Anda yang saban hari mengikuti terus kasus ini, kejadian plot zig-zag di atas pastinya terjadi tiap persidangan. Kejutan-kejutan inilah yang ditunggu banyak orang.

Nuri, seorang ibu muda dari Bandung, misalnya, mengaku tidak pernah absen mengikuti kasus Jessica. Sejak bulan Juli lalu, rutin tiap hari Rabu atau Kamis dia akan menyalakan TV sepanjang hari. Ini jadi sesuatu hal yang jarang dia lakukan mengingat aktivitasnya yang padat sebagai peneliti bidang bioteknologi.

Dia tidak risih saat kegiatannya mengetik paper ditemani oleh ocehan-ocehan Otto Hasibuan. “Kasus ini seru. Aku suka dengan teka-tekinya yang sampai sekarang belum terungkap. Jadi penasaran aja ingin tahu siapa pembunuhnya,” katanya dengan bangga.

Apa yang dilakukan Nuri tidaklah segila Yeni. Nenek berumur 60 tahun ini selalu menyempatkan diri datang secara langsung ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Padahal rumahnya jauh di Citayam, Depok. Dari Citayam dia biasa menumpang Commuter Line sampai Manggarai, lalu pindah kereta melanjutkan perjalanan ke Kemayoran. Dengan penuh semangat dia bercerita:

“Biasanya nonton dulu di rumah sampai jam 12. Setelah masak baru berangkat ke sini. Aku ikuti persidangan ini dari sidang ke-6. Diam di sini pun dari pagi sampai malam.”

Loyalitasnya pada persidangan ini hampir tak masuk akal. Pernah suatu ketika sidang berakhir jam 10 malam, dan dia tetap setia menyimak di pengadilan. "Sampai rumah jam sekitar pukul 2, gila ya aku. Haha.”

Di pengadilan itu, ada Yeni-Yeni lain yang jumlahnya bisa mencapai puluhan. Sorak sorai berisik penonton yang sering terdengar di televisi keluar dari mulut-mulut mereka.

Ketertarikan Nuri, Yeni, dan jutaan pemirsa lain inilah yang membuat Kompas TV, TvOne, dan INewsTV muncul bak pahlawan memberikan kesegaran lewat tayangan panjang di persidangan.

Share Uang

Pelbagai kritikan dan cemooh persidangan panjang ini sempat dibahas dalam diskusi bertajuk "Persidangan Kopi Bersianida, Jurnalisme TV dan Frekuensi Publik" yang digagas Ikatan Jurnalisme Televisi Indonesia (IJTI) dan diselenggarakan di Gedung Dewan Pers, Kebon Sirih, Jakarta (31/8/2016).

Sayang pada diskusi ini wakil dari Kompas TV, Rosiana Silalahi urung datang. Pihak yang jadir adalah Pemred Metro TV Putra Nababan, GM News Gathering TvOne Ecep S Yasa dan Direktur Pemberitaan MNC Group Arya M. Sinulingga.

Loyalitas masyarakat memantengi jalannya persidangan selama berjam-jam memang tidak terbantahkan. Kenaikan share tv dirasakan positif oleh Kompas TV, tvOne dan iNewsTV.

Pada sidang ke-11 yang dilakukan 10 Agustus lalu, share Kompas TV melejit hingga 5,64 persen. Begitupun juga dengan TvOne 5,68 persen dan INews TV 3,65 persen. Tiga stasiun TV ini meninggalkan Metro TV yang tidak menayangkan siaran secara live. Metro hanya kebagian 1,62 persen.

Padahal jika merujuk rerata share harian pada pekan itu - tanpa melibatkan hari dimana sidang di gelar, Kompas TV hanya mendapat 2,06 persen, tvOne 3,43 persen dan iNewsTV 1,72 persen. Data ini sebenarnya sejalan dengan pengakuan Dirut Pemberitaan MNC Grup, Arya M Sinulingga.

Dia mengungkapkan total share dari TV berita seperti Kompas TV, iNews TV, tvOne dan Metro TV dalam satu hari bisa naik hingga 15 persen. Angka ini tentu melebih batas share TV berita yang hanya 9 persen—kalah jauh ketimbang saluran televisi hiburan. Dari ini bisa disimpulkan sidang Jessica membawa kenaikan share. Semua sepakat soal itu.

Tapi, para pemimpin newsroom televisi ini menampik ihwal pengaruh kenaikan share terhadap pendapatan iklan.

“Apakah ini akan di-drive untuk komersil? Nggak juga ah. Ini gak ada sangkut pautnya itu. Sejak awal teman-teman redaksi di iNews TV ambil karena memang ini kasus aneh,” tampik Arya.

“Rating/Share tinggi tapi belum tentu apple to apple dengan revenue dengan iklan. Karena tidak ada peluang untuk memasang iklan, apalagi dalam persidangan ini amat panjang dengan jarang jeda iklan,” kata Ecep S. Yasa dari tvOne.

Mematahkan Argumen Tidak Mencari Untung

Arya dan Ecep bisa saja membantah. Namun, data dari Adstensity—lembaga riset yang memantau iklan tv komersial (TVC)—bisa mematahkan argumen mereka. Beruntung bagi iNews TV, ketersediaan data di Adstensity hanya bisa memunculkan Kompas TV dan tvOne saja.

Sampai tulisan ini diturunkan, sidang Kopi Bersianida sudah memasuki jilid ke-18. Sidang kali pertama digelar 15 Juni lalu. Biasanya sidang digelar satu pekan sekali, tetapi pada bulan Juli naik menjadi dua kali dalam sepekan. Ia kembali digelar sepekan sekali pada Agustus hingga bertahan sampai pekan keempat. Namun, waktu yang molor membuat pada sidang digelar sampai tiga kali seminggu pada pekan ke-5.

Sampel yang digunakan untuk perhitungan tulisan ini hanya pada sidang-sidang yang digelar dalam kurun 1 Agustus hingga 1 September. Sebab, pada momen inilah keikutsertaan tvOne dan Kompas TV dalam proses sidang berlangsung penuh dari awal hingga akhir, dengan durasi panjang, menjadikannya program khusus—tidak menyelipkannya dalam sisipan headline semata seperti Metro TV atau saluran lainnya.

Nominal pendapatan iklan yang dihitung hanya dari pukul 09.00 hingga 16.00. Selain karena tidak semua sidang berlangsung hingga larut malam, terlalu riskan juga jika memasukkan pendapatan di waktu prime time sebab biaya iklannya jauh lebih tinggi.

Sebagai pembanding, untuk mengetahui terjadi kenaikan pendapatan atau tidak, dibuat perbandingan dengan durasi waktu sama di hari berbeda di luar hari non-sidang. Misal, ketika sidang digelar Kamis, maka pembandingnya adalah hari Rabu, Selasa, dan Senin.

Dalam konteks ini, data yang dimunculkan adalah nominal pendapatan, bukan jumlah slot iklan. Sebab jumlah slot iklan tidak selalu berbanding lurus dengan pendapatan.

Memakai pendapatan lebih tepat karena tolok ukurnya didasarkan pada empat hal: durasi (biasanya kelipatan 15 detik), jam tayang, jenis program, dan urutan kemunculan iklan saat break (iklan yang muncul pertama atau bukan). Untunglah, mesin robot Adstensity sudah mengkalkulasi ini dan mengkonversi slot iklan yang tampil itu menjadi nominal.

Data Adstensity ini sifatnya estimasi, karena biaya pasti itu tergantung negosiasi bagian pemasaran dengan si pengiklan. Tapi, harga asli kesepakatan itu berkisar 60-70 persen dari apa yang Adstensity prediksikan.

Mari kita mulai.

Pada sidang yang digelar 3 Agustus, tvOne mendapatkan uang senilai Rp9,9 miliar. Bagi tvOne, pendapatan ini tentu keberuntungan. Pada dua hari sebelumnya, mereka hanya dapat Rp3,8 miliar (2/8) dan Rp4,9 miliar (1/8). Sehari sesudah sidang hanya Rp5,9 miliar (4/8).

Keuntungan sama juga terjadi di Kompas TV, pada saat sidang 3 Agustus itu. Raupan iklan mencapai Rp1,5 miliar, jauh dengan tiga hari lainnya: Rp1,1 miliar (2/8), Rp990 juta (1/8) dan 1,3 miliar (4/8).

Kesamaan Kompas TV dan tvOne pada pekan pertama ini adalah mereka sukses menggejot pendapatan pada durasi 12.00–16.00. Di tvOne, kenaikan pada durasi ini bahkan mencapai tiga kali lipat dengan pendapatan per jam bisa di atas 1 miliar.

Pola keuntungan sama juga terjadi pada sidang ke-11, atau 10 Agustus. Pendapatan tvOne hari itu mencapai Rp6,4 miliar, jauh lebih besar ketimbang pendapatan iklan sehari di pekan itu yang rata-rata hanya sekitarRp5,4 miliar. Sedangkan Kompas mencapai Rp1,8 miliar, beda tipis dengan rerata harian Rp1,7 miliar. Satu hal yang patut dicermati pada pekan kedua ini, pendapatan mayoritas didapat pada durasi 11.00-13.00 dan 15.00–16.00. Di luar itu pendapatan cenderung anjlok.

Sebelum membahas pekan ketiga alias sidang pada 18 Agustus alangkah baiknya kita loncat dulu ke sidang ke-14, alias 25 Agustus. Pendapatan iklan sama meningkat sama seperti pekan-pekan sebelumnya. TvOne dapat Rp7,7 miliar dan Kompas TV Rp1,7 miliar.

Pada pekan kelima Agustus, mestinya tvOne dan Kompas TV bisa untung besar karena pada pekan ini setidaknya digelar tiga kali sidang: 29 dan 31 Agustus, serta 1 September.

Tapi tidak semua sidang itu berlangsung panjang. Sidang 29 Agustus hanya digelar dua jam dan 31 Agustus sampai jam 1 siang. Baru pada sidang 1 September, sidang long rally kembali terjadi. Pada pekan ini sudah tertebak pendapatan terbesar ada di sidang 1 September dengan pendapatan tvOne Rp3,7 miliar dan Kompas TV Rp1,8 miliar.

Jika menilik data selama sebulan terakhir ini, ada tren berbeda antara Kompas TV dan tvOne. Meski sama-sama untung, pendapatan Kompas TV cenderung naik tiap pekan, sedangkan tvOne malah turun. Tapi persentase kenaikan Kompas hanya berkisar 5 persen, sedangkan anjloknya pendapatan tvOne berkisar 10 persen. Dari data ini mungkinkah kita berasumsi publik sudah merasa jenuh? Bisa saja.

Lalu bagaimana dengan sidang pekan ketiga, alias 18 Agustus? Saya sengaja membahasnya di akhir karena pada persidangan inilah korelasi sidang Jessica dan revenue iklan bisa terbukti berkaitan.

Pendapatan dari sidang ini amat anjlok: Kompas TV Rp1,3 miliar dan tvOne Rp3,9 miliar—terburuk selama satu pekan itu. Apa penjelsannnya? Ternyata, kali itu sidang tidak terealisasi. Jessica absen karena sakit dan sidang hanya berlangsung sampai jam 10.00.

Yang perlu kita pahami, slot iklan di acara bertajuk “Breaking News” tidaklah seperti acara-acara lain yang jadwalnya pasti. Tawar menawar iklan bahkan bisa berjalan saat event berlangsung. Wajar ketika sidang urung digelar, pemasang iklan pun buyar.

Kesimpulan itu didapat dari data berikut. Pada pukul 09.00, Kompas TV meraih pendapatan Rp230 juta dan tvOne Rp465 juta. Tapi, pada jam 10.00, angka mulai turun: Kompas TV Rp136 juta dan tvOne Rp307 juta. Setelah sidang dipastikan tak berlanjut, jumlah iklan turun drastis. Pada jam 11.00-12.00, Kompas TV hanya mendapat Rp43,2 juta saja, sedang tvOne Rp123,2 juta.

Dari data-data di atas ada satu hal tak bisa dipungkiri, bahwa sidang kasus Kopi Bersianida yang disiarkan terus menerus itu mendatangkan laba. Bagaimanapun, Arya dan Ecep tak bisa melawan hukum pasar: Di mana ada perhatian orang, maka di situlah uang akan beredar.

Baca juga artikel terkait SIDANG JESSICA atau tulisan lainnya dari Aqwam Fiazmi Hanifan

tirto.id - Indepth
Reporter: Aqwam Fiazmi Hanifan
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti