tirto.id - Saban tiap pekan, minimal seminggu sekali, wajah Jessica Kumala Wongso muncul di televisi. Rumit dan misteriusnya kasus ini membuat orang suka, khususnya para ibu rumah tangga. “Lebih rame daripada sinetron,” ucap Sari, seorang Ibu muda dari Bandung yang mengaku tak pernah absen mengikuti kasus ini.
Menjelang petang, General Manager Pemberitaan TVOne, Ecep S Yasa berjalan santai menuju lift hendak pulang. Ecep kala itu baru saja jadi pembicara pada diskusi bertajuk "Persidangan Kopi Bersianida, Jurnalisme TV dan Frekuensi Publik" yang digagas Ikatan Jurnalisme Televisi Indonesia (IJTI) dan diselenggarakan di Gedung Dewan Pers, Kebon Sirih, Jakarta (31/08/2016).
Sebelum masuk lift, wartawan tirto.id, Aqwam Fiazmi Hanifan mencegat Ecep dan mengajaknya berbincang tentang dua hal yang dibahas dalam diskusi tadi. Hanya dua saja: framming dan rating.
Siaran langsung sidang Jessica selama berjam-jam berpotensi besar untuk mengarahkan opini publik. Terlebih persidangan saat ini masih dalam proses pemaparan bukti dan saksi dari Jaksa Penuntut yang memberatkan Jessica?
Ini akan jadi sesuatu hal yang rumit. Ketika sidang itu panjang dan hanya dari satu sisi saja, orang akan menuduh framming. Maka dari itu komprominya adalah harus ada pembanding.
Pembandingnya lewat apa? Lewat narsum yang dihadirkan harus memiliki sikap kemampuan daya kritis tinggi terhadap apa yang dikontekskan. Masalah ini akan jadi framing kalau tidak ada pembanding itu.
Namun dalam banyak kasus narasumber yang muncul di televisi malah semakin membuat orang bingung. Bahkan Ahli Hukum Pidana dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Edward Omar Sharif Hiariej sempat menyindir narasumber-narasumber di TV tidak mengerti apa yang mereka komentari. Ada tanggapan?
Makanya memang harus diuji narasumber itu. Harus berkompetensi tinggi. Harus diuji, kalau enggak enggak punya data, akan sembarangan ngomong.
Kami harus jaga standar yang sangat tinggi. Karena pertaruhannya sangat besar, kalau tidak betul maka tuduhannya ya itu framming.
Kami kadang bingung saat dituduh seperti itu, karena dalam konteks ini apa sih kepentingan kita memihak pada satu kubu. Enggak ada. Kami tidak dukung salah satu. Inti kami terus menayangkan kan karena show bagus bukan mendukung salah satu.
Dengan perhatian media yang begitu besar, berpotensi menggiring opini publik. Dan opini publik juga bisa mendorong hakim berbuat tidak adil. Bisa saja kasus O.J Simpson di Amerika Serikat dan Oscar Pistorius di Afrika Selatan terulang di Indonesia. Ketakutan itu muncul saat melihat kegamangan hakim yang bisa terlihat dari pertanyaan-pertanyaanya pada saksi ahli Hukum UGM pada sidang ke-16 lalu.
Ya makanya hakim itu wakil tuhan di muka bumi ini. dia harus betul-betul objektif dan memegang sumpah sebagai penegak hukum. Kita tidak mungkin membatasi hakim. Apalagi di era keterbukaan seperti ini.
Jadi begini, hakim saat persidangan berlangsung dia tidak menonton mendengar komentar-komentar para narasumber di TV. Apakah benar itu dia jadi terpengaruh? Enggak. Dia akan berkonsentrasi di persidangan. Malah pertanyaan sinis ini bisa dibalikin.
Pada akhirnya semua akan dikembalikan lagi ke masyarakat lah. Justru pada akhirnya akan sangat baik publik untuk terlibat, ikut berdialog dan berdiskusi dalam konteks ini. Dengan begitu ada watchdog tidak hanya media, tapi juga masyarakat.
Tapi untuk mengontrol opini publik ini, dalam beberapa kasus, medialah sebenarnya yang mengontrol opini publik. Seringkali dalam konteks kasus Mirna ini lewat framing di televisi, media seolah-olah memposisikan diri sebagai subjek dengan masyarakat sebagai objeknya.
Di era keterbukaan informasi seperti sekarang, pilihannya ini semua ada di masyarakat. Ah kalau misalkan media ini terlalu memihak dan framming saya geser mending nonton media yang lain aja deh. Pilihan-pilihan debat pada ujungnya ada di publik sendiri. Solusinya bagi kami dengan memberi sebesar-besarnya bagi publik untuk terlibat.
Tapi saya tidak pernah melihat masyarakat umum diberi keleluasaan berbicara di TV?
Ada semacam keterbatasan yang tidak mungkin semuanya kami akomodasi. Dan publik itu tidak mesti orang umum, publik itu bisa keluarga, pengamat, ahli pidana hukum, ahli forensik, ahli psikolog pembaca gestur, d industri TV enggak mungkin semua diakomodir. Mereka-mereka yang saya sebut itu sudah cukup representasi dari suara masyarakat.
Bagaimana soal rating atau share?
Rating/share penting, tapi ingat itu bukan satu-satunya alat ukur. Rating/share tinggi tapi belum tentu apple to apple dengan revenue dengan iklan. Karena tidak ada peluang untuk memasang iklan, apalagi dalam persidangan ini amat panjang dengan jarang jeda iklan.
Salah satu penyebab tingginya rating ini karena perhatian publik yang begitu besar. Dan media lagi-lagi turut andil membesarkan kasus ini saat masih dalam proses penyidikan polisi. Dibesarkan oleh media, dan keuntungannya kembali ke media.
Media ini difungsikan sebagai watchdog, tidak mungkin juga media tidak membesarkan kasus ini, toh karena kasus ini memang jadi perhatian publik. Disitulah tugas media sebagai pilar demokrasi.
Jika mengacu pada ini, berarti apa yang diinginkan publik saja yang oleh sampaikan? Bukan berdasarkan apa yang memang benar-benar bermanfaat dan dibutuhkan oleh publik. Kenapa anda lebih memilih mengikuti sidang kasus Jessica ketimbang gugatan MK soal pengadilan HAM Adhoc, misalnya.
Itulah yang saya bilang bahwa ada pilihan-pilihan redaksional yang leaders-nya akan memutuskan. Metro TV kan tadi ternyata memilih tidak, itu biasa lah. Biarin aja.
Jika publik bosan dengan sidang ini dan rating anjlok, apakah TV one akan melanjutkan siaran langsung sidang Jessica?
Dari awal kami sudah berkomitmen ikuti sidang ini sampai selesai, jika tidak live pun kami akan kawal terus kasus ini. Soal terus live atau tidak itu diserahkan pada pimpinan redaksi.
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti