Menuju konten utama

Jessica Sang Antagonis dalam Drama Pengadilan Publik

Jessica Kumala Wongso sudah dinyatakan sebagai tersangka dalam kasus kopi sianida Mirna Salihin. Dalam drama persidangan yang disajikan media, Jessica sudah ditempatkan dalam posisi sosok antagonis. Bahkan sebelum ia menyampaikan pledoi dan vonis hakim.

Jessica Sang Antagonis dalam Drama Pengadilan Publik
Terdakwa kasus pembunuhan Wayan Mirna Salihin, Jessica Kumala Wongso, menjalani sidang lanjutan dengan agenda pemeriksaan saksi dan rekonstruksi kejadian kasus kematian Mirna, di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jakarta, Rabu (27/7). Kuasa hukum Jessica sempat mempertanyakan keberadaan sedotan yang dinilai merupakan salah satu fakta perjalanan sianida di kopi Mirna. ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma/kye/16

tirto.id - Dalam tragedi, aditokoh dan antiwirawan telah ditetapkan. Si aditokoh akan menang dan cerita berakhir bahagia. Namun apa jadinya jika penokohan protagonis dan antagonis bersifat liar, orang bebas sekehendaknya menentukan bogalakon yang dia mau. Akhir dramapun berakhir dengan alur terbuka – alias tidak pasti, tidak jelas, serba mungkin – semua diserahkan kepada imajinasi pembaca atau penonton.

Dalam konteks drama, itu tidak akan menimbulkan masalah. Karena drama hanyalah drama. Itu fiksi. Namun akan lain jadi cerita jika hal itu terjadi di dunia nyata, dan itu terkait dengan kasus proses hukum, percayalah niscaya keruwetan yang ada. Itulah yang membelit kasus kopi bersianida.

Ketua Majelis Hakim, Kusworo terlihat tidak nyaman saat Otto Hasibuan mempertanyakan postulat “Lebih baik membebaskan 1000 orang yang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah” kepada Ahli Hukum Pidana, Edward Omar Sharif Hiariej.

Saat Edward menjawab, Kusworo mendorong punggung dan kepalanya menempel di kursi. Tak biasa banyak sesekali aktivitas gerakan tubuh dia lakukan, mulai dari mengelus-elus leher, garuk-garuk rambutnya yang botak itu, hingga memijat-mijat keningnya. Mungkinkah Kusworo gelisah?

Kasus menjerat Jessica Kumala Wongso ini bukanlah kasus kriminal biasa. Masalah muncul ketika polisi dengan percaya diri menetapkan bahwa Jessica lah tersangka pembunuh Wayan Mirna Salihin. Sayangnya, bukti-bukti yang dipapar di pengadilan kurang mendukung. Ini yang membuat banyak orang penasaran.

Besarnya perhatian media, membuat kasus ini menjadi bola liar di masyarakat. Alhasil perdebatan soal pembuktian pun berpindah dari ruang sidang ke ruang publik. Pada perdebatan di warung-warung kopi atau sosial media itulah Jessica bisa disandingkan sebagai aditokoh ataupun antiwirawan.

Tapi kenyataan di lapangan, publik sudah cenderung lebih dulu membenci Jessica. Data-data itu bisa dibuktikan lewat angka.

Data dari sentimen analisis tirto.id yang mengumpulkan obrolan di Facebook, Twitter dan kolom komentar di 10 situs berita terbesar di Indonesia menemukan sentimen orang terhadap Jessica cenderung negatif. Hampir 52 persen ocehan-ocehan itu memojokan Jessica, hanya 13 persen yang positif dan 35 persen sisanya netral.

Dalam konteks ini, kita harus setuju dengan apa yang diucapkan General Manager News gathering TV One, Ecep S Yasa. Publisitas dan pencitraan masif mantan Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya, Krishna Murti sukses membikin media dan publik percaya penuh padanya.

“Salah satu yang saya ikutin dari berita ini dan patut dicurigai adalah distribusi teks, video, foto di awal kasus yang hanya berasal dari satu sisi, yakni pihak kepolisian saja. Polda Metro Jaya begitu sangat yakin bahwa Jessica tersangka. “

“Namun setelah dibuktikan di pengadilan kan ternyata belum ada bukti kuat. Hal ini buat goyah.“

Namun, kepercayaan penuh pada polisi itu tidak akan sukses jika framming media gagal dilakukan. Pada ujungnya pers yang akan dijadikan biang kerok. Dalam tulisan ketiga serial indepth ini dijelaskan bagaimana masyarakat dipengaruhi oleh kriminalitas dari berbagai interaksi. Salah satu pemain kunci relasi kejahatan dan kriminalitas dengan publik adalah pers.

Di sini setiap relasi, peristiwa, atau kejadian yang ditulis atau ditayangkan oleh wartawan bisa mempengaruhi persepsi publik terhadap sebuah peristiwa.

Tindakan banal ini lazim dilakukan media-media daring yang mengincar The Clicking Monkey. Penghakiman dengan judul bombastis seperti ini misalnya “Biang Onar, Ini Jejak Suram Jessica Kumala Wongso di Australia”

Dalam beberapa kasus, pers malah memberi kesempatan masyarakat beropini di ruang publik. Pada beberapa akun media sosial yang mereka kelola sering kali pers menanyakan ke publik “Bagaimana pendapatmu tentang kasus ini”, “Menurutmu siapa yang bersalah”, “Apakah Jessica betul-betul membunuh Mirna?” Menurut Anggota Dewan Pers, Ratna Komala, hal ini sudah menyalahi aturan.

Kecenderungan media memojokkan Jessica pun bisa terlihat dari sentimen analisis pemberitaan di media online tirto.id. Hasilnya, 28 persen cenderung pemberitaan cenderung negatif, 18 persen positif dan netral hanya 54 persen.

Wajar jika salah satu poin eksepsi atau nota keberatannya kepada Hakim, Kuasa Hukum Jessica mengeluhkan ini. “Sekarang ini telah telanjur tercipta opini seakan-akan Jessica-lah pelaku sesungguhnya,” kata salah satu kuasa hukum, Sordame Purba, kepada majelis hakim di tengah persidangan pada sidang pertama, 15 Juni lalu.

Penggiringan opini publik akan semakin parah saat framming itu ikut pula dilakukan oleh media televisi. Hal ini sudah disoroti oleh Komite Penyiaran Indonesia yang menilai potensi penggiringan opini dan pengadilan oleh media sangat terasa terutama setelah tvOne, Kompas TV dan iNews TV masif menayangkan secara langsung.

"Ada sebuah stasiun televisi yang menayangkan wawancara dengan ayah korban selama 30 menit tanpa menghadirkan narasumber dari pihak Jessica. Ini jelas tidak berimbang dan akan segera kami minta konfirmasi," ujar Koordinator bidang Siaran KPI Hardly Stefano dalam sebuah diskusi di Gedung Dewan Pers, Jakarta (31/8/2016).

Kondisi sama dikeluhkan Ketua Dewan Pers, Yosep Adi Prasetyo. Dia melihat media seakan menghadirkan pengadilan di tengah pengadilan.”Media seolah-olah membuat sidang di luar persidangan dengan cara mengamati sidang lantas mengundang ahli-ahli juga,” sambung dia.

Menurut Yosep, seluruh proses pengadilan seharusnya dihadirkan di pengadilan, dan tidak boleh dikomentari. Sebaliknya, yang dilakukan media dengan menghadirkan pengamat untuk mengkomentari sidang telah melanggar asas praduga tak bersalah.

Lebih dari itu, menurut dia, telah terjadi trial by the press, pengadilan oleh pers. “Media sudah melakukan pengadilan bahkan sebelum Jessica menyampaikan pembelaannya, pledoi belum dia bacakan,” ujar Yosep.

Dalam kasus ini, Jessica sudah dinyatakan bersalah oleh publik, bahkan ketika vonis belum dijatuhkan.

Baca juga artikel terkait MILD REPORT atau tulisan lainnya dari Aqwam Fiazmi Hanifan

tirto.id - Hukum
Reporter: Aqwam Fiazmi Hanifan
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti