tirto.id - To Kil A Mocking Bird menunjukkan bagaimana sistem peradilan Amerika bisa menghukum orang yang tak bersalah berdasarkan prasangka rasial. Harper Lee menyiratkan bahwa keadilan dan sistem hukum di Amerika sulit untuk diharapkan bekerja dengan benar. Sam Jordison, pengasuh kanal diskusi buku di The Guardian, membahas bagaimana moralitas dan ide keadilan dalam buku Harper Lee tadi masih relevan hingga hari ini. Tentang sistem hukum yang dapat dimanfaatkan oleh sentimen rasial dan juga persepsi publik terhadap apa yang benar menurut mereka.
Persepsi publik semestinya tak bisa digunakan sebagai bukti atau pertimbangan dalam menghukum seseorang. Sayang dalam banyak kasus di dunia ditemukan beberapa persidangan yang mengabaikan fakta pengadilan dan menggunakan persepsi publik sebagai pertimbangan hukum. Pengadilan dari O.J Simpson misalnya. Kasus pembunuhan yang menjadi perhatian publik Amerika Serikat pada 1994 ini menjadi fokus utama seluruh media televisi, radio, dan seluruh koran di negara itu.
Orenthal James Simpson adalah mantan pemain rugby asal Amerika Serikat yang diduga terlibat dalam kasus pembunuhan. Korban pembunuhan itu adalah mantan istrinya Nicole Brown-Simpson dan temannya Ron Goldman. Kasus itu terjadi pada 1994. Proses persidangan itu diliput besar-besaran di Amerika karena O.J Simpson dianggap sebagai salah satu atlet paling berbakat dan terkenal. Penangkapan dan persidangan O.J Simpson dianggap punya pengaruh dalam bagaimana media bekerja dalam kasus kejahatan.
Saat O.J Simpson diduga menjadi tersangka, tiga stasiun TV utama Amerika (ABC, CBS dan NBC), CNN mengambil jeda sejenak dari tayangan reguler mereka, dan menjadikan kasus itu sebagai breaking news. Sebanyak 95 juta penonton di Amerika serikat mengetahui kasus itu seketika dan stasiun TV ABC mendapatkan rating penonton tertinggi dalam seminggu. The Los Angeles Times menjadikan kasus ini sebagai headline selama 300 hari sejak kasus pembunuhan itu terjadi. Staisun TV besar di Amerika seperti ABC, CBS dan NBC meliput pemberitaan ini lebih sering dan lebih besar daripada perang Bosnia dan peledakan bom di Oklahoma.
“Apa yang saya sadari adalah, ini hiburan,” kata Gerald Uelmen, salah satu pengacara pembela O.J Simpsons terhadap pemberitaan yang ada. Gerald tidak salah, saat peristiwa itu terjadi. Selama 24 jam media-media di Amerika menayangkan berita-berita Simpson, media cetak dan radio ambil bagian dalam perkembangan terbaru kasus pembunuhan itu. Pemberitaan ini bisa meninggalkan jejak hampir selama 16 bulan sejak pembunuhan itu terjadi.
Kent Babb, reporter Washington Post kemudian melacak persidangan O.J Simpson mengubah lanskap televisi Amerika Serikat. Saat pembunuhan terjadi 12 Juni 1994, CNN baru berusia 14 tahun dan belum menjadi kanal televisi yang banyak ditonton, ia memulai apa yang disebut Court TV, sebuah startup yang menghadirkan persidangan live di televisi. Sementara Fox News dan MSNBC masih berusia dua tahun dari debut mereka sebagai TV Kabel. Saat itu, Fox News dan MSNBC masih media kecil, tetapi persidangan O.J Simpson mengubah persepsi publik terhadap dua kanal berita tersebut, bahkan sampai dua dekade setelahnya.
Bagaimana media bekerja menjadi pertanyaan penting dalam kasus O.J Simpsons. Saat itu, Simpson memiliki kedekatan kerja dengan dua stasiun televisi utama Amerika seperti NBC dan ABC sebagai penyiar berita. Albert Kim di entertaiment weekly pada Juli 1994 melihat gejala-gejala media yang mengambil keuntungan dari persidangan Simpson. Saat itu, presiden ABC News, Roone Arledge, memanggil seluruh produser acara berita dan meminta mereka untuk fokus dalam pemberitaan ini dan mengirimkan empat produser berita untuk datang ke tempat kejadian perkara.
Berbagai stasiun berita berusaha mencari kerabat dekat O.J Simpson untuk dimintai komentar tentang perkembangan kasus tersebut. Meski mereka tak punya kepakaran sama sekali terkait persidangan, ABC sukses mengundang pacar Simpson Paula Barbieri untuk bicara. Media lain seperti NBC dan CBS lantas berebut untuk mampu mengundang kerabat Simpson seperti Ibu, istri pertama simpson, dan sahabat dekatnnya Al Cowlings.
Persidangan itu juga memengaruhi bagaimana sidang berlangsung. Lance Ito, hakim persidangan Simpson dikritik karena mengizinkan kamera televisi mengambil proses sidang secara live. Pakar hukum dan kolega Hakim yang menjadi penanggung jawab persidangan itu menganggap kehadiran media akan memengaruhi proses peradilan. Sidang itu sendiri diliput oleh 2.237 lembaga berita dari 1994 sampai dengan 1997 dan dianggap mengubah institusi hukum menjadi sirkus karena banyak orang yang berkomentar tentang proses hukum tersebut.
Berbagai media berusaha ambil bagian dan mencoba menulis pemberitaan tentang O.J Simpson. Namun, media besar yang kemudian membuat skandal besar terkait peristiwa itu adalah Time. Pada 27 Juni 1994, Time membuat cover story berjudul "An American Tragedy". Cover foto ini menjadi perdebatan karena Time ketahuan memanipulasi foto itu dengan tujuan untuk membuat Simpson lebih murung dan muram. Majalah itu kemudian membuat permohonan maaf secara resmi karena dugaan editorial yang rasis dan mengadopsi jurnalisme kuning.
Selain O.J Simpson, persidangan Oscar Pistorius, atlet paralimpik asal Afrika Selatan, menjadi perhatian dunia. Oscar dituduh terlibat dalam kasus pembunuhan kekasihnya Reeva Steenkamp. Sidang itu berlangsung sejak Maret hingga September 2014. Persidangan itu diliput oleh media setelah mendapatkan ijin dari Jakim Agung Dunstan Mlambo. Ia memerintahkan di pengadilan tinggi Pretoria bahwa seluruh persidangan itu dapat disiarkan audio dan sebagian persidangan via televisi.
Pistorius sendiri awalnya divonis tidak bersalah atas dugaan pembunuhan. Namun, dalam keputusan lanjutan ia divonis bersalah dan dihukum enam tahun dengan tambahan tiga tahun karena dugaan tindakan membahayakan dengan menggunakan senjata api. Sidang ini tak hanya menjadi perhatian di Afrika Selatan tapi juga negara-negara sekitar Afrika dan Persemakmuran Inggris. Sebagai atlet unggulan paralimpik, Oscar merupakan orang yang banyak dikenal, sementara kekasihnya Reeva Steenkamp adalah model.
DStv, kanal TV satelite berbayar dari Afrika Selatan melancarkan program khusus yang meliput seluruh hal terkait peridangan Oscar Pistorius. Ini adalah terobosan pertama Dstv terkait pemberitaan kasus hukum. ESPN juga meluncurkan program serupa melalui jaringan ESPN3 untuk secara khusus memberikan perkembangan terbaru tentang kasus itu. Tak hanya di Afrika Selatan, di Australia kanal tv Seven Networks menayangkan investigasi berjudul Running Scared. Mereka menayangkan rekaman suara Pistorius dan animasi adegan pembunuhan Pistorius.
Keluarga Pistorius bersama tim pengacara mereka menuntut Seven Networks dengan dugaan dokumen ilegal. Dokumen yang digunakan kanal media itu adalah milik keluarga, bersifat rahasia, dan digunakan untuk pembelaan diri. Seven Network sendiri menolak gugatan itu dan menganggap bahwa apa yang mereka dapat merupakan hal legal. Acara itu sendiri diduga dapat mempengaruhi persepsi publik terkait kasus yang terjadi, karena keluarga korban juga angkat bicara.
Banyaknya media yang meliput kasus ini mendapatkan kritikan dari publik Afrika Selatan. karena dianggap tidak proporsional terhadap peliputan persidangan. Kasus serupa juga terjadi melibatkan Leigh Matthews yang diduga membunuh dua perempuan kulit hitam Zanele Khumalo dan Betty Ketane yang terjadi bersamaan dengan kasus Oscar Pistorius. Sindrom korban perempuan kulit putih dianggap berperan, bahwa pemberitaan pembunuhan perempuan kulit putih lebih menarik daripada jika korbannya adalah perempuan kulit hitam.
Marti Cecilia Howell-Collins, dari Syracuse University, dalam artikelnya berusaha menggugat bagaimana persepsi media sosial kadang punya pengaruh dalam keputusan sidang. Dalam desertasi berjudul Court Of Public Opinion: How the Convicted Perceive Mass Media Have Affected Their Criminal Trials and Personal Lives, Marti berargumen bahwa ada aspek yang dilupakan dalam pemberitaan terkait kriminalitas adalah bagaimana persepsi dibentuk. Media kadang membuat penghakiman terhadap orang yang tak bersalah menjadi bersalah atau sebaliknya.
Marti juga mengatakan bahwa keluarga dan segala yang terkait kasus pembunuhan tersebut bisa terseret dalam sirkus media. Seperti keluarga, kerabat, teman, saudara, dan rekan kerja dari pelaku maupun korban. Media bisa mengkonstruksi sosok pelaku atau korban sesuai framing yang ada. Misalnya pelaku dikonstruksikan sebagai pemarah, punya hobi aneh, anti sosial, atau apapun yang mengesankan ia bersalah. Hal bisa juga sebaliknya pelaku digambarkan baik, rajin ibadah, gemar menabung, atau apapun yang sebenarnya tidak relevan dengan pemberitaan sidang.
Masyarakat, tulis Marti, dipengaruhi oleh kriminalitas dari berbagai interaksi. Salah satu pemain kunci relasi kejahatan dan kriminalitas dengan publik adalah pers. Pihak lainnya yang terlibat dalam kejahatan dan keadilan adalah penegak hukum. Di sini setiap relasi, peristiwa, atau kejadian yang ditulis atau ditayangkan oleh wartawan bisa mempengaruhi persepsi publik terhadap sebuah peristiwa.
Marti mengatakan pers bisa terjebak pada elemen drama dalam sebuah peristiwa kejahatan ketimbang mencari fakta hukum. Drama menjual, sementara fakta-fakta hukum persidangan kerap kali membosankan. Ia mencontohkan peristiwa peledakan Oklahoma sebagai contoh. Media bisa mencari tahu fakta-fakta tentang peledakan itu melalui penyelidikan, tetapi penonton atau pembaca juga butuh tahu tentang mengapa ia terjadi. Muncul drama tentang masa lalu, lingkungan, keluarga, dan hal-hal yang kerap kali tidak berkaitan dengan persidangan. Penonton dan pembaca kemudian diajak melakukan penilaian tentang apakah si pelaku ini bersalah atau tidak dari drama tersebut.
Penulis: Arman Dhani
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti