tirto.id - Bagian kedua dari empat seri artikel tentang Slamet Iman Santoso. Artikel sebelumnya dapat dibaca di sini.
Di masa Pendudukan Jepang, tidak banyak perubahan dalam ritme kerja Slamet Iman Santoso. Dia tetap bekerja di Roemah Sakit Oemoem Poesat (nama baru CBZ) dan melayani pemeriksaan kejiwaan di Penjara Tjipinang. Bedanya, jumlah pasiennya kini bertambah. Dari semula hanya pasien rumah sakit, dia kini juga melayani penduduk sekitar rumahnya di Jalan Cimandiri. Pun masih ada tentara-tentara Jepang yang suatu kali “menggeruduk” rumahnya minta diperiksa dan diberi obat.
“Di zaman itu, dokter masih langka dan Dokter Slamet adalah satu-satunya dokter paling dekat dari Jalan Alatas, karena itu Dokter Slametlah yang menjadi andalan lingkungannya. Ia cukup sibuk melayani tetangganya, dan tidak segan datang pada larut malam untuk memeriksa kakak atau adik saya yang sakit. Beliau adalah dokter keluarga di rumah kami,” kisah Mardjono Reksodiputro dalam kumpulan Prof. Slamet Iman Santoso Dalam Kenangan (2005, hlm. 7-8).
Salah satu pertaruhan terbesar Slamet sebagai dokter di zaman Jepang adalah keberaniannya menghentikan suntik TCD untuk calon-calon pekerja romusha. Pasalnya, serum yang semula bertujuan meningkatkan daya tahan tubuhitu justru menjadikan banyak pekerja terjangkit tetanus dan tewas. Sebagian besar dari mereka sempat dirujuk ke rumah sakit tempat kerja Slamet, tapi tidak tertolong.
Sebagai dokter, Slamet tahu betul bahwa hanya ada dua kemungkinan: salah formula atau salah prosedur pembuatan.
Alih-alih mempertimbangkan dua kemungkinan itu, otoritas militer Jepang malah mempersalahkan dua orang dokter yang menjadi juru suntik, yakni Dokter Arifin dan Dokter Soelaiman Siregar. Yang terakhir sempat ditemui oleh Slamet dalam keadaan mengenaskan akibat disiksa Jepang lantaran dituduh sebagai biang keladi kematian para romusha.
Untuk menghentikannya, Slamet bersiasat sewaktu diinterogasi Kempeitai.
“Dalam pikiran, saya melihat ratusan orang menghadapi kematian. Hati dan pikiran saya menjadi gelap-gulita. Tetapi secara mendadak, semuanya tiba-tiba menjadi terang benderang, dan saya ingat sesuatu: hari Jumat mendatang adalah permulaan bulan Ramadhan!” kisahnya dalam Warna-Warni Pengalaman Hidup (1992, hlm. 162).
Slamet meyakinkan otoritas Jepang bahwa orang Islam tidak boleh disuntik saat menjalankan ibadah puasa. Untunglah alasan itu diterima dan praktik suntikan maut itu pun berhasil dihentikan.
Bergeliat di Tengah Revolusi
Ambruknya kekuasaan Jepang disaksikan Slamet dalam upacara penyerahan sederhana: profesor dan dokter-dokter Jepang duduk bersama dan tanpa banyak bicara menyerahkan unit rumah sakit dan fakultas kedokteran kepada Slamet dan rekan sejawatnya.
Slamet ingat, sang profesor berurai air mata dan dokter-dokter lain bergeming seribu bahasa.
“Oleh karena semua ruangan sudah dapat kami kuasai, saya keluyuran ke mana-mana, nglongak-nglongok. Di ruang fisika, saya melihat hal yang aneh. Lemari tempat penyimpanan alat tidak menempel tembok. Saat saya cari tangga, saya melihat peti-peti seperti lilin. Setelah diperiksa, ternyata itu dinamit berpeti-peti!” kenangnya.
Hingga menuliskan pengalamannya dalam sebuah autobiografi, Slamet masih penasaran mengapa Jepang meninggalkan dinamit itu di rumah sakit.
Beberapa pekan sesudah penyerahan rumah sakit yang serba mendadak itu, Slamet diundang rapat di ruang kebidanan. Rapat itu ternyata dihadiri juga oleh guru-guru besar ilmu hukum, ekonomi, hingga sastra. Rapat itu memutuskan untuk menyatukan semua perguruan tinggi yang tersebar di Indonesia di bawah satu payung dengan nama Balai Pergoeroean Tinggi Indonesia (BPTI).
“Nama ‘universiteit’ atau ‘universitas’ tidak pakai, karena dianggap kebarat-baratan,” kenang Slamet (1992, hlm. 180).
Tentu saja, di era Revolusi, kampus tidak serta-merta dapat menjalankan perkuliahan secara normal. Selain jumlah mahasiswa yang tidak tetap karena seringkali dipanggil ke front pertempuran, NICA yang menguasai Jakarta sejak Oktober 1945 ikut mendirikan Nood Universiteit van Indonesia yang menjadi tandingan BPTI.
Itu belum lagi menghitung soal sulitnya menggelar perkuliahan karena alat praktikum dan aset laboratorium dipindahkan ke Yogyakarta, Klaten, dan Malang sebagai antisipasi agar tidak jatuh ke tangan NICA.
Kondisi serba terbatas itu membuat Slamet geram. Dia memang bertahan di Jakarta dan tidak mengungsi ke daerah, tapi tidak berarti dia memihak NICA. Hanya karena semangat membela RI-lah, dia tetap menjalankan tugas-tugasnya di BPTI.
Semangat itu pun ditunjukkannya secara total dengan melibatkan mertua, paman, sepupu, dan beberapa famili untuk menjadi pengajar di Fakultas Kedokteran. Meski begitu, langkah itu sempat disalahpahami seorang utusan Menteri Pendidikan. Dia bahkan menggugat Slamet dengan kecurigaan nepotisme. Slamet tentu saja dongkol bukan main dibuatnya.
“Kalau Repiblik Indonesia tidak bisa membangun Fakultas Kedokteran, famili Slamet Iman Santoso bisa!” tukas Slamet menjawab tuduhan itu.
Sementara aktivitas kampus tak karuan lantaran kecamuk perang, Slamet turut membantu perjuangan kaum kiblik dengan menyelundupkan Oeang Repoeblik Indonesia (ORI) ke pedalaman. Dia menukar uang itu dengan 2.000 botol tablet sulfadiazin isi 500 butir dari Singapura dan membeli tekstil yang kemudian dikirim ke daerah-daerah sekitar dengan bantuan sindikat penyelundup di Pasar Pagi Mangga Dua.
Itu semua bukan pekerjaan mudah sebab transaksi bawah tanah itu harus berlangsung tiga hingga empat bulan. Pun masih dibayangi risiko kena tipu. Namun, Slamet toh tetap melakukannya.
“Memang manusia saat itu umumnya masih jujur. Tidak seperti sekarang. Sudah pintar dan kaya, masih serakah!” sindir Slamet (1992, hlm. 192).
Membuka Jalan Pendidikan Psikologi
Ketika melancarkan Agresi Militer II, Belanda merebut kompleks Fakultas Kedokteran dan Rumah Sakit tempat Slamet berkantor. Gara-gara itu, Slamet terpaksa memindahkan administrasi kampus ke rumahnya di Jalan Cimandiri 26. Sementara itu, aktivitas perkuliahan dilaksanakan dengan menumpang tempat di mana saja yang memungkinkan.
Hal itu berlangsung kurang lebih setahun, sampai Menteri Kesehatan pada suatu pagi di awal Januari 1950 menelepon Slamet dan memintanya mewakili Republik Indonesia dalam serah terima Rumah Sakit dan kompleks Fakultas Kedokteran di Salemba.
Keputusan sang Menteri memperhadapkan Slamet pada fait accompli. Menurutnya, serah terima sebuah universitas dan rumah sakit harusnya dikerjakan suatu panitia nasional, bukan guru besar sendirian. Sang menteri menyanggah alasan itu dan mengatakan bahwa komisi yang sebelumnya dibentuk tak bersedia.
Slamet spontan bertanya, “Kalau yang berwenang dan berkewajiban melakukannya tidak bersedia, mengapa saya yang harus melaksanakannya?”
Sang Menteri dengan lugu malah balik bertanya, “Habis bagaimana?”
Begitulah Slamet akhirnya duduk dalam panitia serah terima yang seterusnya juga bahu-membahu menyiapkan merger BPTI dan Nood Universiteit van Indonesia. Peleburan itulah yang kemudian melahirkan Universitas Indonesia.
Sesuai mandat, Slamet mula-mula tetap menjabat Wakil Direktur Rumah Sakit Umum Pusat merangkap dosen di Fakultas Kedokteran UI. Dengan pertimbangan bahwa jabatan kedua menuntut lebih banyak tenaga dan fokusnya, Slamet mengundurkan diri dari RSUP untuk mengembangkan FKUI.
Seraya itu pula dia kembali ke dunia lamanya: neurologi dan psikiatri. Di masa itu, dia sudah dikenal sebagai pakar di kedua bidang itu. Sampai-sampai, penasihat pemerintah pernah mengusulkan Slamet menjadi anggota komisi perundingan Irian Barat. Kebetulan, sang penasihat adalah kawan sekolahnya di STOVIA dulu.
Mengapa seorang psikiater malah dipilih menjadi anggota komisi perundingan? Tak lain adalah supaya bisa menggunakan kemampuan Slamet sebagai psikiater untuk mengendalikan ketua komisi yang dianggap kurang stabil emosinya!
“Penugasan untuk mengawasi sesuatu berkali-kali di zaman Republik itu membuat saya sampai bertanya-tanya, apakah saya termasuk kategori wacht-hond alias anjing penjaga?” renung Slamet (1992, hlm. 204).
Pekerjaan itu agaknya seperti sebuah selingan saja bagi Slamet. Pasalnya, komitmen terbesarnya kala itu adalah merintis pendidikan psikologi di Indonesia. Kesempatan untuk mewujudkan visinya itu datang saat dia diminta—lagi-lagi secara dadakan—untuk menyampaikan orasi ilmiah dalam Dies Natalis pertama UI pada Februari 1952.
Slamet tidak bisa menolak permintaan itu karena tidak ada orang lain yang dianggap lebih berkapasitas menyampaikannya. Tiga minggu kemudian dihabiskan Slamet untuk menyusun pidatonya.
“Pada waktu saya menyampaikan pidato itu, naskah yang saya bacakan masih dalam tulisan pensil, belum sempat diketik,” kenangnya.
Slamet lalu menyampaikan pidato ilmiah berkepala “Pemeriksaan Psikologis Sebagai Dasar untuk Sekolah”. Pidato itu kemudian dianggap sebagai tonggak dalam sejarah lahirnya pendidikan ilmu psikologi di Indonesia sekaligus menjadi pidato pengukuhan Slamet sebagai Guru Besar Ilmu Psikologi.
Pidato sepanjang 20-an halaman itu merupakan argumentasi Slamet akan pentingnya melakukan pemeriksaan kecerdasan (ukuran IQ) dan pemeriksaan karakter pribadi secara simultan. Pidato itu dinilai sebagai terobosan sebab saat itu belum ada akademisi Indonesia yang membahas masalah pengukuran IQ manusia.
Aplikasinya, menurut Slamet, adalah ujian saringan peserta didik baru yang dapat menjadikan IQ sebagai dasar bagi penerimaan dan dengan psikotes yang teruji, prioritas alokasi tenaga kependidikan dapat tersusun lebih sistematis.
“Dengan jalan test psikologis, maka dari chaos dapat dipisahkan golongan satu dari yang lainnya, dapat disusun kader beraneka corak, diantaranya kader yang mempunyai pengharapan akan memajukan masyarakat. 22½% [populasi orang dengan] I.Q. 70–90 yang memberatkan pekerjaan guru, mengecewakan guru, dapat dipisahkan dan dialirkan ke dalam sekolahan dan kedudukan masyarakat yang sebenarnya. Hingga sekarang golongan ini duduk dalam satu kelas bersama-sama dengan murid lainnya. Penyaringan mereka terjadi sepanjang sekolah, selama mereka bersekolah beberapa kali tidak naik, sehingga mereka memperlambat kemajuan kelas,” tulis Slamet dalam pidatonya yang tersua dalam kumpulan Pembinaan Watak: Tugas Utama Pendidikan (1979, hlm. 18).
Tes IQ sebagai prasyarat masuk sekolah, menurut Slamet, memungkinkan peserta didik untuk menumbuhkan iklim kompetitif yang sehat di antara orang-orang yang memiliki derajat kepandaian yang setara.
“Dengan pemeriksaan psikologis, kita sebenarnya telah meringankan hukum survival of the fittest. Kita menggunakan ilmu untuk mengatasi dasar-dasar yang telah diletakkan ciptaan alam dalam dunia manusia, yaitu intelligence mastering nature, dan dengan demikian, kita mendekati apa yang kita maksudkan, yaitu the right man in the right place, apa pun tempatnya itu, dan menghindari the right man in the wrong place, the wrong man in the right place, dan the wrong man in the wrong place,” pungkas Slamet mengunci pidatonya.
Bersambung...
Penulis: Chris Wibisana
Editor: Fadrik Aziz Firdausi