tirto.id - Rabu, 2 Januari 2019 pemain sinetron Anjasmara mengunggah foto di Instagram tentang dirinya yang melaporkan akun instagram @corissa.putrie ke Polres Metro Jakarta Selatan karena komentarnya di salah satu foto unggahan Dian Nitami, istrinya.
Dalam foto Dian Nitami tersebut, akun @corissa.putrie berkomentar:
“Itu hidung ny jelek.bgt..melar bgt..jempol kaki.jg bs masuk..waduh..operasii lha..katanya artis..masa duit buat perbaiki hidung gag ada..waduh..”
Sebelum melaporkan ke polisi, Anjasmara sempat mengancam akun tersebut untuk meminta maaf melalui Koran Kompas.
“Sebelum kamu membuat pernyataan maaf baik secara sosial media ataupun Koran Kompas sebanyak satu lembar penuh maka saya akan segera melaporkan kamu ke pihak yg berwajib. Saya tunggu permohonan maaf kamu dalam waktu 2x24 jam,” kata Anjasmara di salah satu unggahannya.
Kasus pelaporan karena body shaming maupun perundungan di media sosial juga pernah dilakukan oleh Ussy Sulistiawaty pada bulan Desember 2018 lalu. Saat itu Ussy geram karena beberapa pemilik akun telah menghina kedua putrinya. Sebelumnya, Daus Mini, Ashanty, dan Nikita Mirzani juga pernah mengancam akan melaporkan orang-orang yang melakukan cyber bullying.
Body Shaming Bukan Hal Baru
Body shaming merupakan sebuah tindakan yang bertujuan mempermalukan orang lain. Healthlinepernah menulis fenomena ini sebagai hal yang tak baru dalam relasi sosial. Biasanya, pelaku body shaming akan menstigmatisasi dan berusaha menghancurkan harga diri dari korban, dengan cara membandingkan mereka dengan suatu bayangan tampilan sempurna.
Masalah tentang body shaming meningkat seiring dengan perkembangan media sosial karena perubahan narasi standar keindahan tubuh yang dikembangkan oleh sejumlah perusahaan dan dunia selebritas.
Dalam artikel berjudul “Social Media Effects on Young Women’s Body Image Concerns: Theoritical Perspectives and an Agenda for Research” (PDF) yang ditulis oleh Richard M. Perloff, teknologi media seperti situs web maupun situs media sosial seperti Facebook, Twitter, Tumblr, Instagram, dan Pinterest memiliki dampak berbeda dengan media massa konvensional dalam memberikan sebuah citra tubuh.
Perloff memaparkan bahwa faktor pembeda antara media sosial dan media massa konvensional adalah interaksi yang terbangun di dalamnya. Melalui media sosial, seorang pengguna bisa menjadi sumber, serta penerima, dan kadang menjadi pelaku keduanya dalam waktu yang bersamaan.
Selain itu, berbeda dengan media massa sebelumnya yang hanya membangun komunikasi searah serta memiliki otonomi penuh, dalam media sosial terjadi interaksi virtual, yakni interaksi yang dilakukan tanpa harus bertatap muka. Pengguna bisa secara langsung berkomentar dalam akun selebritas.
Dulu, majalah atau tabloid, juga televisi, menjadi sumber utama untuk menunjukkan citra negatif seorang selebritas. Meledaknya penggunaan media sosial memperparah fenomena body shaming karena warganet kerap dihadapkan pada gambaran tubuh sempurna. Apalagi, melalui interaksi online, pengguna medsos bisa secara langsung mengomentari unggahan-unggahan dengan kalimat merendahkan.
Bagaimana Merespons Body Shaming?
Anggota Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFENet) Unggul Sagena menilai bahwa komentar yang diberikan oleh haters-haters selebritas merupakan salah satu konsekuensi ketika mengunggah foto dan video di media sosial. Apalagi mereka adalah public figur yang selalu disorot.
“Masa kita bisa terima dibilang ganteng, tapi kita tidak bisa terima dibilang jelek. Itu ukuran-ukuran yang kualitatif,” ungkapnya.
Unggul tak menampik hadirnya Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik bisa memperkarakan pelaku body shaming, tapi ia mengingatkan bahwa proses hukumnya tak mudah.
“Karena akan sulit dilakukan pembuktian. Walaupun ada screenshot, ada segala macam yang bisa dijadikan alat bukti. Tapi hal-hal seperti ini sulit, karena warganet itu siapa? Dan ketika akun publik terjadi pem-bully-an, akan sulit juga untuk mengontrol,” tutur Unggul.
Biasanya, komentar-komentar yang dilontarkan oleh pelaku body shaming bersifat kualitatif, sehingga Unggul khawatir jika masalah ini dilanjutkan bisa mengganggu kebebasan berekspresi.
Unggul menilai bahwa pelaporan seperti yang dilakukan oleh Anjasmara dan selebritas lainnya tak akan efektif dan selalu menghadirkan pro-kontra. “Memang banyak sekali yang mandek laporan seperti ini, kecuali memang mau menghabiskan energi dia [pelapor],” katanya.
Meskipun body shaming bisa mengganggu korban, Unggul menyampaikan bahwa akan lebih baik jika mereka memberikan penjelasan di media sosial. “Kecuali kalau sudah mengganggu ranah pribadi, misalnya mengikuti ke rumah, surat kaleng, bukan melakukan kritik di online dan semua bisa baca, bisa like, bisa dislike,” tandasnya.
Penulis: Widia Primastika
Editor: Maulida Sri Handayani