tirto.id - Lemari pendingin dengan bagian khusus untuk menyimpan telur, terutama di balik pintu, cukup populer di Indonesia. Kondisi ini melahirkan asumsi telur memang sebaiknya disimpan dalam suhu dingin dan tertutup rapat. Meski demikian, dunia ini terlalu sempit untuk interpretasi tunggal. Di beberapa negara lain, justru ada masyarakat yang meyakini bahwa telur lebih baik disimpan dalam rak terbuka di ruangan bersuhu normal. Mana yang benar?
Masing-masing kubu boleh berbeda pendapat. Namun, keduanya disatukan oleh satu tujuan bersama: memerangi kontaminasi bakteri Salmonella, genus bakteri enterobakteria gram-negatif berbentuk tongkat yang menyebabkan tifoid, paratifoid, dan penyakit foodborne alias menyebar melalui makanan.
Salah satu media penularan yang kerap menjadi tempat Salmonella bersarang adalah isi telur itu sendiri. Dalam kondisi yang mendukung, Salmonella bisa memasuki cangkang telur. Dalam beberapa kasus, bahkan bisa berada dalam telur yang belum menetas. Ia tak akan mati jika telur dimakan mentah atau tak matang sempurna, dan akhirnya bakteri mengendap di tubuh serta menjadi awal penyebaran penyakit.
Menurut Standards Australia-New Zeland, telur menjadi penyebab utama bagi kurang lebih 13.000 kasus penularan bakteri Salmonella di Australia. Angka itu bukan total sejak kasus pertama, melainkan per tahun.
Dalam sebuah laporan tahun 2009 dinyatakan bahwa kerugian ekonomi Australia atas penyakit yang disebabkan bakteri Salmonella diperkirakan sebesar $44.000.000 per tahun. Kerugian yang besar dan merentang dari sisi kesehatan hingga ekonomi yang serupa juga dialaminegara-negara lain, termasuk Indonesia.
Aman Disimpan di Lemari Pendingin
Amerika Serikat adalah negara perwakilan dari kubu yang percaya bahwa menyimpan telur di lemari pendingin bisa menghindarkan perut warganya dari bakteri jahat, termasuk Salmonella. Telur-telur yang disimpan di seluruh toko swalayan di AS disimpan di dalam lemari atau ruangan pendingin, dan pengunjung mesti segera memasukkannya kembali ke lemari pendingin masing-masing saat sudah dibawa pulang.
Prosedur pengamanan telur sebagaimana dikutip dari lama resmi U.S. Food and Drug Administration (FDA) menyebutkan bahwa usai ditetaskan, telur harus melewati proses pencucian dan pengeringan sebelum dikemas. Pencuciannya pun mesti memakai air panas yang dipercaya akan membuat cangkang telur benar-benar bersih dari cairan kotor pembawa bakteri. Kehati-hatian ini disebabkan pori-pori tak kasat mata yang ada di cangkang telur tetapi bisa menjadi jalan masuk bakteri.
FAO menyebut sejumlah penelitian yang menunjukkan pencucian memang membersihkan cangkang telur, tetapi sekaligus menipiskan serta membuatnya lebih rentan. Untuk itu, FAO menyarankan dengan tegas agar telur segera disimpan ke lemari atau kamar pendingin bersuhu 7 derajat celcius atau lebih rendah. Begitu pun saat ia baru dibeli. Sebab, jika dibiarkan di suhu ruangan, telur-telur yang “berkeringat” juga lebih rawan terkontaminasi bakteri Salmonella.
Lembaga penelitian kesehatan Mayo Clinic setuju jika penyimpanan telur di kulkas adalah yang teraman, sebab bakteri akan sulit berkembang di sebuah lingkungan bersuhu kurang dari 20 derajat celcius—terutama Salmonella. Namun, Mayo Clinic memberikan catatan: telur yang telah dikeluarkan dari lemari pendingin lebih dari dua jam sebaiknya tak dikonsumsi dan dibuang. Risiko terkontaminasi bakteri jahat sangat besar. Maka sebaiknya telur dikeluarkan saat ingin dikonsumsi saja.
Ada sejumlah kelebihan saat menerapkan teknik penyimpanan ini. Selain lebih aman dari bakteri jahat, telur juga bisa disimpan lebih lama dan tak mudah membusuk. Meski demikian, teknik ini juga memiliki kekurangan, yakni penurunan kualitas si telur. Terutama telur yang disimpan di belakang pintu lemari pendingin, bagian kuning dan putihnya akan mudah tercampur sebab pintu sering dibuka-tutup.
Kekurangan lainnya berkaitan dengan kondisi mendinginnya suhu telur yang dipercaya para chef membuat rasa makanan yang dihasilkan akan berubah. Apalagi untuk olahan telur dadar atau ceplok, kenikmatan rasanya akan berkurang dan tak sama lagi sebagaimana telur segar pada umumnya. Isi telur yang dingin juga tidak bisa langsung dipakai untuk membuat kue. Pada beberapa resep, isi telur yang dingin justru merusak kue sebab adonan tak tercampur dengan baik.
Suhu Ruangan pun Tak Masalah
Sementara AS terobsesi dengan prinsip “yang dingin, yang higienis”, Inggris justru mengamini rumus “suhu ruangan yang terbaik untuk telurmu”. Di Inggris, sesuai laporan Standards Agency, telur yang akan dipasarkan tak perlu dicuci apalagi dengan air panas. Alasannya, telur hasil dicuci memiliki cangkang yang lebih rentang kemasukan bakteri Salmonella.
Peraturan ini mendorong para peternak di Inggris untuk menjaga telur-telurnya sebersih mungkin meski tanpa dicuci sebab bertaruh dengan kesehatan konsumen sekaligus menjaga kekuatan cangkang. Saat sudah berada di tangan konsumen, telur-telur itu bisa cukup disimpan di rak dengan suhu ruangan normal. Sebagai tambahan pencegahan, rata-rata peternak di Eropa memvaksinasi ayam-ayamnya agar tahan terhadap kontaminasi bakteri Salmonella yang meracuni telur sebelum menetas.
Jadi kesimpulannya, pakai lemari pendingin atau tidak?
Melihat keduanya memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing, keputusan ada di tangan Anda. Tim Hayward, kolumnis restoran BBC, berkata pada Daily Mail bahwa menyimpan telur di suhu ruangan itu boleh, tetapi tak lebih dari 7 hari. Setelah lewat seminggu, telur lebih baik tidak dipakai karena sudah tak segar. Anda tidak disarankan untuk menyimpan telur dalam jumlah yang banyak pada suhu ruangan.
Kompromi kemudian dilakukan oleh masyarakat Australia. Dalam laporan Bussines Insider ditulis bahwa telur perlu dicuci untuk meminimalisasi potensi terkontaminasi bakteri jahat ke dalam cangkangnya. Keyakinan atas melemahnya kekuatan cangkang terhadap bakteri runtuh sebab bagi mereka menyimpan di ruangan biasa atau di lemari pendingin itu pilihan. Jika ingin disimpan dalam jangka waktu yang lama, disarankan untuk menyimpan telur di lemari pendingin.
Agar Anda lebih puas, mari simak penelitian yang dilakukan oleh Test Laboratory yang berkantor di West Yorkshire, Inggris. Riset yang ditugaskan oleh Daily Mail itu mengkomparasikan dua kelompok telur yang dibeli dari toko swalayan Tesco. Test dipilih karena memiliki rekam jejak yang baik dan disetujui pemerintah untuk menjamin keamanan, kualitas, dan legalitas makanan dan minuman yang dijual di pasar.
Test mengawasi dua kelompok telur selama dua minggu, yang satu dengan suhu ruangan dan satunya berada di dalam lemari pendingin bersuhu 6 derajat celcius—suhu rata-rata lemari pendingin. Kedua sampel diuji secara teratur untuk mengukur kadar bakterinya, serti E. coli, Salmonella, Staphylococcus aureus, Listeria, hingga jenis Campylobacter.
Hasil yang diambil pada titik awal pengujian dan pada akhir minggu pertama serta minggu kedua menunjukkan kondisi yang sama. Tidak ada perbedaan apa pun dari kedua sampel. Keduanya tetap bebas bakteri.
Manajer penguji makanan Test Jay Tooley memaparkan bahwa dalam konteks kesehatan dan keamanan si telur, “Tak ada keuntungan tertentu untuk menyimpan telur di dalam lemari pendingin sebagai lawan dari menyimpan telur di suhu ruangan. Jadi, kesimpulannya, tak perlu khawatir untuk menyimpan telur di luar kulkas.”
Para peneliti meyakini bahwa selain perkara penyimpanan, yang tak kalah penting dalam upaya menghindar Salmonella dan bakteri jahat lainnya adalah bagaimana kita mengolah telur. Hindari makan telur mentah, dan pastikan telur sudah benar-benar matang saat dimasak. Tak usah mengonsumsi telur yang sudah melewati batas kadaluarsa. Lebih baik belanja telur segar daripada bertaruh dengan kesehatan tubuh Anda.
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Maulida Sri Handayani