tirto.id - Gerakan massa turun ke jalan yang digagas ormas-ormas Islam kembali dilakukan Jumat lalu (31/3/2017). Mereka menyebutnya sebagai aksi 313. Ini merupakan lanjutan dari "Aksi Bela Islam" yang sudah berlangsung sejak Oktober 2016 lalu. Mereka menuntut Gubernur DKI non-aktif, Basuki Tjahaja Purnama segera ditahan karena dugaan penistaan agama.
"Aksi Bela Islam" dipelopori Front Pembela Islam (FPI) pada Jumat, 14 Oktober 2016. Aksi dilakukan di depan Balai Kota, Jalan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat. Tuntutan aksi ini adalah segera menetapkan Ahok sebagai tersangka penistaan agama. Dalam soal massa, aksi ini tidak mendapat perhatian cukup besar.
Merasa tak digubris, sebagian tokoh-tokoh islam yang berhimpun di Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI (GNPF-MUI) kembali menggelar Aksi Bela Islam jilid II pada 4 November 2016. Aksi ini sukses mendatangkan ratusan ribu massa. Puncak "Aksi Bela Islam" terjadi pada 2 Desember 2016. Salat Jumat berjamaah yang digelar di sekitaran Monas diperkirakan sukses menghimpun ratusan ribu manusia.
Meski Ahok sudah ditetapkan jadi terdakwa dan kini jadi pesakitan di pengadilan, mereka tidak henti melakukan aksi. Pada aksi 212, massa menuntut Ahok segera ditahan. Pada aksi 112 yang digelar 11 Februari 2017, mereka meminta Ahok diberhentikan dari posisi Gubernur karena statusnya sebagai terdakwa.
Tuntutan sama juga dilakukan pada aksi 212 jilid 2 pada 21 Februari 2017. Kali ini, tuntutan diarahkan kepada DPR dan Kemendagri. Berbeda dengan aksi sebelumnya, aksi 212 jilid 2 dilakukan di Gedung DPR, bukan di Istana, Monas atau Istiqlal.
Sepanjang enam jilid Aksi Bela Islam dilakukan, secara kuantitas massa jumlah massa yang datang semakin terus berkurang. Titik nadirnya terjadi pada aksi Jumat lalu. Massa yang datang diperkirakan tak lebih dari 15.000 orang.
Dalam tiga aksi bela islam terakhir GNPF-MUI sudah mundur diri. Koordinasi aksi semuanya diserahkan pada Forum Umat Islam (FUI). Hasilnya tidak terlalu signifikan.
Jumlah massa terbesar yang bisa dikumpulkan FUI hanya terjadi pada aksi 112. format aksi pun sebenarnya bukanlah pengerahan massa ke jalan, namun hanya sekadar dizkir dan doa bersama di Masjid Istiqlal. Informasi yang dihimpun, jumlah massa saat itu mencapai 200.000 orang. Angka ini muncul lantaran saat acara berlangsung massa yang datang sukses memenuhi daya tampung Masjid Istiqlal.
Jumlah massa turun saat FUI mencoba mengkoordinasi aksi di jalanan. Pada Aksi 212 jilid 2 di depan DPR RI, masa yang datang tak lebih dari 15.000 orang.
Atas dasar ini pula, Sekretaris Jenderal FUI Al Khathath sudah pesimistis peserta aksi 313 tidak akan sebanyak aksi sebelumnya. “Besok seandainya kalau yang aksi cuma bertiga ya nggak apa-apa,” tegas Al Khathath di Jalan Saharjo, Jakarta Selatan, Kamis (30/3/2017).
Prediksi minimnya peserta akhirnya memang terbukti. Jika ditarik dari pusat komando aksi di Bundaran Patung Kuda, uraian massa yang berkumpul tak memenuhi seluruh Jalan Medan Merdeka Selatan. Di tengah bundaran, kondisinya pun renggang, tak seperti saat aksi 411 atau 212 jilid I yang saking padatnya untuk jalan pun teramat susah.
Data peserta yang berpartisipasi aksi 313 bisa diraba lewat kedatangan massa di titik kumpul, yakni Masjid Istiqlal. Kepala Bagian Protokoler Masjid Istiqlal Abu Hurairah mengatakan, jumlah peserta yang memenuhi masjid Istiqlal jauh lebih rendah dibandingkan jumlah massa yang hadir dalam aksi bela islam 112.
Dalam aksi bela Islam 112, Istiqlal yang berkapasitas sekitar 300.000 umat tidak mampu menampung massa. Akan tetapi, dalam aksi 313, jumlah massa tidak sampai 50 persen. "Jumlahnya 30 persen dibanding sebelumnya," ujar dia kepada Tirto, Jumat (31/3/2017).
Jumlah massa tersebut dihitung dari yang datang sejak Kamis (30/3/2017) hingga Jumat (31/3/2017) siang. Tidak banyak massa berlalu lalang dalam aksi.
Selain itu, sebaran logistik aksi 313 juga tidak sebesar aksi sebelumnya. Petugas Istiqlal juga menemukan adanya motif lain dari peserta aksi. "Ada yang emang tujuannya jalan-jalan, ada yang ikut aksi. Bersilaturahmi," katanya.
Dosen komunikasi politik Universitas Airlangga, Suko Widodo, menuturkan penurunan jumlah masa ini disebakan banyak faktor. Pertama adalah momentum yang sudah hilang. “Momentumnya sudah mulai tereduksi karena proses-proses (hukum Ahok) itu tengah berjalan. Kalau dulu, kan, prosesnya belum jalan, sekarang sedang berjalan,” kata Suko saat dihubungi Tirto, Sabtu (1/4/2017).
Kata Suko, setelah proses peradilan berjalan momentum itu ikut mulai hilang. Masyarakat lebih memilih menunggu proses persidangan. “Orang kini lebih memilih menunggu,” kata Suko.
Faktor kedua adalah nasib para aktor yang memimpin. Suko berpendapat, tersangkutnya Bachtiar Natsir, Munarman, Rizieq Shihab dan Al Khathath dalam kasus hukum jadi faktor lain mengurangi jumlah massa. Banyak tudingan kriminalisasi kepada para tokoh-tokoh GNPF-MUI. Kata Suko, jerat hukum ini bisa memberikan sejumlah dampak.
“Kalau komandannya dikenai kasus, kan, energi komando manajemennya jadi berkurang juga sehingga daya dorong jadi lemah,” tutur Suko.
Kata Suko, peserta aksi akan berpikir dua kali sebelum ikut aksi lanjutan. Muncul ketakutan mereka akan bernasib sama dengan pimpinan mereka yang tengah dikriminalisasi. Kalau pun muncul wacana bahwa pemimpin aksi dikriminalisasi, Suko menuturkan pemerintah bisa menangkis dengan instrument kenegaraan.
“Itu (kriminalisasi), kan, sudut pandang. Kalau kemudian dia (kelompok aksi) lebih kuat, negara kan punya senjata, punya aparat. Orang jadi mikir,” kata Suko.
Sementara itu, Dosen ilmu politik dari Universitas Negeri Jakarta Ubedilah Badrun berpendapat, minimnya peserta aksi 313 karena soal strategi saja.
“Pada 313 tampaknya sengaja dibuat tidak terlalu besar. Ada semacam penugasan saja terhadap sayap aksi dari sekian banyak kelompok yang bergabung dalam GNPF MUI,” kata Ubedilah saat dihubungi Tirto, Sabtu (1/4/2017).
Kata dia, aksi 313 hanya bertujuan untuk memberikan penekanan kepada pengadilan untuk mempercepat proses penegakan hukum kasus. Menurutnya ini adalah manuver politik para petinggi GNPF-MUI lewat FUI.
Pria yang juga Direktur Eksekutif dari Puspol Indonesia ini berpendapat, tidak turunnya Front Pembela Islam (FPI) juga memberikan sinyal kalau aksi 313 tidak masuk agenda besar GNPF-MUI.
Jika melihat dari sudut pandang sosiologi politik, Ubedilah melihat GNPF-MUI sebagai organisasi masyarakat yang sukses mengelola massa. Mereka bisa menentukan ormas Islam mana yang layak untuk maju dalam satu agenda atau tidak. Dengan demikian, aksi 313 hanya berguna untuk menjaga semangat massa agar tidak kendur.
“Oleh karenanya tetap patut diperhitungkan bahwa akdi 313 itu hanya untuk menjaga ruh perjuangan social movement, bukan untuk disimpulkan bahwa jadi 313 adalah aksi final,” kata Ubedilah. “Jadi ada kemungkinan pada suatu saat jutaan orang akan turun ke jalan lagi, itu tergantung kemampuan rezim saat ini dalam mengelola masalah,” lanjutnya.
Terkait dengan tudingan terhadap kriminalisasi ulama yang berdampak pada berkurangnya keberpihakan massa, Ubedilah mengaku ini akan jadi masalah di kemudian hari. Menurutnya, hal ini justru bisa jauh lebih berbahaya karena publik bisa saja bersikap meledak-ledak apabila tindak kriminalisasi diikuti dengan vonis putusan dugaan penistaan agama yang tidak sesuai ekspektasi publik.
“Kriminalisasi terhadap tokoh utama aksi tersebut bisa memendam semangat perlawanan yang tumbuh kuat dan tersimpan yang sewaktu-waktu justru bisa memicu tumpahnya jutaan rakyat dalam demonstrasi besar. Saya kira rezim penegak hukum saat ini seperti sedang 'bermain api',” kata Ubedilah.
Ubedilah mengimbau pemerintah untuk berhati-hati ke depan. Ia mengingatkan, kriminalisasi ulama bisa menjadi pemicu emosi publik. Emosi tersebut bisa semakin berbahaya jika tidak ditangani dengan baik, apalagi jika pemerintah tidak menangani dengan baik masalah-masalah lain.
“Tidak hanya faktor Ahok, tetapi ada faktor lain yaitu jika rezim politik makin represif, tidak adil dan gagal mengatasi problem ekonomi,” kata Ubedilah.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Aqwam Fiazmi Hanifan