tirto.id - Midsommar akhirnya tayang di bioskop Indonesia Rabu (11/9/2019) lalu. Sebelumnya, film garapan Ari Aster ini sempat dilarang tayang oleh Lembaga Sensor Film (LSF) karena dianggap memuat konten-konten yang tidak pantas.
Film horor dan thriller kedua Ari Aster ini dijdwalkan tayang pada 21 Agustus 2019. Namun, karena insiden tersebut, pemutaran film diundur hingga 11 September 2019.
Pada situs Rotten Tomatoes, Midsommar dilabeli R, karena mengandung "konten pelecehan ritualistik yang mengganggu, gambar yang mengerikan, konten seksual yang kuat, gambar-gambar telanjang, penggunaan narkoba, dan bahasa kasar".
Midsommar bercerita tentang upaya Dani (Florence Pugh) menghadapi trauma atas tragedi yang menimpa orang tua dan saudarinya. Dani pun melancong ke Swedia bersama pasangannya, Christian (Jack Reynor). Mereka sengaja pergi ke sana untuk mengikuti festival musim panas yang hanya diadakan 95 tahun sekali.
Akan tetapi, Dani malah terjebak di tengah sekte aneh dengan segala ritualnya yang tak lazim. Sepanjang film, adegan kekerasan, darah, hingga ritual seks yang brutal muncul bergantian.
Dilansir The Guardian, Aster menghabiskan waktu berbulan-bulan meneliti mitos dan tradisi orang-orang Skandinavia dan Jerman. Ia turut pula berkeliling museum, peternakan kuno, serta mempelajari tanaman, lukisan. Bukan hanya itu, ia juga turut mempelajari teknik penyiksaan Viking agar film yang ia buat lebih realistis.
Ini bukan pertama kalinya Ari Aster menampilkan konten dewasa dalam filmnya. Tahun lalu, dalam film horor debutanya, Hereditary, Ari menampilkan konten serupa. Pada situs Rotten Tomatoes, drama horor tersebut hanya absen pada "penampilan konten seksual yang kuat".
Namun, Hereditary malah mendapat respons positif. Pada laman yang sama, film yang dibintangi Tony Collette ini mendapat skor 89 persen. Bukan hanya itu, dilansir The Verge, Hereditary mendapat kesempatan untuk tayang perdana pada festival film paling bergengsi sejagat, Sundance International Film Festival 2018.
Dilansir situs resmi AFI Conservatory, Aster menggarap Hereditary berkolaborasi dengan kawan sekelasnya saat berkuliah dulu, Pawel Pogorzelski. Mereka berdua sama-sama berada di angkatan 2010 pada institusi tersebut. Pawel mengurus bagian sinematografi film.
Sutradara berkebangsaan Amerika Serikat (AS) ini mendapat gelar Master of Fine Arts (MFA) dari American Film Institute (AFI) Conservatory.
Sebelum Hereditary dan Midsommar, Ari beberapa kali menggarap film pendek, seperti The Strange Thing About the Johnsons (2011), Munchausen (2013), dan Basically (2014). Film-filmnya telah dimainkan di Festival Film New York, Fantastic Fest, Slamdance, dan masih banyak lagi.
Karir pria kelahiran New York, 32 tahun yang lalu ini menjulang setelah ia berhasil menyelesaikan film pendeknya yang kontroversial, The Strange Thing About The Johnsons pada 2011. Film ini mendulang sukses setelah tampil perdana dalam Slam Dance Film Festival di kota kelahirannya.
Ide Ari untuk membuat film tidak datang dengan sendirinya. Banyak sutradara lain yang sejak lama menginspirasinya dan ia idolakan. Pada wawancaranya dengan Criterion, Aster membeberkan beberapa sutradara yang menjadi panutannya.
"Aku suka semua film Ingmar Bergman, tetapi film-film terakhirnya lah yang paling memengaruhiku, dimulai dengan Persona," sebut Ari.
Ia mengaku banyak belajar dari Ingmar tentang logika berpikir dalam film. Film Persona, seperti film Three Women karya Robert Altman yang kaya akan kebrutalan, mengilhaminya dalam berkarya.
"Film buatannya (Ingmar Bergman) betul-betul merupakan hiburan--menyenangkan dan sungguh indah", imbuhnya.
Akan tetapi, Mike Leigh merupakan sutradara yang paling ia sanjung.
"Leigh merupakan inspirasi--tapi bukan pengaruh. Tidak ada yang sanggup membuat karya seperti yang ia bikin. Mike Leigh mungkin merupakan sutradara favoritku yang masih hidup," ujar Ari.
Di samping itu, A Brighter Summer Day adalah film yang dianggapnya paling berkesan. Menurutnya, karya Edward Yang itu merupakan sebuah mahakarya yang tak ada tandingannya.
"Aku tidak tahu bagaimana bisa ada orang yang setelah menonton film itu, tidak merasa sedang menonton film terbaik yang pernah dibuat," kata Ari.
Namun, tidak banyak yang bisa digali dari kisah keluarga Ari Aster. Pada wawancaranya dengan The Times of Israel, Ari berkelit perihal tersebut.
"Mungkin itu karena masalah Hereditary, sebuah film mengerikan yang dibintangi oleh Toni Collette sebagai seorang seniman/orang tua tunggal yang dikirim ke spiral ketika ibunya meninggal," tulis Jordan Hoffman dalam laman yang sama.
Pada wawancaranya dengan Vox, Ari membuat film Hereditary sebagai representasi dari pengalaman pribadinya.
"Aku ingin membuat film yang menunjukkan dampak dari trauma yang ada dalam sebuah keluarga... Kisah seperti itu sudah pernah aku rasakan. Aku tidak perlu susah payah untuk menemukannya," katanya.
Ketika dikulik lebih lanjut tentang keluarganya, Ari kembali berkelit.
"Aku dan keluargaku mempunyai hubungan yang suportif. Tapi, bisa dibilang, berbagai macam penderitaan pernah keluargaku alami. Aku tidak bisa membeberkan itu. Bukan menimpaku, tapi menimpa orang-orang yang aku pedulikan," katanya.
Ari memang menyukai film horror. Ia selalu mencari bagian horor setiap berkunjung ke toko kaset. Namun, di balik itu, sebenarnya ia tidak pernah ingin membuat film horror.
"Horror bukan genre yang menarik untukku. Ini konyol, karena semua yang aku lalui selama ini sudah gelap dan suram, dan membuat horror bukan hanya baik, tapi juga perlu," tambahnya dalam wawancara dengan The Verge.
Penulis: Adilan Bill Azmy
Editor: Dipna Videlia Putsanra