tirto.id - Ari Aster adalah pendongeng ulung.
Impresi itu muncul selepas saya menonton Hereditary, film panjang pertamanya sebagai sutradara. Sejumlah media menyebut Hereditary sebagai film horor paling mengerikan tahun lalu. Buat saya, ia bahkan harusnya masuk daftar film Hollywood terbaik sepanjang 2018.
Bukan cuma karena menyajikan presentasi horor yang segar, Ari Aster juga penulis naskah yang cermat dan teliti. Misalnya, alih-alih mengikuti jurus lawas menebar ranjau jumpscare, Hereditary justru menggali horor sebenarnya dalam alam pikir manusia, tempat tergelap seseorang bisa tenggelam ketakutan. Semua itu bukan cuma berhasil diterjemahkan Ari lewat naskah Hereditary yang kompleks, tapi juga diinterpretasikan jadi pengalaman sinematik yang mencekam namun tetap estetis.
Debut itu amat spesial, sehingga film selanjutnya Ari Aster sangat amat layak ditunggu.
Midsommar—film keduanya—tanpa perlu menunggu lama-lama, keluar setahun kemudian. Dan ciri khas Ari sebagai sutradara makin terasa tebal setelah menyaksikan film ini.
Elemen-elemen kuat yang hadir dalam Hereditary, juga tampil tajam dalam Midsommar: isu kesehatan mental, scoring yang bikin penging, adegan yang tak bikin nyaman, kelompok kultus, dan karakter utama perempuan yang kuat. Semuanya diramu Ari Aster jadi kisah horor di Hälsingland, tepatnya di Hårga, sebuah desa terpencil di Swedia yang jadi tujuan bikin tesis mahasiswa antropologi.
Film dibuka dengan ketegangan hubungan Dani (Florence Pugh) dan Christian (Jack Reynor). Mereka sudah pacaran empat tahun, tapi Christian mulai bosan, sementara Dani takut jadi beban karena terlalu lengket. Di tengah kedinginan itu, Dani dapat kabar kalau adiknya yang bipolar membunuh orang tua mereka, lalu bunuh diri. Situasi itu membuat Christian tak bisa benar-benar meninggalkan Dani.
Keadaan makin tegang dan aneh, saat Christian merasa tak enak jika tak mengajak Dani ke Hälsingland. Ia dan tiga kawannya dari jurusan antopologi sudah lama berencana menghabiskan musim panas di sana.
Pelle (Vilhelm Blomgren), salah satu kawan Christian berasal dari sana. Ia mengajak mereka untuk melihat pesta panen komune-nya yang tinggal jauh dari teknologi dan peradaban masyarakat internet. Josh (William Jackson Harper), kawan Christian lainnya, tertarik ikut karena ingin menjadikan komune Hårga jadi topik tesis. Mark, kawan yang lain, cuma ingin menghabiskan musim panas dan berharap dapat kencan wanita Swedia, sementara Christian sendiri berharap bisa dapat inspirasi judul tesis.
Dani mengiyakan ajakan kekasihnya, sebab ia tak punya siapa-siapa lagi. Liburan ke tempat baru, bisa jadi distraksi paling asyik yang bikin dukanya hilang sebentar.
Perjalanan Menemukan Keluarga
Premis dasar Midsommar mungkin amat klasik: sekumpulan anak muda pergi ke tempat asing dan terpencil, lalu mati atau hilang satu per satu. Ide begini sudah banyak sekali difilmkan, bukan cuma diproduksi Hollywood, tapi juga diadaptasi oleh pembuat film horor di Indonesia.
Contoh paling anyar, sekaligus paling buruk, mungkin 13: The Haunted, yang dibintangi Atta Halilintar, Al Ghazali, dan sejumlah anak selebritas lainnya.
Pola yang dipakai biasanya akan sama: karakter paling lucu atau pendiam akan mati duluan, lalu misteri dikuak oleh karakter-karakter alfa, yang rupawan, pintar, populer, atau kharismatik. Tentu saja karakter alfa itu tidak akan mati, atau mungkin jadi korban terakhir. Elemen menakut-nakuti yang dipakai juga nyaris serupa belaka: jumpscare, adegan sadis, latar yang minim lampu, dan karakter-karakter antagonis yang bengis, sadis, dan dungu.
Maka, salah satu faktor yang bikin Ari Aster patut dijuluki sebagai pendongeng ulung adalah keberaniannya mengimprovisasi trik-trik lama itu.
Dari awal, kita tahu bahwa Dani bukan karakter yang kuat. Ia tengah lemah diserang nasib buruk: keluarga meninggal tragis, pacar yang kelihatan mulai tak sabar dengan hubungan mereka, dan lingkungan yang tak bisa menggenapi kebutuhan semangat mental yang ia perlukan.
Tampilannya juga amat biasa. Dani didandani seperti average women: rambut dicepol, pakai kaos polos berwarna lembut, dan celana kulot. Pacar dan kawan-kawan pacarnya juga berpenampilan sederhana. Menguatkan atmosfer bahwa yang mereka alami adalah hal biasa yang mungkin saja terjadi pada orang-orang-orang biasa.
Meski Midsommar terlihat fokus memakai plot lempang tentang sekumpulan anak muda yang pergi ke tempat asing dan terpencil, Ari Aster sebenarnya tengah menceritakan horor yang dialami Dani secara personal. Tentang seseorang yang tengah cengap digebuki perasaan depresi dan menemukan kembali jalan pulang.
Perjalanan itu dimulai ketika ia berbincang dengan Pelle, sebelum berangkat ke Hälsingland. Dalam sepenggal dialog mereka, Pelle mencoba berempati pada duka Dani. Dan kita akan melihat untuk pertama kalinya Dani kembali tersengut-sengut, setelah berbulan-bulan pasca-kematian keluarganya.
Kata “keluarga” dan “rumah” yang terselip di dialog Pelle jadi pemantiknya.
Setelah itu, kita akan selalu melihat tangis Dani tiba-tiba muncrat setelah kata-kata itu keluar dari mulut siapa pun di sekitarnya.
Dalam adegan yang sama, Dani juga mendengar istilah “Ratu Mei” dari Pelle untuk pertama kalinya. Perbincangan mereka mungkin cuma sekelabat, sehingga cuma terdengar seperti informasi tambahan tentang komune Hårga yang misterius. Padahal, ada akal bulus Pelle dari sejak awal yang makin lama, makin terkuak sepanjang film diputar: tentang nasib Dani, dan terpilihnya Ratu Mei yang baru.
Setelah itu, Ari Aster cuma akan menjelaskan perjalanan spiritual Dani yang semakin dekat dengan komune Hårga lewat tampilan-tampilan visual mistis—dan psikedelik—tanpa dialog-dialog penjelas. Misalnya, rumput yang tumbuh di punggung tangan Dani, kemampuan berbicara dalam bahasa Hårga secara tiba-tiba, hingga puncaknya, ia tak lagi menangis saat salah satu perempuan dari komune itu mengucapkan “kita keluarga, kita bersaudara” sambil menangis terharu, di jamuan makan puncak ritual itu.
Dani akhirnya menemukan keluarga, yang mencoba memahami dirinya, menangis dan berkabung bersama.
Di ujung ritual itu, kita juga bisa melihat senyum Dani kembali mekar.
Horor di Tempat Terang
Kelebihan paling menonjol dari cara Ari Aster bercerita di Midsommar adalah latar Hälsingland yang amat terang.
Tempat gelap biasanya jadi senjata andalan film-film horor lain, sebab manusia cuma takut pada apa yang tidak diketahuinya, sesuatu yang muncul dari tempat yang tidak bisa mereka lihat, sesuatu yang muncul dari kegelapan.
Dalam semesta Midsommar, Ari Aster membuktikan hal lain, bahwa tempat yang terang juga bisa menakut-nakutimu. Kuncinya adalah menciptakan situasi yang tak nyaman. Misalnya, ketika tangis Dani terpantik setelah Mark menyebut kawan-kawannya sudah seperti keluarga di lereng bukit. Disorientasi waktu membuat Dani berhalusinasi: merasa ditertawakan kerumunan lain, melihat bayangan adiknya di cermin di toilet, dan mengeluarkan asap hitam pekat dari mulutnya sendiri.
Disokong scoring yang menyayat dan bikin degup jantung naik, horor yang dirasakan Dani secara internal menjalar keluar layar. Kita juga akan merasakan betapa tidak nyamannya pergolakan batin yang dirasakan karakter utama.
Hebatnya, Ari Aster menjejalkan semua informasi yang kita butuhkan dengan sangat detail dan dingin. Sejumlah dialog memang membantu kita memahami apa yang dihadapi Dani dan para mahasiswa antropologi itu, siapa komune Hårga, dan mengapa ritual-ritual menyeramkan itu tetap terpelihara. Tapi, secara visual, informasi-informasi itu jauh lebih tajam jika kita membiarkan diri lebih jeli.
Misalnya, lukisan Stackars lilla basse! karya John Bauer, pelukis Swedia. Gambar seorang gadis pirang berpakaian putih dengan mahkota di kepalanya, mencium seekor beruang raksasa tergantung di kamar Dani, dan terlihat tepat sebelum ia mendengar rencana pergi ke Hälsingland di adegan berikutnya. Siapa sangka, kalau detail kecil itu adalah petunjuk besar tentang ujung hubungan Dani dan Christian, yang juga ujung kisah horor Midsommar.
Ada tumpukan buku tentang huruf Uthark, sebelum ada adegan yang bicara tentang huruf Futhark. Ada mural beruang yang terbakar di dinding rumah petinggi Hårga, sebelum beruang itu benar-benar hadir dan dibakar. Detail-detail itu berhasil membangun suasana horor yang diperlukan, dan tentu saja muncul bukan karena tak sengaja.
Sebagaimana para pendongeng ulung, Ari Aster tak cuma memperkaya detail dalam naskahnya. Ia juga melakukan riset untuk membuat cerita yang ia sampaikan tidak dangkal. Dan lagi-lagi menyelipkannya dengan cermat. Misalnya, nama Dani Ardor—nama lengkap Dani—yang berarti wanita yang ditolak cintanya. Atau nama Christian, yang jadi simbolik bagaimana paganism komune Hårga mengolok-olok agama abrahamik, seperti Christianity, alias Kristen—agama dengan jumlah pengikut terbanyak di dunia.
Bahkan, jika ditonton dengan amat lekat, Ari Aster sebenarnya telah menyuguhkan proses persiapan ritual puncak di ujung film dengan amat terang. Mulai dari proses pengumpulan jerami, pembuatan tiang berlambang timbangan yang dipelintiri bunga-bunga, hingga bagaimana orang-orang di komune itu mempersiapkan tempat Christian memadu kasih dengan kembang desa setempat.
Caranya, dengan menyelipkan adegan-adegan tersebut di belakang adegan lain. Ari Aster membuat kita fokus pada ekspresi salah satu aktor, atau pada sebuah dialog, padahal di saat bersamaan ia menjejalkan informasi lain sebagai latar adegan utama.
Seolah-olah ia tidak menutupi apa pun. Seolah-olah, orang-orang Hårga sama sekali tak takut ritual sadis dan anti-humanis mereka diketahui Dani dan tamu lainnya. Apa yang lebih mencekam, ketimbang sekumpulan orang-orang yang tak takut menjadi penjahat dan pembunuh berdarah dingin, bahkan di tempat yang terang benderang—tempat semua orang bisa melihat kejahatan mereka?
Editor: Windu Jusuf