tirto.id - Dari semua realisasi program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), satu dari sekian kegiatan pemerintah yang dibuat untuk mengurangi dampak Corona di bidang perekonomian, hanya insentif untuk korporasi yang belum ada perkembangan. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut progres realisasinya hingga Senin 24 Agustus “masih dianggap 0.”
Dalam rapat kerja di DPR itu ia bilang “pembiayaan korporasi belum dilakukan realisasi” karena “untuk beberapa PMN BUMN (Penyertaan Modal Negara Badan Usaha Milik Negara) sudah terbit dan sekarang sedang dalam proses final, dan ini kemudian akan diikuti pencairan.”
Sementara Direktur Jenderal Anggaran Kemenkeu menjelaskan kepada reporter Tirto, Selasa (25/8/2020), belum adanya kemajuan dari program ini adalah karena “masih menunggu regulasinya.” Askolani menjelaskan, jika aturan sudah selesai dibuat, “realisasi PEN korporasi akan segera dilaksanakan.”
Anggaran yang disiapkan pemerintah untuk program ini relatif besar, yaitu senilai Rp 53,57 triliun. Sebagai pembanding, biaya riset terkait COVID-19--termasuk vaksin dan perangkat tesnya--yang dihimpun Kementerian Riset dan Teknologi (Kemristek) 'hanya' Rp200 miliar.
Berdasarkan data Kemenkeu, PEN korporasi akan dipakai untuk Talangan Modal Kerja sebesar Rp29,65 triliun, PMN sebesar Rp20,5 triliun, dan Penempatan Dana Padat Karya Rp3,42 triliun. Rinciannya, bakal diberikan kepada PT Garuda Indonesia Rp8,5 triliun, PT Kereta Api Indonesia (KAI) Rp3,5 triliun, PT PTPN Rp4 triliun, Krakatau Steel Rp3 triliun, dan Perumnas Rp0,65 triliun.
BUMN yang mendapatkan PMN adalah Hutama Karya sebesar Rp7,5 triliun, PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI) Rp6 triliun, PT Permodalan Nasional Madani (Persero) Rp1,5 triliun, dan Indonesia Tourism Development Corporation Rp0,5 triliun. Sekitar Rp19,65 triliun adalah dana talangan menggunakan skema pinjaman dan harus dikembalikan pada waktu tertentu.
Dana segar PEN yang sudah dianggarkan pemerintah sejak awal 2020 bak bahan bakar tambahan agar korporasi tetap bisa bertahan di tengah pandemi.
Direktur Utama PT KAI Didiek Hartantyo mengatakan saat ini perusahaan mengalami defisit operasional cash flow yang semakin besar. Di tengah situasi ini, menurutnya, satu-satunya harapan terdekat adalah bantuan pemerintah. “Harapan KAI ya dana talangan, pinjaman, atau apa pun namanya bisa segera cair,” kata dia kepada reporter Tirto, Selasa (25/8/2020).
Beratnya kondisi KAI tergambar dalam laporan keuangan semester I, usai sektor transportasi terdampak Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Kerugian tersebut mencapai Rp1,35 triliun.
Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra juga menunggu bantuan cair dengan alasan serupa. Mereka mencatatkan rugi 712 juta dolar AS atau setara Rp10,34 triliun (asumsi kurs Rp14.500 per dolar AS) pada laporan keuangan semester I 2020. Kinerja ini memburuk dari kuartal I 2020 yang mencapai kerugian 120,1 juta dolar AS. “Dana talangan untuk Garuda rencananya Rp8,5 triliun belum cair,” kata dia kepada reporter Tirto.
Selain dua BUMN transportasi, PT Permodalan Nasional Madani (Persero) juga berharap uang cepat cair. “Kayaknya dalam waktu dekat, masih di Q3-lah. Ibu Menkeu kan bilang Agustus diupayakan. Ini Agustus tinggal 5 hari, ya paling di minggu 1 atau 2 September,” kata Direktur Utama PNM Arief Mulyadi kepada reporter Tirto. Rencananya uang yang dialokasikan mencapai Rp1,5 triliun.
Selama menunggu bantuan, perusahaan pelat merah berupaya tetap selamat dengan berbagai cara. KAI dan PMN, misalnya, meminjam ke perbankan. Sementara Garuda melakukan efisiensi dengan mengurangi ratusan pekerja.
Kenapa Lamban?
Dibanding program jaring pengaman sosial lain, program yang satu ini memang terbilang lamban sekali.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Piter Abdullah mengatakan di negara lain, penyelamatan korporasi itu yang pertama--telah dilakukan sejak jauh hari. “Dalam rangka meningkatkan daya tahan dunia usaha,” katanya kepada reporter Tirto.
Menyelamatkan korporasi, katanya, dapat menghindari pemutusan hubungan kerja (PHK), fenomena yang kini sudah terjadi di mana-mana. Ini belum termasuk para buruh yang dirumahkan--tak di-PHK, tapi diminta di rumah saja dan kadang tak mendapat upah penuh atau malah tidak dibayar sama sekali. Oleh karena itu menurutnya rencana ini bisa dibilang terlambat.
“Kalau di Indonesia ini konsepnya beda,” katanya. Jika di negara lain bantuan untuk menyelamatkan korporasi, di sini tampak lebih ke “memacu pertumbuhan ekonomi.” Ini dua hal yang berbeda sebab memacu pertumbuhan dalam konteks ini hanya punya satu tujuan: menghindari resesi di kuartal tiga.
Ekonom dari Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal Hastiadi mengatakan sedari awal “sepertinya pemerintah lebih memprioritaskan UMKM dan jaring pengaman sosial.”
Prioritas itu semata bukan karena hitung-hitungan ekonomi, tapi ada maksud politik di baliknya. “Gimik politik,” katanya kepada reporter Tirto, menjelaskan bahwa pemilihan bansos sebagai program pertama dapat dibaca sebagai kebijakan populis. “Seharusnya pemerintah sedari awal fokus pada penyelamatan BUMN.”
Keterlambatan ini dapat membuat pemerintah kehilangan momen untuk menyelamatkan korporasi, yang dapat berperan sebagai agen-agen pendorong ekonomi. “Mereka ini kehilangan daya ungkitnya.”
Meski demikian, lebih baik terlambat ketimbang tidak sama sekali. “Korporasi dan BUMN di saat ini perannya juga sangat krusial, maka dari itu regulasinya harus segera diselesaikan,” tandas dia.
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Rio Apinino