tirto.id - Sejumlah calon kepala daerah berlatar belakang purnawirawan TNI dan Polri di pilkada serentak 2018 banyak yang tumbang. Hal ini berdasarkan hasil hitung cepat yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) melalui pemindaian formulir C1 di laman infopemilu.kpu.go.id (saat ini tidak dapat diakses) serta quick count beberapa lembaga survei.
Mantan Kapolda Kalimantan Timur (Kaltim) Irjen (Purn) Pol Safaruddin misalnya, berdasarkan hasil pindai C1 KPU harus rela menelan kekalahan di Pilgub Kaltim 2018. Ia yang menjadi calon wakil gubernur berpasangan dengan Rusmadi tercatat mendapat suara sekitar 24 persen, di bawah raihan pasangan Isran-Hadi yang meraih 31 persen suara hingga Jumat siang (29/6/2018).
Nasib Safaruddin sama dengan Marselis Sarimin, eks Kapolres Manggarai, Nusa Tenggara Timur (NTT) yang menjadi calon bupati di Pilkada Manggarai Timur. Hingga Kamis (28/6/2018) malam, Marselis yang berpasangan dengan Sirajudin Paskalis tercatat mendapat dukungan sekitar 17 persen berdasarkan hasil pindai dokumen C1 KPU.
Raihan Marselis-Sirajudin kalah dari pasangan Agas Andreas-Jaghur Stefanus dan Tarsisius Sjukur dan Yoseph Byron Aur. Kedua kandidat itu sementara menjadi calon terkuat di Pilkada Manggarai Timur.
Kemudian, eks perwira tinggi Polri lain yang meraih hasil negatif di Pilkada 2018 adalah Irjen (Purn) Pol Anton Charliyan. Mantan Kapolda Jawa Barat ini sementara menempati urutan buncit hasil penghitungan suara berdasarkan pindaian C1 KPU di Pilkada Jawa Barat. Pada Pilgub Jabar 2018 ini, Anton menjadi cawagub mendampingi politikus PDIP Tubagus Hasanuddin yang merupakan pensiunan TNI.
Sementara itu, hasil positif hanya diraih Irjen (Purn) Pol Murad Ismail selaku calon kepala daerah di Pilkada Maluku 2018. Eks Komandan Korps Brimob Mabes Polri itu memimpin perhitungan suara berdasarkan pindai C1 oleh KPU bersama pasangannya, Barnabas Orno.
Rasionalitas Pemilih Meningkat
Direktur Pusat Studi Sosial Politik Indonesia dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ubedilah Badrun mengatakan, buruknya raihan para kandidat kepala daerah berlatar belakang anggota TNI dan Polri terjadi karena masyarakat semakin rasional dalam menghadapi ajang pemilihan umum seperti pilkada.
Ubedilah berkata, masyarakat saat ini tidak lagi menganggap pemimpin berwibawa hanya berasal dari kandidat berlatar belakang TNI dan Polri. Hal itu membuat popularitas kandidat dari TNI dan Polri berkurang.
“Sekarang kewibawaannya [kandidat dari polisi] menurun sehingga tak memberi efek psikologis kepada publik. Kedua, polisi dan tentara ini mencalonkan diri justru di injury time, dan tidak cukup waktu untuk sosialisasi serta melakukan kampanye dibanding calon sipil,” kata Ubedilah di kawasan Menteng, Jakarta, Sabtu (30/6/2018).
Pengajar di UNJ itu menyebut popularitas calon kepala daerah dari TNI dan Polri tidak sebesar kandidat sipil. Sehingga sulit bagi para kandidat berlatar belakang anggota TNI dan Polri meraih dukungan banyak di Pilkada Serentak 2018.
Kesulitan kandidat dari TNI dan Polri meraih dukungan tinggi semakin menjadi jika mereka menghadapi pesaing berlatar belakang sipil dan menduduki jabatan publik sebelumnya.
Ubedilah mencontohkan, dalam konteks Pilgub Jawa Barat akan sulit bagi TB Hasanuddin dan Anton Charliyan meraih dukungan tinggi karena pesaingnya berlatar belakang kepala daerah dan dikenal luas publik.
"[Kandidat] yang sipil sudah berkampanye gratis karena incumbent, atau berkuasa jadi wali kota atau bupati, seperti yang dilakukan Ridwan Kamil [cagub di Jawa Barat]," kata Ubedilah.
Hal senada juga diungkapkan Direktur Riset Populi Centre, Usep S Achyar. Menurut Usep, rendahnya elektabilitas kandidat dari purnawirawan TNI dan Polri terjadi karena paradigma masyarakat tentang pemimpin sudah berubah.
Ia mengatakan pada era orde baru masyarakat kerap mengasosiasikan pemimpin yang tegas berasal dari TNI atau Polri, yang saat itu masih berada di bawah satu payung: ABRI. Sekarang, kata dia, bayangan tentang pemimpin tegas tak serta-merta menjadi milik figur dari kedua institusi itu.
“Sekarang pemimpin yang tegas tidak hanya tentara, tetapi juga sipil bisa bersikap tegas. Terakhir, kalau saya lihat asosiasi pemimpin harus dari kalangan militer, kan, di era Pak SBY [Susilo Bambang Yudhoyono] dan Prabowo. Paradigma masyarakat berubah, itu juga menyebabkan kesempatan militer menonjol di konteks kepemimpinan menjadi sedikit," kata Usep.
Ia menganggap perubahan paradigma masyarakat terjadi karena adanya pergeseran sistem politik di Indonesia. Sistem yang demokratis membuat figur dari kalangan sipil dapat membuktikan diri menjadi pemimpin yang tegas.
Pandangan berbeda disampaikan Direktur Eksekutif Center for Strategic and International Studies (CSIS) Philips Jusario Vermonte. Menurut dia, elektabilitas kandidat berlatar belakang TNI dan Polri kecil karena adanya perubahan tren masyarakat dalam memilih pemimpin.
Menurut Philips, pada Pilkada 2018 ada tren masyarakat cenderung memilih kandidat yang dianggap memiliki kemampuan melakukan pelayanan sosial, mendorong transparansi, dan keterbukaan. Pemilih, kata Philip, tak lagi terpaku pada latar belakang kandidat atau ada tidaknya kedekatan emosional kandidat dengan mereka.
"Kalau lihat fenomena beberapa daerah, calon yang menang ini mereka bukan datang dari keluarga darah biru politik [...] Sepertinya ada era baru dimana masyarakat mulai ingin [pemimpin] yang dilihat adalah tidak lagi berbasis kekerabatan, tapi mereka punya harapan baru terhadap orang-orang yang bisa melakukan servis pelayanan sosial," kata Philips.
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Abdul Aziz