Menuju konten utama
Dampak Pandemi Corona

Di Balik Kecilnya Stimulus COVID-19 Indonesia Dibanding Negara Lain

Menteri Keuangan Sri Mulyani menilai kecilnya stimulus Indonesia dibanding negara lain bukan masalah.

Di Balik Kecilnya Stimulus COVID-19 Indonesia Dibanding Negara Lain
Presiden Joko Widodo (kelima kanan) memimpin rapat kabinet terbatas mengenai percepatan penanganan dampak pandemi COVID-19 di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (29/6/2020). ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/Pool/wsj.

tirto.id - Indonesia menempati deretan negara terbawah dalam perkara jor-joran menggelontorkan stimulus demi melindungi ekonomi dari COVID-19. Situs Statista mencatat nilai stimulus Indonesia hanya mencapai 4,4% PDB. Dibanding seantero G20 lainnya, angka itu kalah jauh dibanding Jepang 21,1% PDB, Amerika Serikat 13,2% PDB, Cina 7% PDB, dan India 6,9% PDB.

Indonesia hanya mengungguli tipis Uni Eropa yang hanya 4,3% PDB, Rusia 3,4% PDB, Saudi Arabia 3,4% PDB. Data Kemenkeu per 17 Juni 2020 mencatat stimulus Indonesia bahkan kalah dibanding Malaysia 10% PDB dan Singapura 10,9% PDB.

Menteri Keuangan Sri Mulyani menilai kecilnya stimulus Indonesia dibanding negara lain bukan masalah. Ia beralasan pemberian stimulus tidak bisa sembarangan, tetapi harus memperhatikan kebijakan apa yang ingin dikeluarkan berikut kemampuan negara bersangkutan.

“Stimulus masalah desain kebijakan, apa yang dibutuhkan untuk tangani COVID-19 dan memulihkan ekonomi, setiap negara punya kapasitas fiskal beda-beda dan kendala pembiayaan yang beda-beda,” ucap Sri Mulyani dalam konferensi pers virtual APBN KITA, Senin (20/7/2020).

Sri Mulyani tak keliru, sebab penambahan stimulus memang harus disikapi hati-hati. Setiap rupiah tambahan stimulus, maka harus dipikirkan pendanaannya. Persoalannya, saat pandemi COVID-19 penerimaan negara turun dan sumber pembiayaan mau tak mau harus menggunakan utang.

Kemenkeu, Senin (6/7/2020), mencatat untuk mencapai defisit 6,34% PDB sehingga bisa mengakomodasi stimulus Rp695,2 triliun, perlu tambahan pembiayaan utang Rp903,46 triliun. Pembiayaan utang pun meningkat dari Rp741,84 triliun saat defisit 1,76% PDB sesuai APBN awal menjadi Rp1.645 triliun.

Bank Dunia pada Selasa (2/6/2020) pernah memperkirakan rasio utang terhadap PDB Indonesia akan terus membengkak sehingga menciptakan fiskal yang kurang sehat. Sebelum COVID-19, rasio utang RI berada di kisaran 30% PDB, lalu diperkirakan meningkat menjadi 37% saat defisit menjadi 5,1% (Perpres 54/2020) dan menjadi 40% PDB jika defisit menyentuh 6,27%.

Pembengkakan rasio utang juga harus dipikirkan lantaran pelebaran defisit di atas 3% masih diperlukan sebelum harus diturunkan lagi per 2023. Kemenkeu per Rabu (17/6/2020) memperkirakan rasio utang terhadap PDB 2021 mencapai 37,64-38,50% PDB jika defisit bisa dijaga 3,21-4,17% demi melanjutkan stimulus pemulihan ekonomi di 2021.

Kenyataannya, per Selasa (28/7/2020), defisit 2021 yang disepakati pemerintah adalah 5,2%. Artinya rasio utang terhadap PDB akan membengkak lagi mendekati batas yang dibolehkan UU yaitu 60% PDB.

Jika masih ada ruang, maka mengapa tak memakai sisanya atau mengubah batas rasio utang? Permasalahannya, posisi utang Indonesia sangat rentan.

Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) mencatat rasio kepemilikan asing di utang Indonesia per Desember 2019 mencapai 38,57%.

Ekonom Senior dari Universitas Indonesia Faisal Basri dalam diskusi Rabu (10/7/2020) mengatakan angka itu kelewat parah dibanding Jepang yang sebagian besar utangnya dimiliki warganya sendiri. Per 2018 kepemilikan asing dari utang Jepang hanya di kisaran 11%.

Gara-gara besarnya kepemilikan ini, selama Januari-April 2020, pasar keuangan Indonesia sempat bergejolak karena banyaknya arus modal asing keluar. Para investor beramai-ramai menjual SBN-nya.

Persoalan kedua, imbal hasil utang Indonesia tergolong mahal sehingga menambah utang sama akan membebani APBN di masa mendatang. Menurut Asian Development Bank (ADB) per Jumat (7/8/2020) nilainya mencapai 6,8% paling mahal dari negara ASEAN dan Cina-Jepang sekaligus untuk kategori 10 tahun.

Sebagai perbandingan, imbal hasil utang Jepang hanya 0,01% di samping besarnya kepemilikan dalam negeri. Tak heran Jepang sanggup menggelontorkan stimulus 21% PDB. Malaysia dan Singapura yang stimulusnya 10% PDB, imbal hasil utangnya 2,45% dan 0,82%.

Kritik Faisal tak hanya itu. Dalam diskusi virtual, Jumat (24/4/2020), Faisal menilai pemerintah Indonesia punya jejak kebiasaan buruk dalam mengelola keuangan. Ia mencontohkan saat terjadi kenaikan harga komoditas, pemerintah kerap menghabiskannya ketimbang melakukan konsolidasi fiskal.

“Kalau kita booming, semua uang negara kita habiskan, kalau kita krisis, kita ngutang," kata Faisal.

Riset Oxford Policy Management Edisi Maret 2013 mengonfirmasi hal ini. Selama lonjakan harga komoditas 2002 hingga 2011, pengeluaran pemerintah dinilai terlalu banyak dihabiskan untuk subsidi sehingga melimitasi ruang fiskal yang saat itu tengah dikonsolidasikan.

Jor-joran Utang, Belanja Lamban

Menteri Keuangan Sri Mulyani baru-baru ini juga punya alasan tambahan mengapa Indonesia tak harus menggelontorkan stimulus sebesar Jepang dan lainnya.

Hingga Jumat (7/8/2020), ia mencatat realisasi stimulus Rp695 triliun baru Rp151,25 triliun atau 21,8 persen dari pagu. Sekitar Rp226,1 triliunnya bahkan tak memiliki kejelasan akan digunakan untuk apa dalam bentuk DIPA.

Ia bilang tanpa harus dibandingkan dengan negara lain, pemerintah tak segan menambah stimulus. Namun, harus sesuai kenyataan lapangan.

“Kami sering sampaikan kalau ditambah anggaran lebih banyak tapi eksekusi kesulitan maka tidak perlu menambah defisit,” ucap Sri Mulyani.

Baca juga artikel terkait STIMULUS EKONOMI atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Abdul Aziz