tirto.id - Presiden Joko Widodo kembali geram kepada para pembantunya di kabinet lantaran realisasi anggaran penanganan COVID-19 belum sesuai yang diharapkan. Minimnya realisasi anggaran itu terlihat dari posisi serapan yang baru mencapai Rp141 triliun atau setara 20% dari total anggaran Rp695 triliun.
“Berkaitan dengan menyeimbangkan gas dan rem di kuartal ketiga, urusan ekonomi, saya melihat memang urusan realisasi anggaran, memang masih sangat minim sekali,” ucap Jokowi saat memberikan pengantar rapat terbatas secara tatap muka di Istana Negara, Jakarta Pusat, Senin (3/8/2020).
Jokowi juga mempermasalahkan banyak pos anggaran penanganan COVID-19 bahkan belum memiliki daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA) yang menjadi dasar pelaksanaan dan realisasi dana yang sudah dialokasikan.
Mantan gubernur DKI itu memperkirakan pos yang sudah memiliki DIPA berkisar, bahkan kurang dari separuh alias 40% dari total anggaran. Menurut dia, jika DIPA saja belum ada, apalagi realisasinya.
Data Kemenkeu per 22 Juli 2020, realisasi anggaran tertinggi dicapai oleh perlindungan sosial mencapai Rp78,12 triliun setara 38,13% dari pagu Rp203,91 triliun. Sekitar 80,56% pos ini sudah memiliki DIPA dan realisasi terhadap DIPA sudah 47,56%.
Realisasi tertinggi kedua adalah anggaran untuk UMKM 24,47% dari pagu Rp123,47 triliun. Sekitar 32,64% nya sudah memiliki DIPA dan realisasi terhadap DIPA-nya juga tinggi 74,96%.
Ketiga terbaik adalah insentif usaha 13,43% dari pagu Rp120,61 triliun. Sekitar 48,58% sudah memiliki DIPA dan realisasinya sudah mencapai 40,95% dari DIPA.
Dari pos-pos itu, capaian terburuk adalah anggaran kesehatan. Selain realisasinya hanya 7,74% dari pagu Rp87,55 triliun, realisasi terhadap DIPA-nya hanya 15,13% padahal sekitar 51,17% sudah memiliki DIPA.
Sementara itu, pos anggaran lain seperti sektoral baru terealisasi 6,57% dari pagu Rp106,05 triliun. Meski demikian pos ini sudah memiliki DIPA 31,48% dan terealisasi 20,88% dari DIPA.
Peneliti dari Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet mengatakan idealnya setiap bulan ada tambahan realisasi 15%. Jika program pemulihan ekonomi baru dimulai Juni lalu, maka per Agustus ini realisasi anggarannya minimal sudah harus menyentuh 30% secara agregat, sedangkan saat ini masih di kisaran 20%.
Namun ia menyoroti realisasi pos kesehatan yang dinilai berpengaruh pada pos lainnya. Menurut dia, realisasi pos ini perlu digenjot untuk mempercepat penanganan dan penyelesaian pandemi COVID-19, alih-alih terbatas pada anggapan Menkes Terawan kalau realisasinya bergantung pada jumlah pasien dan kematian tenaga kesehatan.
Yusuf bilang tanpa ada jaminan COVID-19 berakhir, maka realisasi anggaran lainnya tak akan memiliki dampak, baik realisasinya cepat maupun tidak.
Ia mencontohkan pos anggaran kredit UMKM, kredit modal kerja, pembiayaan korporasi yang tak akan segera dimanfaatkan pelaku usaha untuk memulihkan bisnisnya lantaran ketidakpastian akibat pandemi masih tinggi. Hal ini juga akan menghambat realisasinya.
Sebab tanpa jaminan COVID-19 pulih, masyarakat juga akan cenderung menahan belanjanya sehingga semakin mengunci perputaran uang yang diinginkan pemerintah. Ia bilang sekitar 45% pengeluaran disumbang oleh 20% kelompok menengah atas yang saat ini cenderung wait and see.
Kalaupun pemerintah berkilah telah menggenjot perlindungan sosial dampaknya tak seberapa, kata Yusuf. Sebab 40% masyarakat terbawah hanya menyumbang 17% dari total pengeluaran.
Jika pemerintah gagal meyakinkan masyarakat, maka praktis pemulihan ekonomi tak terjadi. Pertumbuhan ekonomi akan semakin terbebani apalagi untuk menjaga agar konsumsi yang menyumbang 58% PDB tetap bisa tumbuh positif di Q3 2020.
“Jika kasus COVID-19 masih meningkat, sampai dengan akhir Agustus saja, maka akan sulit berharap pertumbuhan ekonomi di kuartal III untuk tidak terkontraksi,” ucap Yusuf saat dihubungi reporter Tirto, Selasa (4/8/2020).
Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abdul Manap menilai realisasi anggaran ini perlu diperbaiki, terutama mempercepat realisasi anggaran kesehatan dan penanganan COVID-19. Jika tak segera dibenahi lewat pertengahan tahun, maka ia khawatir Indonesia akan kesulitan mencari sumber pertumbuhan di 2020 apalagi tahun depan.
“Kalau COVID-19 belum kelar, urusannya gimana dorong produksi-konsumsi? Sementara orang masih takut,” ucap Manap saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (29/7/2020).
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu Febrio Kacaribu mengakui kalau sejumlah pos masih kurang maksimal. Anggaran kesehatan misalnya sempat terkendala mekanisme dan perencanaan memang ditujukan sesuai fungsi pasien terdampak. Sebagai gantinya, pemerintah akan menggenjotnya sebagai insentif bagi tenaga kesehatan.
Insentif usaha untuk kelas menengah dan dunia usaha juga tak banyak yang memanfaatkan. Sebab bahasanya sulit dimengerti masyarakat. Ia bilang hal ini akan segera dibenahi agar uang dapat segera sampai ke masyarakat.
Sementara itu, realisasi pembiayaan korporasi yang masih nol% juga akan segera dibenahi. Sebab selama ini realisasinya menunggu beleid rampung untuk segera disalurkan dalam bentuk PMN.
Pemerintah, kata dia, juga akan menggenjot realisasi perlindungan sosial dengan menambah program bansos baru. Program bansos yang dinilai kurang berjalan juga akan dirombak untuk memaksimalkan penyerapannya.
“Ini tantangan bagaimana membelanjakan ini dengan cepat,” ucap Febrio dalam diskusi virtual, Selasa (28/7/2020).
Ekonomi Indonesia di Q2 Kembali Minus
BPS mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal II (Q2) 2020 mengalami kontraksi sebesar 5,32 persen year on year (yoy). Angka ini memburuk dari Q1 2020 yang mencapai 2,97 persen dan Q2 2019 yang mencapai 5,05 persen.
“Perekonomian Indonesia Q2 2020 yoy dibandingkan Q2 2019 kontraksi 5,32 persen,” ucap Kepala BPS Suhariyanto dalam konferensi pers virtual, Rabu (5/8/2020).
Suhariyanto menjelaskan, kontraksi sebesar 5,32% itu merupakan yang terendah sejak triwulan I tahun 1999. Ketika itu, ekonomi Indonesia mengalami kontraksi sebesar 6,13%. Pertumbuhan ekonomi Q2 2020 ini juga yang terburuk sejak krisis 1998. Waktu itu pertumbuhan Indonesia minus 16,5 persen [sepanjang 1998].
Sementara itu pada Q2 2008 lalu, saat krisis finansial global melanda, Indonesia masih sanggup tumbuh 2,4 persen. Lalu secara keseluruhan sepanjang tahun pada krisis 2008, ekonomi Indonesia masih bisa tumbuh 6,1 persen.
Pengumuman BPS ini juga mengonfirmasi kontraksi Q2 2020 lebih dalam dari prediksi Kemenkeu di kisaran minus 3,8 persen. Realisasi ini juga lebih buruk dari batas bawah prediksi Kemenkeu di angka minus 5,1 persen. Secara quarter to quarter (qtoq) pertumbuhan ekonomi Indonesia Q2 2020 terkontraksi atau minus 4,19 persen.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Abdul Aziz