Menuju konten utama

Dana Jumbo Pilkada Bisa Kerek Ekonomi, tapi Bikin Demokrasi Buruk

Pilkada dapat menggerakkan ekonomi karena perputaran duitnya besar. Tapi dampak negatifnya, akan ada calon kompeten yang tak sanggup bertarung.

Dana Jumbo Pilkada Bisa Kerek Ekonomi, tapi Bikin Demokrasi Buruk
Warga yang tergabung dalam Masyarakat Pendukung Demokrasi melakukan aksi unjuk rasa Mendukung Pilkada Damai di Gladak, Solo, Jawa Tengah, Rabu (5/8/2020). ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha/foc.

tirto.id - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan Pilkada 2020 bisa menggenjot pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pada masa itu akan banyak calon kepala daerah yang akan membagikan bahan kebutuhan pokok, sebagai bagian dari kampanye, kepada masyarakat.

"Dana beredar tentu akan meningkatkan konsumsi, terutama untuk alat-alat atau alat peraga bagi calon, termasuk di antaranya masker, hand sanitizer, dan alat kesehatan lain," kata Airlangga dalam konferensi pers virtual Pemulihan Ekonomi Nasional dan Peningkatan Pertumbuhan Ekonomi, Rabu (5/8/2020).

Menurut Airlangga akan ada Rp24 triliun dana yang beredar. Itu hanya biaya penyelenggaraan, belum termasuk uang dari para kandidat. "Mungkin dana dikeluarkan para calon bupati, wali kota, gubernur bisa minimal Rp10 triliun sendiri. Sehingga saat pilkada kemungkinan Rp 34-35 triliun," katanya.

Pernyataan Airlangga yang tampak seperti menggantungkan nasib ekonomi di pilkada sejalan dengan kebijakan pemerintah secara umum. Fokus utama mereka memang meningkatkan konsumsi di kuartal 3 (Q3) dan Q4 untuk menghindari resesi.

Pada Q2 lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut pertumbuhan ekonomi Indonesia tumbuh negatif, -5,32 persen year on year (yoy).

Benarkah Pilkada Positif bagi Ekonomi?

Pada 21 Juli lalu, Indikator Politik Indonesia merilis hasil survei terbaru mengenai persepsi publik terhadap Pilkada 2020. Salah satu temuannya adalah, 63 persen publik menginginkan pilkada ditunda karena pandemi COVID-19.

Tapi toh pemerintah dan DPR RI tetap memutuskan untuk menjalankan pilkada tahun ini, di tengah kasus Corona yang tak menunjukkan tanda-tanda penurunan. Keputusan mereka bulat: hari pencoblosan akan dilaksanakan pada 9 Desember.

Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanudin Muhtadi mengatakan pernyataan Airlangga, politikus dari Golkar, menjawab apa yang sebelumnya hanya dugaan: Pilkada 2020 tetap digelar karena memang ada aspek lain di luar urusan elektoral, yaitu perkara ekonomi.

"Saya lihat memang ada aspek perputaran ekonomi yang selama ini mengikuti hajatan elektoral, saya sebut sebagai 'politik ekonomi elektoral'," kata Burhan saat dihubungi wartawan Tirto, Kamis (6/8/2020) siang.

Fokus penelitian Burhan adalah tentang politik uang di Indonesia. Buku terbarunya berjudul Kuasa Uang: Politik Uang Dalam Pemilu Pasca Orde-Baru (2020).

Burhan mengatakan memang akan ada perputaran ekonomi yang terjadi dalam Pilkada 2020. Perputaran ini bahkan sudah terjadi sejak tahun lalu: para bakal calon memasang spanduk, baliho, beriklan di media, sosialisasi, koneksi ke lembaga survei, hingga menyewa buzzer. Mereka melakukan semua itu untuk memastikan mendapat tiket resmi pencalonan dari partai masing-masing.

Ia mengatakan demikian setelah beberapa studi menyimpulkan Pemilu 2009 berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi, yang setahun sebelumnya porak-poranda karena krisis ekonomi global.

"Bayangkan dari 270 daerah, katakanlah ada 20 bakal calon saling berebut tiket di tiap daerah. Itu padahal belum resmi dicalonkan oleh parpol," kata Burhan.

Setelah para bakal calon kepala daerah mendapat izin resmi dari partai, status mereka berubah jadi calon kepala daerah dan tentu akan banyak uang yang harus dikeluarkan: dari mulai untuk sosialisasi atau kampanye hingga hal lain.

Contoh di atas belum termasuk perputaran ekonomi di ranah penyelenggara pemilu: TPS yang harus disiapkan, honor untuk Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), hingga dana KPUD menyiapkan penyelenggaraan pemilihan.

"Dari situ sudah kelihatan berapa besar dana yang beredar karena pilkada. Memang make sense kalau pilkada ada aspek ekonomi," katanya.

Calon Kompeten Langka

Jika ucapan Airlangga mengenai total biaya yang kudu dikeluarkan seluruh bakal calon/calon kepala daerah menyentuh Rp10 triliun benar, Burhan menilai Pilkada 2020 akan menjadi politik elektoral yang sangat mahal dan sulit memberi kesempatan ke calon yang berkompeten namun minim sumber daya.

"Pernyataan Airlangga menciptakan situasi yang di mana pertarungan elektoral itu menjadi mahal dan karenanya calon yang kompeten belum tentu bisa bersaing dalam pertarungan elektoral yang mahal tadi," kata Burhan.

Hal tersebut dibenarkan oleh anggota Komisi II DPR RI Fraksi PAN, Guspardi Gaus. Ia menilai pernyataan Menko Airlangga kurang tepat dalam rangka pendidikan politik. Kata Guspardi, pernyataan Airlangga terkesan harus mengeluarkan dana jumbo untuk menjadi calon kepala daerah.

"Ucapan Airlangga menanda bahwa uang yang dikedepankan. Walaupun tidak bisa menafikan akan ada pergerakan ekonomi, itu betul, tapi ketika sudah dipatok uang Rp10 triliun, dari mana dana 10 triliun itu? Kalkulasinya apa saja? Jika tidak dijelaskan, ini mengesankan politik butuh uang besar," katanya saat dihubungi wartawan Tirto, Kamis sore.

Kata Guspardi, jika dana mengenai Pilkada 2020 sudah dipatok seperti itu, orang-orang yang memiliki kapasitas dan kompetensi untuk membangun daerahnya namun minim sumber daya akan mudah mundur sebelum bertarung.

"Tentu yang akan maju akhirnya orang yang berduit. Ini terkesan oligarki," katanya.

Sebaiknya Airlangga menjelaskan kalau Pilkada 2020 memang bisa menaikkan pertumbuhan ekonomi sembari memberikan contoh untuk apa saja dana Rp10 triliun tersebut, katanya. "Lebih elok sebut ada pergerakan ekonomi dengan membeli atribut dan lain-lain, ketimbang sebut dana sebesar itu saja. Terkesan di situ bahwa Airlangga sebagai menko melakukan pembiaran dan menjadikan alat legitimasi para calon kepala daerah," katanya.

"Bisa juga memberikan narasi alternatif seperti, ketika ada calon yang kompeten dan kredibel namun tak ada uang, perputaran ekonomi bukan dari dia, tapi hasil dari gotong royong warga di daerahnya yang mendukung dia. Jadi orang-orang enggak punya uang, ia tetap punya kesempatan maju," katanya.

Baca juga artikel terkait PILKADA 2020 atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Politik
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino