tirto.id - Pertengahan bulan September 2023, publik Tanah Air dikejutkan dengan pengungkapan Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri terkait jaringan narkoba Fredy Pratama.
Terungkapnya gembong narkoba pria asal Banjarmasin ini, berawal temuan Polri terkait kesamaan modus operandi yang digunakan sindikat, yakni dengan menggunakan aplikasi Blackberry Messenger Enterprise, Threema, dan Wire untuk berkomunikasi dalam jaringan.
“Fredy Pratama ini adalah sindikat narkoba yang cukup besar. Dari 2020-2023 ada 408 laporan polisi dan total barang bukti yang disita sebanyak 10,2 ton sabu, dan terafiliasi dengan kelompok Fredy Pratama ini,” terang Kabareskrim Polri, Komjen Pol Wahyu Widada seperti yang diberitakan Tirto, Rabu (13/9/2023).
Dalam periode waktu tersebut juga disebut telah ditangkap 884 orang tersangka, yang semuanya terkait dengan Fredy Pratama.
Menurut Wahyu, Fredy yang juga dikenal dengan nama alias Miming telah menjadi bandar narkoba sejak 2009 dan menjadi incaran kepolisian sejak tahun 2014. Namun, sampai saat ini dia belum pernah tertangkap. Wahyu juga menyebut dia sebagai bandar narkoba terbesar di Indonesia yang mengendalikan peredaran narkotika secara masif di kota-kota besar di Pulau Sumatra, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi.
Polri pun bertindak cepat dengan menerbitkan red notice untuk menangkap Fredy sejak Juni 2023 lalu. “Status yang bersangkutan saat ini adalah DPO dengan red notice yang diperkirakan keberadaannya saat ini di Thailand dan telah memiliki beberapa aset di Thailand sebagai hasil bisnis narkotikanya," tambah Wahyu.
Kasus gembong narkoba Fredy Pratama boleh jadi menjadi sindikat yang terbesar. Namun sebelumnya, Indonesia juga pernah berhadapan dengan bandar narkoba lokal yang tidak kalah sensasionalnya. Freddy Budiman, yang tertangkap dan menjalani hukuman mati pada 2016 adalah nama besar dalam penyaluran narkotika di Tanah Air sejak tahun 1990an sampai 2010an.
Berdasar arsip Tirto, Freddy Budiman diketahui bahkan sempat mengendalikan operasi perpindahan narkoba saat berada di balik jeruji besi
Data di Balik Tersangka dan Napi Kasus Narkoba di Indonesia
Menguaknya kasus Fredy Pratama, serta histori kasus Freddy Budiman, menunjukkan kalau aktivitas peredaran narkoba di Indonesia bukanlah hal yang baru.
Berdasarkan data dari Badan Narkotika Nasional (BNN), penanganan kasus narkotika di Tanah Air sejak tahun 2009 menunjukkan tren naik tiap tahunnya. Tahun 2018 menjadi puncaknya saat dalam satu tahun tercatat ada 1.039 kasus yang ditangani dan 1.545 orang yang ditetapkan sebagai tersangka kala itu.
Setelahnya, sempat ada tren penurunan jumlah kasus maupun jumlah penangkapan tersangka. Namun, pada tahun 2022, kembali terdapat lonjakan jumlah kasus yang mencapai 879 kasus dan penangkapan tersangka sebanyak 1.422.
Tiga "zona merah" BNN, yakni daerah yang punya kasus terbanyak secara akumulatif dari 2009-2022, di antaranya adalah Sumatera Utara (596 total kasus, 858 total tersangka), Jawa Timur (506 dan 653), serta Kalimantan Timur (467, 549).
Laman data statistik kasus narkoba BNN juga menyebut bahwa secara total, selama 14 tahun hingga 2022, sudah ada 7.773 penanganan kasus narkotika pada 14 tahun terakhir. Tercatat juga 46 jenis barang bukti narkotika seperti dari ganja, sabu, kokakin, morfin, dan lainnya. Jika diuangkan, nilai barang bukti tersebut mencapai Rp1,1 triliun.
Sementara itu, berdasar Indonesia Drug Report 2023, yang juga dirangkum oleh BNN, terdapat juga kasus terkait narkoba yang ditangani Polri.
"Pada tahun 2022, BNN dan Polri mengungkap 43.099 kasus tindak pidana narkoba dengan tersangka sebanyak 55.452 orang," begitu bunyi salah satu rangkuman dari laporan tersebut.
Angka ini naik dari tahun 2021. Berdasarkan Indonesia Drugs Report 2022, jumlah tersangka tindak pidana narkoba yang diamankan Polri dan BNN ada 53.405 orang tersangka.
Disebut juga berdasar gabungan data BNN dan Polri pada tahun 2022, tersangka terkait narkoba masih dominan laki-laki (50.721 tersangka). Jumlahnya 10 kali lipat lebih banyak dibanding tersangka perempuan (4.731 tersangka).
Sepanjang tahun 2022, jenis narkoba yang paling banyak terungkap kasusnya adalah sabu. Jumlahnya dominan, mencapai 32 ribu kasus, serta melibatkan lebih dari 40 ribu tersangka. Di bawahnya ada ganja dengan sekitar 5 ribu kasus dan hampir 9 ribu tersangka. Diikuti kemudian oleh psikotropika daftar G (1.201 kasus dan 1.256 tersangka), ekstasi (765 kasus dan 984 tersangka), dan miras (657 kasus, 655 tersangka). Perlu diketahui bahwa psikotropika daftar G artinya obat keras, termasuk juga psikotropika, yang untuk memperolehnya harus dengan resep dokter.
Setahun sebelumnya, pada 2021, jenis narkoba dengan jumlah kasus paling banyak juga tetap didominasi oleh sabu, diikuti ganja, psikotropika daftar G, obat keras, dan ekstasi.
Mereka yang telah mendekam di penjara karena kasus narkoba pun tidak kalah banyak jumlahnya. Berdasar data Ditjen Permasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM RI, yang dirangkum pada laporan yang sama, per 31 Desember 2022, terdapat 131.069 orang narapidana dan tahanan kasus narkoba di seluruh Indonesia.
Paling banyak narapidana kasus narkoba ada di provinsi Sumatra Utara, mencapai 16.938 orang napi. Diikuti Jawa Timur (12.994 orang), Jawa Barat (10.409 orang), DKI Jakarta (9.781 orang), dan Kalimantan Timur (8.243 orang). Provinsi asal Fredy Pratama, Kalimantan Selatan, berada di peringkat tujuh dengan 7.536 orang napi narkoba.
Laporan BNN ini juga membagi antara pengedar dan penyalahguna alias pemakai. Terlihat kalau napi pengedar narkoba dominan ada di Sumatra Utara, Kalimantan Selatan, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Kalimantan Timur. Sementara penyalahaguna banyak mendekam di penjara di Jawa Timur, DKI Jakarta, Sumatra Utara, Jawa Timur, dan Sumatra Selatan.
Jaringan Narkoba di Indonesia Berkolerasi dengan Negara Tetangga
Bukan tanpa alasan sebenarnya Ferdy Pratama, diduga Polri, bersembunyi di Thailand. BBC Indonesia, dalam artikelnya, menyebut mertua Fredy adalah warga negara Thailand dan bos kartel narkoba di kawasan "Segitiga Emas" ("Golden Triangle").
Dijelaskan kalau "Golden Triangle" adalah kawasan di Asia Tenggara yang menjadi pusat perekonomian narkoba dan sumber penting narkotika dunia. Daerah yang termasuk "Segitiga Emas" ini adalah sebagian Myanmar, Tiongkok, Laos, dan Thailand. Dari sana juga Fredy diduga mengemas narkoba untuk kemudian disebar ke Indonesia dan Malaysia.
Dalam Indonesia Drug Report 2023, BNN juga memetakan pintu masuknya narkoba dari luar negeri ke Indonesia. Terdapat beberapa opsi akses, yakni jalur darat, jalur laut, serta kombinasi keduanya.
Thailand menjadi salah satu penyuplai narkoba ke Indonesia lewat kedua jalur tersebut. Pintu masuk penyelundupan narkoba dari Thailand yakni lewat Pidi Jaya (kombinasi) dan Bireun (laut) di Aceh. Terdapat juga penyeludupan jalur darat dari Papua Nugini ke Jayapura.
Sisanya, paling banyak pintu masuk penyelundupan narkoba ke Indonesia lewat Malaysia. Di Malaysia bagian barat, pintu masuknya ada di Palembang dan Medan (kombinasi), Idi Rayeuk, Pidi Jaya serta Lhokseumawe di Aceh, serta Tanjung Balai di Sumatera Utara (laut). Selain itu jalur laut juga dimanfaatkan untuk masuk ke Bengkali, Pekanbaru, dan Kampar (Riau).
Sementara di Malaysia bagian timur, yang satu daratan dengan Pulau Kalimantan, terdapat pintu masuk jalur darat lewat Pontianak, Kalimantan Barat dan Bontang, Kalimantan Timur. Sementara lewat jalur laut, ada pintu masuk di Jagoi Babang-Bangkayang, Kalimantan Timur, dan Tarakan, Kalimantan Utara, serat Pinrang, Sulawesi Selatan.
Jaringan narkoba internasional ini juga membuat WNI terjerat kasus narkoba di negara orang ataupun sebaliknya, WNA yang menjadi napi narkoba di Tanah Air.
Data yang dirangkum Kementerian Luar Negeri RI, menyebut per akhir 2022, ada 177 WNI yang terlibat tindak pidana narkoba di luar negeri. Dari jumlah tersebut 148 di antaranya terancam hukuman mati. Dari total, mayoritas juga menjadi napi di Malaysia, tercatat ada 136 WNI menjadi napi narkoba di Negeri Jiran.
Sementara, untuk WNA yang terlibat tindak pidana narkoba di Indonesia, jumlahnya mencapai 88 orang. Terbanyak dari Papua Nugini (18 orang), diikuti WNA asal Rusia dan Malaysia (9 orang). Sisanya tersebar dari beragam negara mulai dari Filipina, Jepang, Arab Saudi, Inggris, Perancis, Amerika Serikat, Meksiko, Brasil, dan beberapa negara lain.
Editor: Farida Susanty