Menuju konten utama

Di Balik Instruksi Tembak & Darah Demonstran Halal Kapolres Malang

Kapolresta Malang Kombes Pol Leonardus Simarmata menginstruksikan demonstran ditembak di tempat dan darah mereka halal. Apa yang terjadi?

Di Balik Instruksi Tembak & Darah Demonstran Halal Kapolres Malang
Ilustrasi orang bersenjata api. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Sebuah video yang beredar di Twitter merekam pernyataan mengerikan dari kepala polisi. Dalam video berdurasi 23 detik yang diunggah aktivis HAM Veronica Koman terdengar instruksi: siapa saja yang melewati pagar pembatas “halal darahnya, tembak.” Instruksi tersebut diberikan ke para polisi yang dalam video terlihat mengenakan seragam lengkap dengan senjata.

Orang yang menginstruksikan itu adalah Kapolresta Malang Kombes Pol Leonardus Simarmata. Leonardus dan Gatot Repli, Kabid Humas Polda Jatim, tak membalas pesan WhatsApp reporter Tirto. Namun, seperti dilaporkan media lokal beritajatim.com, ia mengatakan instruksi tersebut diberikan untuk para demonstran--orang-orang Papua--yang ada di luar pagar, tapi video tersebut telah dipotong sehingga tak lagi tepat konteks.

“Itu videonya dipotong. Yang benar adalah mereka mencoba merangsek masuk ke dalam satuan saya. Itu kan pintu ditutup. Kalau ada yang mencoba merusak markas, mencoba masuk, maka kami lakukan tindakan tegas itu tadi,” kata Leonardus.

Kepada reporter Tirto, Rabu (10/3/2021) Veronica menyatakan pernyataan Leonardus menggambarkan diskriminasi aparat terhadap orang Papua. “Coba bayangkan itu mahasiswa non Papua, apakah reaksi polisi akan seperti itu? Saya rasa tidak,” katanya. Ia juga bertanya retoris apa yang terjadi di Papua ketika pernyataan seperti ini dapat keluar di tengah kota dan tepat di hadapan para jurnalis.

Veronica juga berpendapat pernyataan Leonardus bukanlah kekhilafan lantaran dilontarkan berulang-ulang.

Para demonstran berangsur-angsur datang ke Mapolresta Malang Kota sejak pukul 20 pada Selasa 8 Maret 2021. Sebanyak 61 orang menuntut polisi membebaskan demonstran, termasuk seorang mahasiswa Papua bernama Harry Loho (23), yang ditangkap saat aksi Hari Perempuan Internasional pada siang hari. Demonstrasi itu sendiri berujung pembubaran.

Robert Alua, anggota Aliansi Mahasiswa Papua, mengatakan kepada reporter Tirto, Rabu, massa membawa poster untuk menyuarakan pendapat, juga makanan, air mineral, serta seduhan kopi yang dimasukkan ke dalam galon.

Beberapa perwakilan massa sempat masuk ke halaman mapolresta. Namun karena polisi meminta mereka menjaga jarak, akhirnya massa menunggu di luar. Malam itu kepolisian bersenjata dan mahasiswa hanya dibatasi pagar.

Ia memperkirakan 50-an polisi berseragam dan bersenapan berjaga. Ada juga dua truk hitam bertuliskan ‘Sat Brimob Polda Jawa Timur’ diparkir.

Leonardus datang dan mengatakan, “kamu datang banyak-banyak mau serang kantor polisi?” seperti ditirukan Robert. Robert dan massa kaget dengan pernyataan tersebut. “Padahal mahasiswa bersolidaritas untuk kawan yang ditahan, tapi kami dianggap mau serang kantor polisi,” katanya, lalu menegaskan barang yang mereka bawa hanya nasi bungkus, bukan senjata.

Pada saat itu pula massa mendengar Leonardus memberikan instruksi tembak di tempat. “‘Kalau sampai masuk, tembak saja. Saya bertanggung jawab untuk itu, darah mereka halal.’ Itu kapolres [yang bicara],” aku Robert. Massa, tentu saja, tak ada yang berani masuk lagi. Mereka menunggu di trotoar.

Sebanyak 27 orang akhirnya dibebaskan, tapi tidak dengan Harry yang masih mendekam di ruang pemeriksaan. Maka massa memutuskan bertahan lebih lama meski polisi merawak bahan logistik dan merampas poster-poster. Saat subuh, tinggal 28 orang bergeming. Pukul 8, hanya 19 orang yang masih mengakar.

Pagi setelah apel Kapolres Leonardus kembali mendatangi mereka. “Ini tanah kami, tanah saya. Kalian datang ke sini jangan bikin ini jadi warkop, ini bukan tempat nongkrong,” kata Robert menirukan Leonardus.

Kelar itu semua, mereka membubarkan diri demi alasan keselamatan.

Kuasa hukum Aliansi Mahasiswa Papua Michael Himan mengatakan instruksi Leonardus merupakan ancaman atas pemenuhan HAM. “Kami menilai instruksi tembak itu telah mengusik hak atas rasa aman dan perlindungan terhadap ancaman ketakutan,” terang dia, Rabu.

Ia juga mengatakan pernyataan kapolres “termasuk dalam kategori tindakan diskriminatif ras dan etnis.” Menurutnya pernyataan Leonardus bisa menimbulkan masalah baru di Bumi Cenderawasih. Ia khawatir itu akan memicu lagi kemarahan rakyat Papua seperti dua tahun lalu.

Koordinator Advokasi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya Pos Malang Daniel Alexander Siagian juga mengatakan hal serupa.

“Saya menyayangkan ujaran yang diduga bersifat rasisme dan sangat tidak menginginkan hal itu terjadi di seluruh wilayah karena ada prinsip non-diskriminasi dan persamaan di depan hukum dalam prinsip hukum dan HAM,” kata dia, Rabu.

Baca juga artikel terkait TEMBAK DI TEMPAT atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Rio Apinino