tirto.id - Pada 2015 menjadi periode pukulan telak bagi industri maupun pelaku usaha bisnis minuman beralkohol golongan A atau bir. Pemerintah pusat melarang peredaran bir di minimarket sampai tingkat pengecer.
Peredaran bir dijauhi dari zona-zona seperti pemukiman penduduk, tempat ibadah, terminal, stasiun, rumah sakit, gelanggang remaja dan sekolah. Sebelum aturan, bir memang dijual bebas di pasar umum tanpa pembatasan, kini dibatasi di supermarket dan daerah tertentu saja seperti kawasan wisata dengan aturan pemda.
Suara-suara keberatan bermunculan, di antaranya adalah para pedagang bir. Sebanyak 500 pedagang bir dari Banyumas menyurati Presiden Jokowi agar kebijakan itu dicabut.
“Aturan Menteri Perdagangan Rachmat Gobel tidak masuk akal, dan tidak sesuai janji Jokowi saat kampanye yang pro-rakyat kecil,” kata Sugiono, Ketua Persatuan Penjual Bir Banyumas dikutip dari Tempo, Kamis 9 April 2015.
Jokowi bergeming. Kebijakan larangan bir tetap berjalan. Minimarket dan pengecer lainnya wajib menarik bir atau produk minuman beralkohol (minol) golongan A pada April 2015 sesuai Permendag No. 6/2015 tentang Pengendalian dan Pengawasan terhadap Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol.
Berselang tiga tahun, pada 2018, pemerintah akan menaikkan tarif cukai minol golongan A (kadar alkohol hingga 5 persen), dari Rp13.000 per liter menjadi Rp15.000 per liter mulai 1 Januari 2019. Ketentuan ini berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 158/2018 tentang Tarif Cukai Etil Alkohol, Minuman Yang Mengandung Etil Alkohol dan Konsentrat Yang Mengandung Etil Alkohol.
Untuk minol golongan selain A atau bir, antara lain golongan B (kadar alkohol 5-20 persen) dan golongan C (kadar alkohol di atas 20 persen), justru cukainya tidak naik. “Tarif impor untuk golongan B dan C itu sudah tinggi, 90 persen dan 150 persen. Untuk itu, atas dasar kesetaraan, golongan A disesuaikan,” kata Deni Surjantoro, Kasubdit Komunikasi dan Publikasi Ditjen Bea dan Cukai, kepada Tirto.
Tarif cukai minol memang sudah lama tidak naik. Terakhir, tarif cukai minol dinaikkan pada saat 2013. Pada saat itu seluruh golongan mengalami kenaikan.
Pengenaan tarif cukai merupakan instrumen pemerintah dalam mengendalikan konsumsi barang-barang tertentu agar pemakaiannya tidak menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan. Namun, tujuan dari pengenaan tarif cukai ini juga untuk menambah pundi-pundi pendapatan negara.
“Saya kira ini (cukai bir naik 2019) lebih untuk mencari penerimaan, bukan pengendalian. Jika benar pengendalian, seharusnya tarif cukai golongan B dan golongan C juga naik,” ujar Ekonom INDEF Bhima Yudhistira Adhinegara, kepada Tirto.
Alasan Bhima memang cukup beralasan, karena penerimaan cukai dari bir dalam tren menurun. Berdasarkan data Ditjen Bea Cukai, penerimaan cukai minol golongan A pada 2017 tercatat Rp2,86 triliun, turun 19 persen dari 2014 sebesar Rp3,41 triliun. Pada periode yang sama, penerimaan cukai minol golongan B dan C justru terus meningkat. Penerimaan cukai golongan B tercatat Rp1,8 triliun naik 24 persen dari 2014 sebesar Rp1,45 triliun. Adapun, golongan C tercatat Rp608,82 miliar, naik 75 persen.
Kebijakan cukai ini memang unik, pada produk tembakau atau rokok, pada 2019 tak ada kenaikan. Ada tren cukai rokok tak naik periode tahun-tahun politik. Rokok memang sudah menjadi produk populis dan sensitif. Namun, berbeda untuk minuman beralkohol. Rencana kenaikan tarif cukai pada bir ini justru menjadi sentimen positif bagi pemerintah, bir bagaimanapun adalah produk yang mengandung alkohol. Namun, lagi-lagi setiap ada kebijakan selalu ada yang diuntungkan dan dirugikan.
Pelaku Usaha Bir Keberatan
Rencana pemerintah menaikkan tarif cukai minol golongan A mulai 2019 ini juga ditanggapi negatif oleh pelaku usaha. Menurut mereka, kenaikan tarif cukai minol bisa mengganggu tingkat permintaan. Apalagi, produsen bir saat ini juga sedang dalam tahap pemulihan setelah terkena dampak dari pelarangan penjualan bir oleh pemerintah kepada minimarket dan pengecer lainnya pada 2015.
Direktur Pemasaran PT Delta Djakarta Tbk. Ronny Titiheruw mengatakan perseroan masih melakukan hitung-hitungan atas dampak dari kenaikan tarif cukai minol itu. Namun, kenaikan cukai bakal menyebabkan kenaikan harga bir.
“Enggak besar sih penyesuaiannya. Namun yang pasti, kenaikan cukai bisa membuat harga bir kian tinggi. Akibatnya, konsumsi bir dari masyarakat juga bakal terganggu,” katanya saat dihubungi Tirto.
Kinerja Delta Djakarta sepanjang tahun ini tumbuh cukup tinggi. Pada kuartal III/2018, penjualan Delta mencapai Rp627,78 miliar naik 15 persen dari periode yang sama tahun lalu sebesar Rp545,72 miliar. Sementara dari laba bersih, perseroan meraup uang sebesar Rp232,87 miliar, naik 23 persen dari periode yang sama tahun lalu sebesar Rp189,91 miliar. Delta selama ini hanya memproduksi minol untuk golongan A saja.
Kondisi Delta sepanjang tahun berjalan ini jauh lebih baik ketimbang 2017. Pada tahun lalu, penjualan Delta hanya naik 0,3 persen atau sebesar Rp777,30 miliar dari pendapatan 2016 sebesar Rp774,96 miliar.
Hal yang sama juga diutarakan Direktur Hubungan Korporasi PT Multi Bintang Indonesia Tbk. Bambang Britono. Menurutnya, kenaikan cukai minol hanya menambah beban terhadap industri minol.
“Pasar bir domestik masih belum pulih dari dampak Permendag No. 8/2015. Lalu ditambah kenaikan tarif cukai, maka industri bir dapat double shock. Ini bisa berdampak ke demand,” tuturnya kepada Tirto.
Berbeda dengan Delta, pertumbuhan penjualan Multi Bintang pada tahun berjalan ini agak kecil. Pada kuartal III/2018, Multi Bintang membukukan penjualan sebesar Rp2,45 triliun, naik 5 persen dari periode yang sama tahun lalu Rp2,33 triliun.
Tipisnya pertumbuhan penjualan, membuat laba bersih Multi Bintang pada kuartal III/2018 menurun 13 persen menjadi Rp799,20 miliar dari Rp920,87 miliar. Laba bersih yang turun ini juga menjadi yang pertama bagi perseroan dalam 5 tahun terakhir ini.
Kebijakan pemerintah soal bir dan cukai tentu jadi poin bagi pemerintah, selain bisa menambah pendapatan negara ada
nilai citra positif bagi pemerintah di tengah sentimen keagamaan yang sedang menguat.
Editor: Suhendra