tirto.id - Keputusan pemerintah mengalokasikan penerimaan pajak rokok guna membantu pembiayaan BPJS Kesehatan menuai polemik. Ada yang pro, tidak sedikit pula yang kontra.
Cuitan tentang pajak rokok untuk BPJS Kesehatan pun ramai di jagat media sosial. Ada yang mengatakan pajak rokok untuk menambal defisit BPJS Kesehatan merupakan bukti bahwa rokok bermanfaat bagi bangsa.
Lalu ada juga warganet yang mengambil kesimpulan bahwa pajak rokok untuk menambal defisit BPJS Kesehatan mendorong para perokok untuk lebih banyak lagi merokok agar BPJS Kesehatan bisa berkelanjutan.
Suka tidak suka bahwa pajak rokok selama ini sudah lama menjadi sumber pembiayaan untuk kesehatan. Ia masuk melalui APBD di beberapa daerah.
Pajak rokok untuk pelayanan kesehatan publik tertuang di Pasal 31 UU No. 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). Di pasal itu, penerimaan pajak rokok, baik bagian provinsi maupun bagian kabupaten/kota dialokasikan paling kecil 50 persen untuk mendanai pelayanan kesehatan masyarakat, dan penegakan hukum oleh aparat berwenang.
Namun, dengan regulasi yang diteken Presiden Joko Widodo (Jokowi) baru-baru ini, yakni Peraturan Presiden No. 82/2018 tentang Jaminan Kesehatan, sumbangan pajak rokok terhadap layanan kesehatan lebih besar. Dalam Perpres tersebut, disebutkan dengan jelas bahwa kontribusi pajak rokok dari pemerintah daerah adalah sekitar 75 persen dari 50 persen total realisasi penerimaan pajak rokok yang menjadi bagian pemerintah daerah.
“Dengan asumsi penerimaan cukai Rp148 triliun, maka tarif pajak rokok Rp14 triliun (pajak rokok berkisar 10% dari penerimaan cukai). Dari tarif pajak rokok itu, dana untuk menambah defisit BPJS Kesehatan ditaksir Rp5 triliun,” kata Sunaryo, Kasubdit Tarif Cukai Ditjen Bea Cukai dikutip dari Antara.
Pajak "Dosa" untuk Layanan Kesehatan di ASEAN
Kontribusi pajak rokok atau kerap disebut pajak dosa untuk mendanai pelayanan kesehatan publik sebenarnya bukan barang baru. Di ASEAN, sudah ada tiga negara yang menerapkan itu, di antaranya Filipina, Indonesia dan Thailand.
Namun, di antara ketiga negara itu, Filipina yang paling jor-joran mengalokasikan pajak "dosa" untuk kesehatan. Dimulai pada Desember 2012, nilai pajak dosa dari rokok dan minuman beralkohol pada tahun pertamanya menyumbang US$1,2 miliar. Selang dua tahun berikutnya, sumbangan pajak dosa itu bertambah menjadi US$2 miliar.
Dana kesehatan yang meningkat juga membuat cakupan layanan semakin luas. Sebelum ada pajak dosa, PhilHealth atau program kesehatan Filipina serba kekurangan, mulai dari dana, pekerja hingga fasilitas kesehatan di pelosok negeri.
Akibat kekurangan dana itu, layanan kesehatan yang terjangkau dan terjamin hanya mampu dirasakan 74 persen dari total penduduk. Seiring dengan adanya regulasi pajak dosa, pelan-pelan cakupan penduduk yang terlayani mulai bertambah. Per 2015, layanan sudah mencakup 82 persen atau sebanyak 100 juta penduduk Filipina.
Pajak dosa untuk layanan kesehatan publik juga diterapkan di Thailand. Negara Gajah Putih ini merupakan salah satu pelopor di antara negara ASEAN yang mengalokasikan pajak dosa untuk pelayanan kesehatan publik.
Rencana mengalokasikan pajak dosa untuk pelayanan kesehatan di Thailand mulai dicetuskan pada 1994. Namun, rencana tersebut baru terealisasi pada 8 tahun kemudian seiring dengan dibentuknya Thai Health Promotion Foundation (Thai Health).
Pada 2007, dana yang disisihkan Thailand untuk Health Promotion Fund sekitar 2 miliar baht atau setara dengan US$60 juta, atau dua persen dari total penerimaan pajak khusus produk tembakau dan minuman beralkohol.
Seperti Filipina dan Thailand, Indonesia juga sudah lama mengalokasikan pungutan pajak rokok untuk program kesehatan. Awalnya, Indonesia menerapkan dana bagi hasil (DBH) dari cukai hasil tembakau sebesar 2 persen dari cukai rokok untuk pelayanan kesehatan publik.
Namun, nilai yang dialokasikan untuk sektor kesehatan itu terbilang kecil. Pada 2011, nilai yang dialokasikan hanya Rp1,2 triliun dari total cukai Rp60 triliun, dan dibagikan kepada 341 kabupaten/kota yang tersebar di pelosok Tanah Air.
Seiring dengan meningkatnya kesadaran akan kesehatan, pemerintah bersama legislatif menerbitkan UU No. 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). Di dalam UU itu, diatur mengenai pajak rokok.
Pada UU PDRD, pajak rokok adalah pungutan atas cukai rokok yang dipungut pemerintah pusat. Tarif pajak rokok ditetapkan sebesar 10 persen dari cukai rokok. Pajak rokok itu lalu dibagikan kepada pemerintah provinsi dan kabupaten/kota.
Tidak seperti regulasi sebelumnya, alokasi anggaran untuk sektor kesehatan pada UU PDRD lebih besar lantaran pemerintah daerah wajib mengalokasikan paling sedikit 50 persen untuk layanan kesehatan dan penegakan hukum. Misal, penerimaan cukai rokok 2011 sebesar Rp60 triliun, maka pajak rokok yang menjadi penerimaan pemda mencapai Rp6 triliun. Alhasil, alokasi untuk kesehatan dan penegakan hukum dari pajak rokok mencapai Rp3 triliun.
“Namun dalam pelaksanaannya, dana bagi hasil cukai hasil tembakau dan pajak rokok masih banyak persoalan, mulai dari masalah administrasi dan pengawasan, sehingga tidak optimal,” tutur Yustinus Prastowo, Direktur CITA kepada Tirto.
Selain ASEAN, negara-negara lainnya yang mengalokasikan pajak dosa untuk peningkatan layanan kesehatan juga tidak sedikit. Nigeria bahkan sudah mulai mempertimbangkan untuk menerapkan pajak dosa seiring dengan meningkatnya konsumsi rokok dan minuman beralkohol.
Editor: Suhendra