tirto.id - Pada Agustus tahun lalu, isu harga rokok naik jadi Rp50 ribu per bungkus kencang berhembus. Netizen terbelah dua, ada yang pro dan kontra.
Dea tidak merokok, tapi dia tergabung dalam pihak kontra. Alasannya, kenaikan harga rokok dapat berpengaruh pada pekerjaannya sebagai divisi Human Resource Development (HRD) sebuah perusahaan rokok terkenal. Ia membawahi langsung para tenaga penjual (sales) rokok.
“Kalau rokok sebungkus Rp50 ribu, orang-orang yang mampu beli berkurang. Kasihan sales-sales ini,” kata Dea.
Jadilah ia bergabung dengan gerakan #KamiTidakPanik yang sempat jadi trending topic di sosial media. Tanda pagar itu adalah propaganda dari para perokok berat, dan tentu saja korporasi dagang rokok, yang ingin para konsumen tidak panik dengan isu kenaikan harga tersebut.
Isu harga rokok naik muncul pasca-riset yang dikeluarkan Centre for Health Economics and Policy Studies (Cheps), sebuah pusat kajian kesehatan dan studi kebijakan dari Universitas Indonesia. Riset itu mencoba menjawab pertanyaan: di harga berapa pengguna rokok akan menurun drastis? Jawabannya adalah Rp50 ribu per bungkus, sebagaimana yang mereka sampaikan dalam sebuah seminar kesehatan nasional berbahasa Inggris. Kemudian dikutip keliru, ada yang menyebut kenaikan rokok sebagai kebijakan pemerintah. Rupanya sumbu pendek itu menyulut api yang besar. Kehebohan karena isu harga rokok naik menyebar ke mana-mana.
Baca juga: Hoax Harga Rokok Naik Adalah Kita
Kehebohan sudah sampai di mana-mana. Semua orang terpicu mengeluarkan komentar. Ada yang membahas inflasi, harga rokok ilegal, ancaman pemutusan hubungan kerja bagi buruh, hingga kesejahteraan petani.
Pemerintah pun akhirnya harus merespons agar kericuhan akibat isu itu teredam. Sabtu, 20 Agustus 2016, akun Twitter @beacukaiRI, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan mengumumkan:
“Menanggapi isu yang beredar mengenai harga rokok yang beredar di media sosial/pesan berantai/media lainnya, kami sampaikan bahwa berita tersebut tidak dapat dibicarakan kebenarannya. Karena sampai saat ini belum ada aturan terbaru mengenai Harga Jual Eceran (HJE) rokok.”
Setahun kemudian, Cheps kembali membawa riset baru. Kali ini untuk menjawab alasan-alasan yang sempat dihebohkan untuk menolak kenaikan harga rokok. Hasilnya, peningkatan harga rokok rupanya bisa meningkatkan kas negara, dengan tanpa merugikan buruh, petani, apalagi sampai terjadi inflasi tinggi.
“Karena harganya (rokok) naik, pendapatan negara akan naik. Industri? Tentu juga akan naik. Karena undang-undang cukai kita membatasi hanya 57 persen maksimum cukai rokok dari harga. Jadi kalau harga naik, pendapatan negara 50 persennya naik, pendapatan industri juga naik. Kalau pendapatan industri juga naik, harusnya—ini harusnya—buruh dan petani juga kebagian,” kata Profesor Hasbullah Thabrany, Guru Besar Ilmu Kesehatan Masyarakat dari Universitas Indonesia.
Penelitian Cheps menunjukkan, jika harga rokok naik Rp10 ribu saja (tak sampai 2 kali lipat), negara bisa meraup tambahan kas Rp198 triliun dari cukai. Kalaupun rokok ilegal ikut naik hingga 2 kali lipat, negara merugi sekitar Rp20 triliun. Artinya, dengan kenaikan Rp10 ribu, di atas kertas negara masih surplus pemasukan Rp175 triliun.
Sementara, jika harga rokok naik hingga 200 persen (tak sampai Rp50 ribu per bungkus), negara menghasilkan Rp260 triliun dalam setahun dari cukai. Ini sama saja sekitar Rp1.300 triliun dalam satu periode pemerintahan. Uang tersebut dapat digunakan untuk: membangun infrastruktur, memperluas jaminan kesehatan dan pendidikan.
Ketua Cheps Budi Hidayata bahkan mengusulkan agar tarif cukai rokok naik 150-200 persen. Membuat harga rokok rata-rata berkisar Rp25 ribu per bungkus. Menurutnya, hal itu bisa efektif menurunkan 4 juta jumlah perokok dan mengurangi 2 juta orang miskin per tahun.
“Kalaupun harga rokok naik, memang belum tentu orang berhenti merokok. Karena rokok kan bikin candu. Tapi yang belum merokok tidak akan merokok,” kata Budi.
Maksud Budi, harga murah yang terjangkau kini juga berperan dalam mempermudah akses anak-anak untuk mengonsumsi rokok sejak dini.
Baca juga:Surga Rokok Anak-anak Itu Ada di Indonesia
"Memang kalau harga rokok naik, belum tentu orang berhenti merokok. Karena itu membuat candu. Tetapi, yang belum merokok tidak akan merokok," ucapnya.
Ia khawatir jika harga rokok terjangkau, banyak anak-anak sanggup membeli. Lalu, bukankah kenaikan harga rokok juga memengaruhi daya beli masyarakat?
Menurut Prof Thabrany, betul kalau harga naik, permintaan akan turun. “Tapi yang sering disalahpahami orang-orang, penurunannya tidak akan signifikan. Jika harga naik 20 persen, permintaan tidak akan turun 20 persen juga. Harga naik 20 persen, permintaan biasanya turun cuma 5 persen. Sehingga industri tetap masih untung,” ungkapnya.
Alasan inflasi yang ditakutkan bila terjadi kenaikan harga rokok juga dibantah penelitian ini. Rokok adalah komoditas yang tak bisa memengaruhi inflasi negara secara drastis seperti harga bahan bakar minyak (BBM). Menurut data Cheps, kenaikan harga rokok selama ini masih jauh di bawah kenaikan pendapatan rata-rata masyarakat: pada 2010, misalnya. Harga rokok cuma 10,7 persen pendapatan per kapita. Sementara pada 2015, harga rokok cuma 9,5 persen dari pendapatan per kapita.
Budi menambahkan, berdasarkan kajian mereka, harga rokok yang naik sejak September 2013 justru berbanding terbalik dengan angka inflasi yang terus turun. Harga rokok per Januari 2017 sudah naik 8,4 persen karena ada kenaikan cukai, tapi inflasi justru hanya naik 3,6 persen.
Ihwal kesejahteraan petani dan buruh, Cheps juga punya jawaban. Pangsa rokok kretek memang turun 10 persen pada 2010-2015, tapi di saat yang sama jumlah buruh rokok meningkat 30 persen. Sebab, buruh yang berhenti dari pabrik rokok kecil diserap oleh industri rokok besar. Lagi pula, margin penjualan rokok untuk perusahaan terus meningkat, 53 persen pada tahun2010 menjadi 62 persen pada 2016.
“Harusnya buruh lebih sejahtera,” kata Prof Thabrany.
Ia mencontohkan kenaikan laba PT HM Sampoerna Tbk setiap tahun terus naik. Sampoerna sempat mencatatkan laba Rp9,9 triliun pada 2012 dan meningkat jadi Rp12,6 triliun pada 2016. Hal serupa juga digambarkan keuntungan PT. Gudang Garam Tbk yang meraup untung Rp6,6 triliun pada 2016, meningkat dari hanya Rp6,4 triliun pada tahun sebelumnya.
Baca juga:Dekatnya Rokok dengan si Miskin
Menurut Prof Thabrany, yang mengancam petani tembakau bukan kenaikan harga rokok, melainkan regulasi impor. Sebanyak 40 persen kebutuhan tembakau nasional dipenuhi oleh tembakau impor. Pangsa rokok kretek tangan (yang dibuat oleh petani Indonesia) turun dari 30 persen pada 2010 menjadi 20 persen pada 2015. Sehingga dapat disimpulkan, menjaga harga rokok murah justru merugikan petani.
“Jadi, kalau ada yang bilang cukai bikin PHK dan buruh makin menderita, itu semua hoax saja menurut saya,” tambah Prof Thabrany.
Baca juga:Indonesia Masih Butuh Impor Tembakau
Penulis: Aulia Adam
Editor: Suhendra