Menuju konten utama

Surga Rokok Anak-anak itu Ada di Indonesia

Indonesia masih menjadi surga perokok. Anak-anak dengan mudah mendapatkan rokok. Iklan yang masif dan membidik anak-anak lolos begitu saja tanpa sensor.

Surga Rokok Anak-anak itu Ada di Indonesia
SMPN 20 Padang bersama LSM Ruandu Foundation menggelar aksi pencopotan spanduk rokok di sejumlah warung dan menggantinya dengan spanduk imbauan bahwa warung tersebut tidak menjual rokok untuk pelajar. ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra

tirto.id - Ibram Habib akan selalu mematikan rokok yang ia pegang ketika melihat batang hidung ibu atau ayahnya. Perasaan takut kena marah itu masih ada. Padahal sudah dua bulan kedua orangtuanya tahu kalau anak ketiga mereka jadi perokok aktif. Ibram memang masih akan kena omelan panjang kalau ibunya melihat selinting rokok tersampir di sela jari.

Kedua saudara Ibram tak merokok. Ibunya juga belum pernah berurusan dengan anak perokok, apalagi umur Ibram belum genap 18. “Kalau belum bisa cari uang sendiri, ya harusnya jangan merokoklah,” nasihat ini selalu diselipkan sang Ibu dalam tiap omelannya.

Menurut Peraturan Pemerintah tentang Tembakau tahun 2012, anak di bawah usia 18 memang tak boleh membeli, dibelikan, dan/atau diberikan rokok. Mereka juga tak boleh dilibatkan kegiatan yang disponsori produk tembakau.

Ibram memang tak tahu aturan itu, tapi ia paham kalau merokok buat anak seusianya bukan hal baik. Ia tahu rokok membahayakan kesehatannya, sekaligus sadar betul bahwa merokok adalah hal biasa dan wajar. Hampir semua kawan-kawan pria sebayanya, di sekolah dan lingkungan rumah, adalah perokok, bahkan tak sedikit yang memulai di usia lebih muda daripada dirinya.

Ia memang jadi anak pertama yang merokok di keluarganya, sehingga wajar untuk merasa takut omelan Ibu. Tapi ia tak pernah merasa perlu khawatir untuk merokok di luar rumah, selama tak ada keluarga yang melihat. Membeli rokok juga hal mudah. Tak ada penjual yang pernah melarang. Lingkungan Ibram mendukung tabiat barunya itu.

Ibram adalah bagian dari anak-anak Indonesia yang dengan mudah mendapatkan akses untuk merokok. Data tahunan terakhir Tobacco Control Atlas ASEAN mencatat lebih dari 30 persen anak Indonesia mulai merokok sebelum usia 10 tahun. Jumlahnya kira-kira 20 juta anak. Angka ini terus naik tiap tahunnya. Data Komisi Nasional (Komnas) Perlindungan Anak menunjukkan selama tahun 2008 hingga 2012 jumlah perokok anak di bawah umur 10 tahun di Indonesia mencapai 239.000 orang. Sedangkan jumlah perokok anak antara usia 10 hingga 14 tahun mencapai 1,2 juta orang.

Dalam laporan Atlas, Indonesia bahkan dapat sorotan khusus sebagai negara dengan angka perokok termuda tertinggi. Sebagai pasar tembakau terbesar keempat di seluruh dunia, Indonesia juga jadi tempat kematian akibat tembakau tertinggi, sekaligus tempat iklan rokok masih lebih bebas dibanding negara-negara ASEAN lainnya.

Padahal ASEAN punya 10 persen perokok dunia, sebesar 52,2 persennya adalah orang Indonesia.

Angka-angka tersebut menunjukkan keleluasaan rokok masuk dalam kehidupan orang-orang Indonesia. Merokok jadi kegiatan biasa dalam kehidupan sehari-hari. Anak-anak terbiasa melihat orang dewasa yang merokok. Begitu juga sebaliknya: orang-orang dewasa juga terbiasa melihat sebagian anak-anak merokok, atau para remaja yang memulai merokok sebagai gaya hidup. Dalam laporan yang sama, Atlas menilai akses anak-anak untuk mendapatkan rokok di Indonesia memang sangat mudah.

Pada 2010, Ardi Rizal bahkan jadi kepala berita internasional. Indonesia disorot karena bocah, yang waktu itu masih berusia 2 tahun, sanggup menghabiskan 40 batang rokok per hari. Tujuh tahun kemudian, Ardi memang sudah tumbuh jadi anak biasa yang jauh dari tabiat itu. Tapi, angka anak yang merokok di Indonesia tak kunjung turun.

Faktor lain adalah regulasi iklan rokok di Indonesia dinilai masih yang paling ramah se-ASEAN. Catatan Atlas, Indonesia bahkan satu-satunya negara ASEAN yang tidak melarang iklan rokok tayang di televisi. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) jadi salah satu lembaga yang paling vokal memprotes hal ini.

Baca juga:

“Di media elektronik, jam tayang iklan rokok hanya boleh ditayangkan pada jam 21.30 sampai dengan jam 05.00 pagi waktu setempat. Pengaturan ini, diasumsikan bahwa pada jam 21.30–05.00 tidak ada anak-anak dan remaja yang menonton televisi; sehingga tidak terpapar iklan rokok,” kata rilis YLKI.

Mereka juga menambahkan, di Eropa iklan rokok sudah dilarang total sejal 1960-an. Sementara Amerika melarang iklan rokok sejak 1973. Menurut YLKI, iklan rokok melanggar hak konsumen karena manipulatif. Dampak dari rokok tak pernah sepenuhnya dirinci dalam iklan mereka.

Infografik Surga rokok anak-anak

Atlas juga mencatat perusahaan-perusahaan rokok juga langsung menyasar anak-anak muda, sehingga gaya hidup merokok di kelas ini jadi langgeng. Upaya-upaya itu tergambar dari konten-konten iklannya serta upaya mereka mensponsori kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan anak muda.

Padahal dampak rokok tidak main-main. Ia melanggengkan—kalau tidak memperpanjang—kemiskinan, selain menyebabkan kematian. Akibat merokok, anak muda yang tercatat sebagai usia produktif, akan menghadapi mortalitas dini. Dalam laporan Atlas, di Indonesia, rata-rata kematian akibat rokok mencapai 240.618 nyawa. Tentu hal itu dapat merugikan ekonomi negara.

YLKI mengasumsikan sehari tidak merokok, masyarakat Indonesia bisa menghemat Rp605 miliar per hari. Parahnya, dalam catatan Atlas, sebanyak 75,8 persen perokok di Indonesia adalah mereka yang hanya tamatan sekolah dasar dan di bawahnya. Mereka lebih senang mengeluarkan biaya konsumsi untuk rokok, ketimbang kebutuhan primer lain. Pengeluaran setahun mereka terhadap rokok setara dengan 14 kali pengeluaran pada daging; yang juga setara 7 kali pengeluaran pada pendidikan atau 11 kali rata-rata pengeluaran pada urusan kesehatan.

Baca juga:

Ibram baru tamat SMA tahun ini, dan baru mulai merokok sekitar 3 sampai 4 bulan lalu. Rokok yang dibakarnya masih dikeluarkan dari uang jajan sehari-hari dari orang tua. Jadi, Ia juga belum memusingkan berapa duit yang diperlukannya kelak untuk memenuhi gaya hidup ini. Tapi Ibram cukup awas dengan dampak buruk rokok pada kesehatan. Ia pernah melihat ayahnya setahun dibantai penyakit paru-paru karena rokok, yang akhirnya membuat sang ayah—mau tak mau—berhenti merokok.

Saat ditanya, “Jadi enggak takut sama dampak rokok?”

Ia diam belaka. Matanya menerawang.

Saat tanya disambung, “Kapan akan berhenti merokok?” Ibram cuma tersenyum.

“Belum dalam waktu dekat?”

Masih sambil tersenyum, dia mengangguk.

Baca juga artikel terkait ROKOK atau tulisan lainnya dari Aulia Adam

tirto.id - Gaya hidup
Reporter: Aulia Adam
Penulis: Aulia Adam
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti