Menuju konten utama

Iklan Melankolis yang Membawa Laris

Rasa haru dan empati yang muncul ketika melihat kisah sedih nyatanya juga bisa diandalkan jadi salah satu teknik pemasaran.

Iklan Melankolis yang Membawa Laris
Seorang lelaki menangis berdiri di depan tembok

tirto.id - “Heh, sini kau maling!” Seorang ibu paruh baya menarik lengan anak kecil, mungkin delapan atau sepuluh tahun.

“Sini kutengok! Apa aja yang kaucuri?” lalu ia merogoh kocek anak itu, mengambil sebotol obat sirup dan beberapa papan pil.

“Mau kau apakan ini? Ha?” ibu itu masih marah-marah, sambil menoyor kepala si bocah. “Jawab!”

“Untuk ibuku,” akhirnya si bocah menjawab sambil menunduk.

“Tunggu, tunggu.” Seorang bapak paruh baya mendekat ke arah mereka. “Tunggu dulu,” katanya, berusaha menyetop si ibu yang terus menoyor. “Apa ibumu sakit?” tanyanya pada si bocah, yang kemudian mengangguk.

Si bapak kemudian membayar obat itu, kemudian menyuruh putrinya membungkuskan sup sayur yang ia jual untuk si bocah. Tanpa berkata sepatah kata lagi, si bocah lalu berlari membawa bungkusan obat dan sup itu.

Lalu adegan berpindah ketiga puluh tahun berikutnya. Si bapak masih di warung yang sama, berjualan sup sayur. Putrinya yang sudah dewasa berteriak, “Pak?” memberi kode agar ayahnya melihat ke depan toko. Di sana rupanya sudah berdiri seorang pengemis berambut gondrong-masai. Ia memohon makanan gratis.

“Nih,” kata si bapak sambil memberikan sebungkus sup sayur, lalu si pengemis pergi.

Tiga detik kemudian, bapak itu terlihat sempoyongan. Tubuhnya mendadak terjerembab ke balakang, kepalanya membentur tepi meja. Adegan berikutnya, ia tak sadarkan diri di atas dipan rumah sakit, dengan kepala diperban dan hidung dipasangi corong bantu napas. Putrinya menangis. Dan makin frustrasi setelah melihat biaya operasi yang akan menyelamatkan sang ayah: 720 ribu Bath.

Ia menemui dokter—tanpa dialog, hanya dalam potongan-potongan gambar—sang putri tampaknya menyuruh dokter bersabar karena harus menunggu warung sup sayur mereka laku. Ya, usaha satu-satunya yang dimiliki si bapak dan putrinya harus dijual demi biaya operasi. Beruntung, ujung kisah sedih ini tak berakhir demikian.

Keesokan paginya, saat sang putri terbangun di tepi dipan ayahnya, ia mendapati sebuah amplop. Di dalamnya, tercatat tagihan biaya operasi yang sudah jadi 0 Bath. Di bawahnya ada catatan berbunyi: Semua tagihan sudah dibayar 30 tahun lalu, dengan tiga papan obat anti-nyeri dan sebungkus sup sayuran.

Rupanya, sang dokter adalah anak yang ditolong Pak tua itu tiga puluh tahun lalu.

Adegan di atas memang sangat dramatis dan kemungkinan besar jarang sekali terjadi di kehidupan nyata. Tapi, tak bisa dimungkiri, kalau adegan dramatis itu menggugah perasaan sedih dan haru bagi siapa saja yang menontonnya. Tak dinyana, video berdurasi tiga menit dua detik itu bukan film pendek, melainkan pariwara dari TrueMove H, sebuah perusahaan telekomunikasi yang bermarkas pusat di Thailand.

Di video itu tak sedikit pun kita akan melihat embel-embel TrueMove H dalam bentuk spanduk, pamflet, atau desain iklan apa pun, kecuali di empat detik terakhir, ketika logo perusahaan itu muncul. Tak seperti iklan pada umumnya yang menjual kelebihan-kelebihan produk, video itu benar-benar fokus menceritakan kisah sedih si tukang sup sayur yang baik hati, dengan tambahan pesan moral di ujung: “Memberi adalah komunikasi terbaik”.

Tapi apa berjualan lewat kesedihan ini benar-benar berhasil? Bukankah informasi tentang produk adalah hal penting yang perlu ditonjolkan?

Infografik Jualan Lewat Kesedihan

Dalam artikel Naiknya Iklan Sedih: Mengapa Jenama Kepengin Kamu Nangis, Rae Ann Fera dari Fast Company mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan ini. Menurutnya, iklan bermuatan kisah sedih tengah naik daun karena kesenangan manusia pada hal-hal emosional. Menyediakan informasi-informasi tentang kelebihan produk memang salah satu cara pemasaran, tapi bukan satu-satunya.

Iklan, kata Fera, sejatinya hadir untuk merayu orang-orang untuk membeli. Namun, di saat yang sama juga membuat koneksi dengan para konsumen dan calon konsumennya. Dan hal inilah yang dilakukan iklan-iklan sedih tersebut.

“Ini adalah gagasan tentang berkoneksi dengan hati ketimbang kepala,” katanya pada NPR. “Membeli tampaknya seperti tindakan yang sangat rasional, tapi kenyataannya kita (manusia) tak membuat keputusan secara rasional. Kita berkeputusan secara emosional,” tambah Fera.

Dalam tulisannya di Fast Company, Fera menemukan bahwa salah satu faktor lain meningkatnya jenis iklan ini adalah teknologi: internet dan media sosial.

Cerita sedih yang digemari manusia-manusia sentimental rupanya punya sifat mudah untuk disebarkan. Tentu saja distribusi gratis ini adalah keuntungan besar bagi perusahaan. Itu sebabnya, iklan-iklan sedih biasanya tak banyak memuat info tentang produk yang dijualnya, alih-alih fokus pada cerita sedih yang diobjektivikasi.

Salah satu perusahaan yang konsisten berdagang lewat iklan-iklan sedih yang diproduksinya adalah ThaiLife Insurance, sebuah usaha asuransi di Thailand. Phawit Chitrakorn, Direktur Pelaksananya, bahkan mengklaim kalau perusahaannya memang menjadikan emosional sebagai karakteristik utama mereka. Sehingga iklan-iklan sedih tak hanya akan jadi senjata pemasaran yang muncul sekali-kali saja.

Unsung Heroes, satu di antara iklan sedih yang diproduksi ThaiLife Insurance bahkan sudah ditonton lebih dari 29 juta kali di YouTube. Sekitar 17 juta pengakses dapat setelah 4 minggu dirilis, dan telah ditonton di lebih 200 negara. Dan masuk jadi video paling viral kesembilan di dunia.

Tentu hasil tersebut berpengaruh pada pendapatan perusahaan. Buktinya, iklan sedih dari ThaiLife Insurance tak cuma berjumlah satu-dua saja. Dengan kisah-kisah yang benar-benar menggugah haru, ia juga ditonton jutaan orang.

“Bertahun-tahun sekarang pendapatan perusahaan terus meningkat,” kata Chitrakorn pada Mumbrella Asia.

“(Barang) kami memang laku terjual.”

Baca juga artikel terkait IKLAN atau tulisan lainnya dari Aulia Adam

tirto.id - Marketing
Reporter: Aulia Adam
Penulis: Aulia Adam
Editor: Suhendra