tirto.id - Tahun 2011 lalu, sebuah pusat belanja elektronik terbesar di Kota Manado bernama IT Center Manado memasang iklan promosi di koran lokal. Iklan itu berisi potongan harga besar-besaran khusus tanggal 11 November 2011.
Dalam iklan itu, disebutkan harga laptop, kamera, dan proyektor hanya Rp111.000. Tablet Samsung dibanderol Rp1,1 juta. Sedangkan jam tangan dan tas hanya Rp11.000. Pada tanggal 11 bulan 11 tahun 2011 itu, masyarakat Manado pun berbondong-bondong memadati pusat perbelanjaan itu.
Tetapi nihil. Iming-iming potongan harga besar-besaran itu pun tak ada. Iklan yang dipublikasikan, tak sesuai kenyataan.
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sulawesi Utara menyatakan tindakan yang dilakukan manajemen IT Center Manado telah melanggar Undang-undang No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen. Iklan itu dianggap menyesatkan konsumen. Gugatan ke pengadilan pun dilayangkan oleh YLKI.
Iklan yang dilebih-lebihkan dan tidak jujur sebenarnya tak hanya merugikan konsumen, tetapi juga produsen. Terlebih mereka yang menyasar konsumen berpendidikan menengah ke atas. Konsumen tipe ini akan lebih cerdas dalam menyerap isi iklan.
Dari survei yang dilakukan MARS terhadap masyarakat usia 26 hingga 34 tahun, ditemukan dua kriteria iklan menarik menurut masyarakat. Pertama adalah iklan yang yang informasinya tidak dilebih-lebihkan. Lalu yang kedua adalah iklan yang jujur.
Informasi yang dilebih-lebihkan misalnya, warna kulit akan lebih cerah dua tingkat dengan pemakaian produk selama satu pekan. Atau iklan produk sampo yang menjamin dengan memakai produk itu, rambut tidak akan lepek walaupun terkena panas dan debu jalanan. Padahal semahal dan sebagus apapun sampo yang dipakai, kalau terpapar panas, berkeringat, pakai helm, dan terkena debu, rambut ya pasti lepek.
Survei tersebut dilakukan MARS tahun lalu dengan jumlah responden 1665 orang. Wilayah penelitian mencakup Jakarta, bandung, Semarang, Surabaya, dan Medan. Sebanyak 85 persen responden menilai iklan yang menarik adalah iklan yang informasinya tidak dilebih-lebihkan.
Untuk meminimalkan kebohongan lewat iklan, Google AdWords juga memiliki aturan khusus soal ini. Google Adwords adalah sebuah strategi pemasaran periklanan baru yang menggunakan mesin pencari Google sebagai saran beriklan. Ia biasa disebut pemasaran berbasis mesin pencari.
“Kami tidak ingin pengguna merasa ditipu oleh iklan yang kami tayangkan, dan itu berarti iklan harus terbuka, jujur, dan memberikan informasi yang dibutuhkan untuk mengambil keputusan,” tulis Google dalam aturan periklanannya.
Google tidak akan mengizinkan pengiklan yang meminta pengguna melakukan pembelian, pengunduhan, atau komitmen lainnya tanpa terlebih dulu memberikan semua informasi yang relevan dan mendapatkan izin yang jelas dari pengguna. Ia juga tidak mengizinkan promosi yang informasinya tidak akurat, tidak realistis, dan tidak jujur.
Pengiklan harus menjamin bahwa informasi yang diberinya sudah lengkap. Misalnya, ia harus menggambarkan secara jelas dan gamblang model pembayaran dan biaya-biaya yang akan ditanggung pengguna. Untuk bisnis jasa keuangan, kontak fisik yang sah juga harus ditampilkan.
Selain itu, pengiklan di Google AdWords juga tidak boleh menjanjikan produk atau layanan atau penawaran promosi apapun yang tidak lagi tersedia. Pengiklan yang mempromosikan produk yang sudah tak ada dalam stok atau harga yang tidak akurat, tidak akan diizinkan.
Google juga menghindari konten yang menyesatkan. Ini semacam pernyataan yang salah tentang indentitas atau kualifikasi si pengiklan. Iklan-iklan dengan klaim palsu yang tidak masuk akal tidak akan diberi tempat.
Klaim-klaim keunggulan yang biasanya menggunakan kata terbaik, lebih baik, lebih cepat, tanpa adanya verifikasi dari pihak ketiga juga tak diizinkan. Jadi penyedia jasa pijat keliling, misalnya, tak bisa mengklaim jasanya terbaik di dunia jika tak ada sertifikasi atau penghargaan apa-apa.
Jika kebijakan itu tak diikuti, Google akan menangguhkan situs atau akun sampai hal yang menjadi masalah diperbaiki.
Di televisi, iklan-iklan dengan klaim sepihak seringkali muncul. Misalnya klaim bahwa sembilan dari sepuluh wanita Indonesia menggunakan pembalut A. Atau tujuh dari 10 penduduk Indonesia minum minuman B setiap hari. Klaim-klaim yang entah benar entah tidak.
Harusnya setiap media tempat iklan itu ditayangkan memiliki kebijakan tentang kejujuran pesan dalam iklan. Jangan beri tempat bagi iklan-iklan yang tak jujur.
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti