tirto.id - Januari lalu, Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengeluarkan aturan larangan perjalanan ke AS untuk tujuh negara berpenduduk mayoritas Islam: Iran, Iraq, Libya, Somalia, Sudan, Suriah, dan Yaman. Keputusan itu spontan mengundang respons. Presiden yang memang kurang populer di negaranya ini lebih banyak menuai protes.
Sebelum akhirnya dibatalkan oleh pengadilan, larangan perjalanan oleh Trump ini didemo di sejumlah negara bagian. Salah satu demo yang paling massif dilakukan di New York. Sebagai tanda tak setuju dengan aturan rasis dari sang presiden, Aliansi Supir Taksi New York juga ikut melakukan protes. Agar masa lebih ramai, dan pemerintah sadar kalau protesnya serius, para supir taksi itu sepakat untuk tidak mengangkut penumpang selama protes berlangsung. Seperti dikutip dari The Guardian, Aliansi itu mengumumkan keputusannya melalui Twitter mereka.
Tak dinyana, keputusan para supir taksi reguler itu dimanfaatkan Uber, aplikasi tumpangan panggilan, untuk meraup keuntungan. Lewat Twitter pula, mereka mengumumkan kalau ‘Tarif Jam Sibuk’—sebuah aturan tentang harga Uber yang lebih mahal di jam-jam tertentu—sudah dicabut di area sekitar Bandara JFK, tempat demo berlangsung. Bukannya untung, Uber rupanya buntung.
Keputusan mereka berjualan di saat itu ternyata dianggap para konsumen sebagai tindakan implisit mendukung Trump. Tanda pagar #DeleteUber mendadak marak di Twitter. Seperti dilaporkan The Guardian, lebih dari 200 ribu orang menghapus akun Uber mereka sebagai tanda protes.
Buntungnya Uber dimaanfaatkan tumpagan panggilan lainnya, Lyft. Untuk pertama kalinya pengguna Lyft melonjak melebihi pengguna Uber di New York, karena CEO Lyft Logan Green mendonasikan $1 juta untuk American Civil Liberties Union (ACLU), sebuah organisasi sayap kiri AS yang sudah berumur lebih dari seabad.
Padahal sebelum kejadian ini, banyak orang yang bahkan tak tahu apa itu Lyft. Termasuk, Alex Holder, kolumnis di The Guardian. Menurutnya, yang dilakukan para jenama ini tak salah karena mereka memang melakukan hal-hal baik, meski di saat yang sama juga ingin konsumennya tahu kalau mereka dermawan. Intinya, susah melepaskan fakta kalau perilaku dermawan ini juga bagian dari teknik pemasaran.
Tak hanya Lyft yang menjadikan aktivisme sebagai bahan dagangan. Sepanjang 2016 lalu, saat AS disibukkan pemilu presiden mereka yang panas, Honey Maid sebuah merek dagang roti, mengeluarkan sejumlah iklan dalam format video durasi 40 detik hingga 1,5 menit tentang muslim minoritas, kesetaraan gender, keselamatan kerja, dan jaminan masa tua.
“Kami melihat perubahan pada masyarakat sepanjang waktu, karena kami pikir penting untuk mencerminkan dunia hari ini. Dan untuk masuk ke dalam penampang keluarga-keluarga unik yang membentuk masyarakat Amerika,” kata Katrina Plummer, Equity Brand Manager dari Honey Maid kepada Adweek. Maka lewat pariwara, Honey Maid ingin ikut membantu menurunkan ketegangan isu rasis yang meningkat selama 2016.
Selain Honey Maid, jenama-jenama besar lainnya juga melakukan hal yang sama; Patagonia menutup semua gerainya saat pemilu untuk mengampanyekan pentingnya mencoblos dan tidak golput; Amazon bikin iklan tentang indahnya keberagaman yang diperankan sepasang pendeta dan imam tua yang bersahabat; Youtube mengeluarkan video berdurasi 45 detik dengan judul Afsa’s Theme.
Ceritanya tentang seorang muslimah Amerika yang mendengarkan lagu rap dan ikut menyanyikannya saat berjalan di koridor sekolahnya; Chevrolet mengangkat sepasang anak kembar—muslim—yang tinggal di Los Angeles: Ruqaya dan Qassim yang jatuh cinta pada sepakbola diangkat Chevrolet jadi dutanya; Microsoft mengangkat cerita orang-orang minoritas: perempuan, muslim, LGBT, kulit berwarna, pengungsi dan lainnya untuk menunjukkan indahnya keberagaman. Sementara Covergirl, selain melantik duta pria pertamanya, kemudian merekrut Nura Afia sebagai ambasador muslim pertamanya, November lalu.
Iklan-iklan ini menggambarkan betapa semaraknya para pembuat iklan mengangkat isu-isu aktivisme jadi bahan dagangan.
Sebelum aktivisme, seks juga sempat jadi unsur andalan dalam macam-macam iklan dari macam-macam produk. Istilah ‘Sex Sells’ alias ‘Seks itu Menjual’ memang sudah berumur lebih panjang. Alesia Hsiao dari Business.com menyebut seks sebagai alat pemasaran sudah ada sejak 1871, saat Pearl Tobacco memasang gambar wanita telanjang di kemasan rokoknya.
Teknik pemasaran ini terbukti ampuh meningkatkan laba penjualan. Salah satu contoh merek yang masih kerap menjual produknya dengan bumbu-bumbu seks adalah parfum Axe. Setahun setelah kampanye “The Axe Effect,” penjualan mereka naik 14 persen. Merek lain di bidang serupa, Procter & Gamble's Old Spice juga mengalami kenaikan penjualan sampai 117 persen, setelah merilis kampanye “Smell Like A Man, Man” yang juga menjual tubuh atletis model-model pria.
Tapi, semenjak istilah ‘jadilah diri sendiri’ dan ‘kau cantik sebagaimana dirimu’ populer dalam beberapa dekade terakhir, teknik jualan lewat seks mulai luntur. Kampanye-kampanye sosial tentang tidak baiknya stereotip semakin marak. Membuat para konsumen sadar kalau iklan-iklan yang menjual seks cenderung membentuk stereotip sendiri kalau cantik atau tampan itu harus tinggi, putih, langsing, atletis, mancung, dan semacamnya. Ini pula yang membuat aktivisme mulai dilirik para tenaga pemasaran sebagai alat baru dagang.
Sejumlah jenama besar sudah lebih dulu melihat celah ini. Pepsi misalnya pada 2010 silam. Mereka memberikan penghargaan senilai $20 juta bagi individu ataupun sekelompok orang yang dianggap berdampak positif pada lingkungannya. Tebak dari mana uang sebanyak itu? Ya dari anggaran pemasaran.
Dove sebuah merek kosmetik turunan dari Unilever bahkan sudah lebih dari 12 tahun, mengiklankan wanita sehari-hari—sebutan untuk para wanita yang bekerja regular, selain selebritas dalam kesehariannya—sebagai duta produknya dalam kampanye “Dove Real Beauty”.
Manoj Fenelon, seorang Konsultan Periklanan dan Ahli Pemasaran, mengkaji kesuksesan aktivisme sebagai daya jual karena masyarakat akhirnya merasa punya pengaruh melalui uangnya. Dalam arti, mereka merasa bisa ikut mengatur apa yang mereka inginkan dan tidak inginkan dari produk yang biasanya dilanggani.
Tapi, “Ada satu kegelisahan yang kurasakan melihat fenomena ini,” katanya pada AJ+. Ia takut kalau kebiasaan memasukan aktivisme ke dalam dagangan pemasaran akan menciptakan presepsi baru, kalau satu-satunya cara melakukan aktivisme hanya untuk memasarkan sesuatu.
“Yang saya pikir, [itu] adalah pandangan menyedihkan bagi dunia,” tutup Fenelon.
Penulis: Aulia Adam
Editor: Maulida Sri Handayani