tirto.id - Iskandar selalu mengingat kisah ini dengan baik, dan kerap diceritakan ke para koleganya. Pada 1984, lelaki yang sekarang menjabat sebagai manajer senior Djarum ini mendengarkan presentasi Suwarno Serad, seniornya. Saat itu, Suwarno memperkirakan akan ada perubahan tren rokok dalam dua dekade mendatang. Menurut Serad yang merupakan lulusan Institut Teknologi Bandung, hal ini disebabkan oleh berubahnya pola makan manusia Indonesia. Jika dulu yang mendominasi adalah karbohidrat, sekarang digeser oleh protein.
"Orang yang suka makan daging dan ikan cenderung menyukai rokok ringan," kata Serad kala itu.
Ternyata perubahan itu tidak butuh waktu lama. Sejak 1985, permintaan rokok putihan dan mild mulai menanjak. Rokok putihan adalah istilah untuk menyebut rokok tanpa cengkeh. Sedangkan mild, masih tetap memakai cengkeh, alias masuk dalam kategori kretek. Persamaannya: dua-duanya memakai tembakau Virginia FC. Tembakau ini memiliki karakter daun tipis, elastis, dengan kadar gula yang tinggi dan kadar nikotin rendah.
Pada pertengahan dekade 80, Bojonegoro, Jawa Timur, adalah penghasil tembakau Virginia terbesar di Indonesia. Karena permintaan rokok putih dan mild meningkat, banyak perusahaan rokok besar mulai mencari lahan untuk jadi areal penanaman Virginia. Salah satunya adalah Djarum. Yang diutus untuk survei adalah Iskandar.
Iskandar berkeliling ke Bondowoso, Ponorogo, Jember, Bali, hingga Lombok. Menurut pengamatan Iskandar, wilayah paling ideal adalah dua daerah terakhir. Tetapi Bali tidak memungkinkan karena lahannya sempit dan sudah didominasi anggur, selain lebih mengutamakan kepentingan pariwisata ketimbang pertanian dan perkebunan. Akhirnya Lombok yang dipilih. Sewaktu awal bekerja, Iskandar mengalami banyak kesulitan. Antara lain karena infrastruktur yang minim, tenaga kerja juga sedikit.
"Setiap musim panen saya sering menginap di rumah petani untuk membimbing mereka melakukan pengovenan," kata Iskandar.
Kerja keras memang tak pernah mengkhianati. Pada 1990, dari segi kuantitas maupun kualitas produksi, tembakau Virginia di Lombok sudah menyalip Bojonegoro. Virginia yang ditanam di Lombok bahkan diakui kualitasnya di jagat pertembakauan internasional.
Kini tembakau Virginia jadi bintang di Indonesia. Analisis Suwarno benar. Meski tren rokok putihan sudah menurun --sekarang hanya tinggal 6 persen dari pangsa pasar rokok Indonesia-- tembakau yang populer sejak Perang Sipil di Amerika ini masih jadi bahan baku rokok mild, yang sekarang menjadi penguasa pasar.
Kenapa Masih Impor
Beberapa waktu lalu ada heboh soal usul kenaikan harga rokok jadi Rp50 ribu per bungkus. Keriuhan ini kemudian menyeret isu lain: impor. Beberapa orang politikus menyebut impor tembakau mencapai angka Rp200 triliun. Angka yang sebenarnya tak masuk akal. Sebab jika merujuk pada angka yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik, pada 2013 Indonesia mengimpor sekitar 121 ribu ton tembakau dengan nilai 627 juta dolar. Kalau dikalikan dengan kurs Rp13 ribu, artinya impor tembakau pada 2013 bernilai Rp8,1 triliun. Apa mungkin kemudian melonjak jadi Rp200 triliun dalam waktu 3 tahun, padahal jumlah impor tembakau tidak berbeda jauh.
Pertanyaannya: kenapa kita masih mengimpor tembakau? Perlukah kita mengimpor tembakau? Sayang sekali, jawabannya masih. Yang mungkin kerap dilupakan orang adalah, impor tembakau dilakukan karena banyak faktor. Lebih pelik ketimbang yang kerap dipikir oleh masyarakat.
Alasan pertama kenapa Indonesia masih mengimpor tembakau adalah alasan klasik ekonomi: penawaran dan permintaan. Kondisinya adalah produksi tembakau kita stagnan, sementara kebutuhan selalu naik. Menurut Asosiasi Petani Tembakau Indonesia, tahun 2015 produksi tembakau mencapai angka sekitar 170 ribu ton. Sedangkan Kementerian Pertanian punya data lain. Menurut mereka, pada 2015 Indonesia menghasilkan sekitar 202 ribu ton.
Di satu sisi, permintaan rokok terus naik. Kementerian Perindustrian memperkirakan kebutuhan konsumsi rokok naik antara 5 hingga 7 persen setiap tahun. Pada 2015, produksi rokok berkisar di angka 398 miliar batang. Pada 2016 diperkirakan akan jadi 421 miliar batang. Pada 2020, angka ini diperkirakan akan naik jadi 524 miliar batang.
Untuk jumlah rokok sebanyak itu, paling tidak industri rokok butuh tembakau lebih dari 300 ribu ton. Karena kekurangan bahan baku, wajar kalau pabrikan rokok mengimpor tembakau. Menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution, angka impor tembakau mencapai 42 persen dari kebutuhan tembakau Indonesia.
Selain itu, tidak semua hasil tembakau Indonesia diserap untuk penggunaan dalam negeri. Indonesia juga dikenal pengekspor tembakau. Menurut Badan Pusat Statistik, pada 2014 ada sekitar 17 ribu ton tembakau yang diekspor. Pasar tujuan utamanya adalah Amerika Serikat. Tahun lalu negara Paman Sam ini mengimpor 2.624 ton tembakau Indonesia.
Ada beberapa alasan kenapa produksi tembakau kita tidak mencukupi untuk kebutuhan industri. Pertama, soal luasan lahan yang jalan di tempat atau cenderung menurun. Dari data Kementerian Pertanian, pada 2011 ada sekitar 228 ribu hektare lahan tembakau. Pada 2015, lahan itu susut menjadi 218 ribu hektare.
Tentu penambahan areal penanaman tembakau tidak mudah dilakukan begitu saja karena tembakau tidak bisa ditanam di sembarang tempat. Beda varietas, beda pula tanah yang dibutuhkan. Untuk tembakau Virginia, yang dibutuhkan adalah tanah regosol, aluvial, dan sejenisnya. Sedangkan untuk tembakau jenis Burley (sejenis Virginia, juga dipakai untuk rokok mild dan putihan, hanya kalah di aroma) hanya bisa ditanam di tanah regosol dan andosol.
Selain itu, yang tidak banyak diketahui masyarakat adalah: impor tembakau ini juga berkaitan dengan selera pasar. Saat ini pasar sedang menghendaki rokok mild. Karena itu yang dibutuhkan adalah tembakau Virginia yang karakteristiknya ringan dan manis.
"Kenapa mild, ada banyak teori soal ini. Ada yang menganggap rokok mild lebih sehat karena rendah nikotin. Kedua karena gaya hidup yang menganggap mild itu lebih modis. Pada permintaan rokok mild itu, tembakau impor menemukan konteksnya," ujar Puthut EA, peneliti kretek.
Saat ini sebagian besar tembakau yang diimpor memang jenis yang dibutuhkan untuk rokok mild dan putihan, yakni Virginia. Varietas ini kebanyakan didatangkan dari Amerika Serikat dan juga Brazil. Dari impor tembakau yang berkisar 160 ribu hingga 180 ribu ton per tahun, sekitar 150 ribu ton di antaranya adalah jenis Virginia.
Virginia sudah ditanam di Indonesia, walau tentu hasilnya belum mencukupi kebutuhan pasar. Lombok, Nusa Tenggara Barat, adalah daerah yang menjadi sentra pertanian tembakau Virginia terbesar di Indonesia. Luas lahan perkebunan tembakau Virginia di sana berkisar 18 ribu hektare.
"Menurut data Dinas Perkebunan, produksi tembakau Virginia tahun ini sekitar 29 ribu ton. Prediksi kami ada di angka 32 hingga 33 ribu ton," kata Iskandar.
Pada 2012, AC Nielsen pernah merilis hasil penelitian tentang jenis rokok yang populer di Indonesia. Penjualan rokok mild Sampoerna adalah yang paling besar. Merek andalannya adalah A Mild. Dari sekitar 194 miliar batang rokok yang diproduksi Sampoerna kala itu, sekitar 100 miliarnya adalah rokok mild.
"Kalau Djarum, yang paling besar penjualannya masih Djarum Super. Untuk mild, merata. Tapi L.A Lights termasuk paling laris," kata Iskandar.
Mencari Jalan Tengah
Menurut Puthut, petani tembakau memang seharusnya mulai beradaptasi. Dari hasil penelitian Puthut selama ini, kebanyakan tembakau lokal kita tidak banyak diserap untuk rokok mild. Walau tentu masih ada tembakau lokal yang dipakai oleh industri rokok.
Puthut mengibaratkan tembakau seperti makanan. Ada nasi, lauk, sayur. Virginia yang ringan adalah sayur. Untuk melengkapinya, dibutuhkan tembakau lauk. Biasanya kadar nikotinnya lebih tinggi. Beberapa jenis tembakau lauk di Indonesia adalah Srinthil dari Temanggung dan tembakau Madura. Agar semakin mantap, ada tembakau-tembakau "nasi", seperti tembakau dari Weleri (Jawa Tengah) dan beberapa tembakau dari Jawa Timur. Tapi pasar sekarang menghendaki rokok yang lebih ringan, dan tembakau yang paling banyak dibutuhkan untuk itu adalah tembakau Virginia.
"Jadi kalau tidak mau impor sebetulnya mudah. Tanam saja Virginia. Tapi semua butuh penyesuaian, termasuk penyesuaian harga," kata Puthut.
Selama ini petani tembakau di Indonesia, terutama petani di kawasan Temanggung, jarang ada yang mau menanam varietas Virginia. Sebab prosesnya lebih repot dan harganya lebih murah. Di Bojonegoro, harga tembakau Virginia rajangan adalah Rp21 ribu per kilogram. Di Lombok, harga tembakau Virginia kualitas baik berada di kisaran Rp39 ribu per kilogram.
Tentu tidak bisa dibandingkan dengan harga tembakau ultra mahal seperti srinthil yang bisa mencapai Rp1,2 juta per kilogram. Srinthil adalah tembakau langka yang hanya tumbuh di beberapa desa di Temanggung. Bahkan para petani Temanggung sendiri tidak tahu bagaimana cara memunculkan srinthil. Mereka, para petani itu, menganggap srinthil adalah pulung: berkah alam.
"Sebenarnya ini berbahaya karena petani memproduksi barang yang sudah mulai tidak disukai konsumen," kata Puthut. "Mengubah varietas itu biasa dalam dunia pertanian, seperti petani kopi robusta yang sekarang mulai menanam lagi kopi arabika karena sedang ada tren."
Di sisi lain, Asosiasi Petani Tembakau Indonesia mengeluhkan pemerintah yang dianggap membuat keputusan aneh. Tembakau impor dikenakan bebas pajak. Sementara tembakau lokal dikenakan pajak penghasilan. Dengan harga yang lebih murah, tembakau impor memang tampak lebih menguntungkan. Tapi tentu saja ini akan mematikan tembakau lokal.
Bola sekarang bergulir tak tentu arah. Pabrikan, alias industri rokok, tentu akan memilih untuk memproduksi rokok yang disukai pasar, alias mild. Sedangkan petani tembakau harus mulai memikirkan untuk menanam tembakau varietas lain, dalam hal ini adalah Virginia. Pemerintah sebagai pihak penentu kebijakan seharusnya bisa memberikan proteksi terhadap tembakau lokal. Karena tidak bisa begitu saja mengurangi impor tembakau, langkah mengenakan pajak bagi tembakau impor adalah langkah yang paling masuk akal.
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti