tirto.id - "Merokok Membunuhmu"
Peringatan di bungkus-bungkus rokok soal ancaman kematian dari kebiasaan merokok tak digubris Udi. Pria berusia 45 tahun ini adalah salah satu perokok berat. Udi yang sehari-hari bekerja sebagai buruh bangunan di Jakarta Barat, bisa menghabiskan sedikitnya sehari dua bungkus rokok merek papan atas, tak peduli harga rokok makin tinggi.
Harga rokok memang tidak terlepas dari kebijakan pemerintah yang menaikkan tarif cukai hasil tembakau (HT) hampir setiap tahun. Di era Presiden Jokowi, tarif cukai HT memang naik setiap tahun. Pada 2015, rata-rata tarif cukai HT naik 8,72 persen. Pada tahun berikutnya, rata-rata tarif HT naik 11,19 persen dan pada 2017 naik 10,54 persen. Untuk 2018, rata-rata tarif HT naik 10,04 persen.
Di atas kertas, kenaikan cukai rokok memang punya dampak pada kinerja industri ini. Pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) industri pengolahan tembakau yang kian melambat setiap tahunnya. Pada 2015, PDB industri pengolahan tembakau naik 6,24 persen, atau lebih lambat dari PDB 2014 yang naik 8,33 persen.
Perlambatan industri pengolahan tembakau kembali berlanjut pada 2016. BPS mencatat PDB industri pengolahan tembakau pada tahun itu hanya naik 1,58 persen. Pada 2017, PDB industri pengolahan tembakau hanya tumbuh 0,84 persen.
Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) menilai banyak faktor yang membuat lesunya industri rokok, mulai dari kenaikan tarif cukai, daya beli hingga aturan larangan merokok. “Namun memang kenaikan tarif cukai ini dampaknya paling terasa ke seluruh lapisan (pabrik rokok), baik perusahaan besar maupun kecil. Dua tahun terakhir ini, volume produksi rokok terkoreksi 2 persenan,” kata Ketua Gaprindo Muhaimin Moefti kepada Tirto.
Data-data BPS dan hitungan pelaku usaha menggambarkan industri rokok memang cukup suram beberapa tahun terakhir. Namun, kenyataannya bila ditelaah lebih jauh, industri pengolahan tembakau, khususnya perusahaan rokok skala besar masih mencatatkan laba sepanjang 2017. Beberapa di antaranya bahkan berhasil meraup pertumbuhan laba bersih hingga dua digit.
Saat ini, sebanyak empat emiten rokok tercatat di Bursa Efek Indonesia, yakni PT Wismilak Inti Makmur Tbk. (WIIM), PT Bentoel Internasional Investama Tbk. (RMBA), PT Gudang Garam Tbk. (GGRM), dan PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk. (HMSP).
Dari empat emiten rokok itu, hanya satu emiten yang mencatatkan rugi bersih yakni Bentoel Internasional. Emiten yang dikendalikan British American Tobacco ini membukukan rugi Rp480,06 miliar sepanjang 2017, membaik dari rugi 2016 senilai Rp2,08 triliun.
Padahal dari sisi penjualan, kinerja Bentoel cukup positif. Perusahaan meraup Rp20,25 triliun, tumbuh 5,35 persen dari sebelumnya Rp19,22 triliun. Sayangnya, perseroan tertekan dari sisi beban penjualan dan beban operasi. Beban pokok penjualan Bentoel tercatat Rp18,16 triliun naik 6,19 persen dari sebelumnya Rp17,10 triliun. Sementara beban operasi tercatat Rp2,41 triliun, atau turun 16 persen dari sebelumnya Rp2,87 triliun.
Emiten dengan kinerja laba bersih paling ciamik ditorehkan Gudang Garam. Perusahaan yang didirikan oleh Tjoa Jien Hwie atau Surya Wonowidjoyo ini, sepanjang tahun lalu mencatatkan laba bersih Rp7,75 triliun, naik 16 persen dari Rp6,67 triliun di 2016.
Pertumbuhan laba bersih hingga dua digit didorong dari penjualan rokok yang tumbuh 9,21 persen menjadi Rp83,30 triliun dari 2016 sebesar Rp76,27 triliun. Selain itu, beban usaha yang lebih efisien juga membuat margin keuntungan menjadi lebar.
Sampoerna, perusahaan rokok yang berdiri sejak 1913 ini membukukan kinerja penjualan agak flat sepanjang 2017. Emiten yang dikuasai PT Philip Morris Indonesia ini meraup penjualan sebesar Rp99,09 triliun, naik 4 persen.
Meski penjualan tumbuh, kinerja laba bersih Sampoerna justru melorot. Perusahaan meraup laba bersih sebesar Rp12,67 triliun atau turun tipis 1 persen dari laba bersih 2016 senilai Rp12,76 triliun.
Wismilak menjadi satu-satunya emiten rokok yang nilai penjualannya tergerus sepanjang 2017. Penjualan rokok perseroan di 2017 tercatat sebesar Rp1,47 triliun, turun 12 persen dari tahun sebelumnya Rp1,68 triliun.
Akibat penjualan yang turun, laba bersih Wismilak anjlok hingga 62 persen menjadi Rp40,58 miliar dari laba bersih tahun sebelumnya sebesar Rp106,29 miliar. Laba per saham pun ikut anjlok menjadi Rp19,30 per saham dari sebelumnya Rp50,56 per saham.
Artinya perusahaan rokok besar masih bisa mengimbangi tekanan pada industri, dengan kinerja keuangan yang masih tetap terjaga, dan sangat tergantung strategi masing-masing perusahaan melakukan efisiensi.
Masih Laba dari Efisiensi
Ada beberapa fakta soal kondisi terkini industri rokok, di atas kertas memang mengalami perlambatan kontribusi pertumbuhan terhadap ekonomi, di sisi lain, kinerja keuangan perusahaan rokok masih ada yang tumbuh dan mencetak laba yang tak sedikit. Seolah tekanan seperti kampanye anti rokok hingga tekanan tarif cukai tak terlalu berpengaruh.
Kondisi demikian bisa jadi karena faktor skala bisnis masing-masing perusahaan rokok, yang menentukan sejauh mana mereka bertahan dan masih menikmati gurihnya pasar rokok. Bagi perusahaan rokok dengan merek yang kuat relatif tidak terlalu terpengaruh, tapi bagi industri kecil bisa jadi sebaliknya.
“Kenaikan tarif cukai ini, memang membuat pemain kecil terhantam, banyak yang gulung tikar, sehingga pangsa pasarnya berpindah ke pemain besar,” kata Alfred Nainggolan, Kepala Riset Koneksi Capital, kepada Tirto.
Apa yang disampaikan Alfred bisa jadi benar adanya. Pasalnya, produksi hasil tembakau hanya turun 1,71 persen sepanjang 2017 menjadi 336 miliar batang dari tahun sebelumnya sebanyak 342 miliar batang.
Dari empat emiten rokok yang ada, hanya Gudang Garam yang mencatatkan penjualan dan laba bersih, secara bersamaan mengalami pertumbuhan. Kenapa perusahaan rokok besar masih kinclong kinerjanya?
Tantangan perusahaan rokok untuk menjaga kinerja laba tetap positif memang tidak mudah. Efisiensi operasional menjadi kunci agar perusahaan rokok tetap memperoleh laba. Beberapa tahun sebelumnya beberapa pabrikan rokok skala besar melakukan rasionalisasi karyawan demi efisiensi.
Selain itu, bagi perusahaan besar dengan modal besar, produksi rokok biasanya lebih banyak dilakukan dengan mesin. Selain waktu produksi yang lebih cepat, operasional produksi pun juga lebih efisien ketimbang menggunakan tenaga manusia.
Gudang Garam adalah contoh emiten dengan biaya operasional yang cukup efisien. Dari total penjualan Rp83,30 triliun, sekitar 90 persen atau Rp74,85 triliun disumbang oleh rokok produksi mesin. Sementara rokok buatan tangan hanya 9 persen atau Rp7,26 triliun.
“Ke depannya, peluang laba tumbuh itu memang dari efisiensi karena untuk mendongkrak volume penjualan agak berat. Selain itu mungkin terbantu juga dari tergerusnya pangsa pasar industri kecil,” kata Alfred.
Perusahaan rokok terutama skala besar masih mampu meraup keuntungan meski ada tekanan bagi industri ini. Selain efisiensi industri, loyalitas perokok garis keras yang masih setia membeli, juga tak bisa dipungkiri melanggengkan bisnis produsen rokok.
Penulis: Ringkang Gumiwang
Editor: Suhendra