tirto.id - Kemenangan Donald Trump dalam Pilpres AS 2024 ternyata tidak sepenuhnya memberi keuntungan kepada Elon Musk. Kendati telah dijanjikan satu jabatan penting dalam kabinet Trump, yang berpotensi memberi keuntungan pada bisnis-bisnisnya, Musk tetap mengalami kerugian dalam wujud eksodus sejumlah jenama dari media sosial miliknya, X (Twitter).
Ada kekhawatiran besar di kalangan jenama terkemuka bahwa Musk telah membuat X menjadi sebuah tangki septik bagi para ekstremis kanan. Standar moderasi yang melemah membuat ujaran kebencian bernada SARA merajalela sejak X diakuisisi oleh Musk. Kemenangan Trump diperkirakan bakal membuat itu semua kian menjadi-jadi.
Selama bertahun-tahun, Twitter menjadi semacam "alun-alun digital". Segala informasi, diskusi publik, serta interaksi dari berbagai institusi dan jenama, terjadi secara real time. Meskipun jumlah pengguna aktifnya berangsur-angsur menurun, pelantar yang satu ini tetap memegang peranan krusial dalam pembentukan narasi serta opini publik.
Namun, akuisisi X oleh Elon Musk membuat semua itu justru menjadi senjata bagi para ekstremis sayap kanan yang doyan menyebar disinformasi serta ujaran kebencian. Pertama, karena moderasi konten benar-benar dilonggarkan, terbukti dengan pemutusan hubungan kerja besar-besaran yang dialami tim moderasi. Kedua, Musk memutuskan untuk menghidupkan kembali akun-akun yang dulunya dimatikan, termasuk akun milik Trump.
Menurut Musk dan para fanboy fasisnya, langkah-langkah ini merupakan wujud pengembalian "kebebasan berbicara" di X. Namun, kebebasan berbicara ini berstandar ganda karena berbagai kata kunci yang biasa diutarakan "lawan-lawan politik" kaum ekstrem kanan justru acap disensor. Misalnya, mengetik kata cisgender di kolom komentar cuitan Musk akan membuat seorang pengguna mendapatkan peringatan.
Dengan kata lain, Musk hanya mengakomodasi kaum pendukung Trump. Hal ini dikarenakan kemenangan cameo di film Home Alone 2 tersebut dalam Pilpres AS 2024 bakal membuatnya makin leluasa menjalankan bisnis.
Ironisnya, langkah Musk tersebut tidak bisa pula dipandang cerdas dari segi bisnis. Semakin maraknya konten-konten tak senonoh membuat jenama-jenama besar, macam Apple, Disney, Paramount, dan IBM, ogah mempromosikan produk-produknya lagi di X. Pada November 2023, laporan The New York Timesmenyebutkan lebih dari 100 jenama yang menyetop aktivitas promosinya di X. Ini membuat X merugi kurang lebih 75 juta dolar AS hingga akhir tahun.
Setelah Trump resmi menang, jenama yang mundur dari X pun semakin banyak. Kebanyakan di antaranya mengasosiasikan X sebagai pelantarnya kaum ekstrem kanan yang menyukai teori konspirasi, rasis, misoginis, dan tak segan melontarkan ancaman. Parahnya, dalam daftar jenama tersebut ada setidaknya dua media besar, yakni NPR dan The Guardian.
Tak cuma itu, dua klub Bundesliga Jerman, St. Pauli dan Werder Bremen, juga sudah mengumumkan bahwa mereka telah meninggalkan X, yang mereka sebut sebagai "mesin kebencian". Ini agak lucu sebenarnya karena kedua klub (bersama sejumlah klub Jerman lainnya) mendukung genosida yang dilakukan Israel di Gaza. Namun, terlepas dari itu, memang ada alasan kuat di balik pernyataan tersebut.
Hilangnya pengiklan serta jenama-jenama berprofil tinggi tak bisa dimungkiri sebagai pukulan telak bagi X, baik secara finansial maupun reputasi. Musk, dalam forum The New York Times DealBook Summit 2023, pernah menanggapi hilangnya pengiklan dengan umpatan go f**k yourself. Padahal, itu jelas merupakan persoalan serius mengingat besarnya jumlah kerugian. Ditambah lagi, reputasi negatif X di dunia Barat membuat citra Musk terus memburuk. Dia bukan lagi sosok genius dari Silicon Valley, melainkan miliarder ekstrem kanan yang berbahaya.
Pelantar Bisnis Bukan Hanya X
Di tengah kemerosotan X, sejumlah platform alternatif telah muncul sebagai pilihan menarik. Masing-masing menawarkan fitur unik sesuai audiensnya. Selain itu, mereka berbagi tujuan sama: menciptakan ruang digital yang lebih stabil dan inklusif.
Salah satu pesaing utama X adalah Threads, yang diluncurkan oleh Meta sebagai "Instagram versi teks". Threads menawarkan transisi mulus bagi pengguna yang sudah terhubung dalam ekosistem Meta dan memprioritaskan regulasi konten untuk menciptakan lingkungan lebih aman. Basis penggunanya berkembang pesat, sebagian besar karena integrasinya dengan Instagram dan daya tariknya bagi jenama yang mencari stabilitas.
Bluesky, platform terdesentralisasi yang didirikan oleh salah satu pendiri Twitter, Jack Dorsey, juga menjadi sorotan. Dibangun di atas protokol AT, Bluesky menekankan transparansi, kendali pengguna, dan keadilan algoritmik. Antarmuka sederhana dan komitmennya terhadap desentralisasi menarik pengguna yang mencari awal baru, termasuk klub sepak bola St. Pauli. Semenjak Trump menang, jumlah pengguna Bluesky melonjak jadi 22 juta orang.
Ada pula Mastodon, jaringan open source yang mendahului beberapa platform alternatif lain. Strukturnya yang terdesentralisasi memungkinkan pengguna bergabung dengan "instance" tertentu, masing-masing dengan aturan dan budaya sendiri. Meski berpotensi terasa rumit bagi pendatang baru, sifat desentralisasi Mastodon justru menjadi daya tarik bagi komunitas yang menghargai kustomisasi dan moderasi lokal.
Platform kecil lainnya juga mulai menemukan ceruknya. Post.news, misalnya, menarget para profesional dan pencinta berita dengan fokus pada konten berkualitas dan diskusi yang sopan. Spill, yang dikembangkan oleh mantan karyawan Twitter, menonjolkan inklusivitas dan kreativitas, dengan perhatian khusus pada komunitas terpinggirkan. Sementara itu, Substack Notes menawarkan perpanjangan dari platform nawalanya yang populer, menyediakan ruang bagi penulis dan penerbit untuk berinteraksi dengan audiens.
Jenama Besar Telah Menemukan Suaka Baru
Migrasi ke platform alternatif tidak hanya tentang menghindari kontroversi. Ini mencerminkan strategi diversifikasi yang lebih luas. Setelah cabut dari X, jenama-jenama besar mulai mempertimbangkan untuk mencari ruang yang selaras dengan nilai-nilai mereka, menawarkan keterlibatan target audiens, dan meminimalkan risiko reputasi.
Instagram dan Threads telah menjadi pilihan populer untuk mempertahankan basis pengikut yang besar dan proaktif. Sementara itu, platform seperti Bluesky dan Mastodon memungkinkan interaksi lebih terarah dan terkontrol.
Namun, transisi ke pelantar baru ini bukannya tanpa tantangan. Sejauh ini belum ada yang berhasil mencapai skala, kecepatan, atau relevansi budaya, yang pernah dimiliki X. Selain itu, fragmentasi audiens di berbagai platform mempersulit upaya membangun komunitas daring yang kohesif. Jenama sekarang harus menavigasi ekosistem digital yang lebih kompleks, menyeimbangkan kehadiran di berbagai platform, sambil memastikan konsistensi pesan mereka.
Meski begitu, kebangkitan alternatif ini menghadirkan peluang potensial. Dengan terus berinovasi, platform macam Thread dan Bluesky dapat secara kolektif mengubah cara merek mendekati keterlibatan digital. Diversifikasi platform juga mendorong persaingan, yang pada akhirnya memacu pengembangan fitur baru dan praktik moderasi yang lebih baik.
Eksodus dari X dan kebangkitan platform alternatif merepresentasikan titik balik dalam evolusi media sosial. Selama bertahun-tahun, Twitter mendominasi lanskap digital sebagai alat komunikasi dan pemasaran yang tak tergantikan. Namun, seiring meningkatnya kekhawatiran atas moderasi konten, ujaran kebencian, dan tata kelola pelantar, banyak pengguna dan jenama menuntut perubahan.
Transformasi ini menandai pergeseran menuju ekosistem digital yang lebih terdesentralisasi dan beragam. Arah perubahannya, apakah mengarah pada lingkungan daring yang lebih sehat dan inklusif atau justru menghasilkan fragmentasi lanjutan, masih perlu dilihat. Namun, satu hal yang jelas, kini tak ada satu pun platform yang menghegemoni. Pengguna memiliki jauh lebih banyak alternatif untuk menikmati alam digital yang benar-benar sesuai dengan keinginan mereka.
Penulis: Yoga Cholandha
Editor: Fadli Nasrudin