tirto.id - Ketua Dewan Pers, Yosep Adi Prasetyo mengimbau kepada seluruh rektor di Indonesia agar menghargai dan memberikan ruang untuk kebebasan berekspresi bagi Pers Mahasiswa di Indonesia.
"Kebebasan berekspresi yang seharusnya di lindungi oleh pak rektor, tapi sering kali rektor yang mengeluarkan biaya [malah] enggak suka dengan isinya [konten medianya]," kata Yosep saat ditemui di Dewan Pers, Jakarta Pusat, pada Rabu (10/4/2019).
Yosep juga menyinggung masalah yang terjadi di Universitas Sumatera Utara (USU). Yosep menyampaikan, bagaimana pihak rektor tidak menyukai kontennya, namun justru mengambil langkah untuk mengganti semua anggota persnya.
Kasus ini bermula saat pers mahasiswa Suara USU mengunggah cerita pendek “Ketika Semua Menolak Kehadiran Diriku di Dekatnya”. Akibatnya, Pengurus Suara USU dipanggil oleh Rektor USU, Runtung Sitepu dan meminta cerita fiksi itu dihapus karena dianggap "mempromosikan" LGBT. Setelah itu, rektor memecat seluruh pengurus pers mahasiswa Suara USU.
Selain kasus itu, Yosef juga menyinggung kasus yang terjadi pada LPM Lentera, Universitas Kristen Satya Wacana di Salatiga, yang mengalami pembredelan. Lentera yang diterbitkan pada Oktober 2015 ditarik rektorat dan polisi lantaran menuliskan tentang peristiwa 1965 di Salatiga.
"Nah, orangnya dilaporkan kepada polisi. Kami surati, kami katakan, 'enggak bisa loh' [dilaporkan ke polisi]. Orang yang juga menjalankan pekerjaan jurnalistik meskipun dia bukan wartawan itu dilindungi sebetulnya," jelas Yosep.
Atas dua kasus itu, Yosep menegaskan bahwa pers mahasiswa tidak boleh sampai ditarik ke hukum pidana. "Peranan kebebasan pers mahasiswa itu ada di dalam ranah pembinaan rektor dan pimpinan kampus," kata Yosep.
"Nah, kami ngomong, jangan dikriminalkan, jangan dipidanakan, dan seterusnya," tambahnya.
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Alexander Haryanto