tirto.id - Denmark datang ke Rusia dengan kepala tegak. Pada ranking FIFA mereka ada di urutan ke-12, lebih baik ketimbang Inggris, Uruguay, Swedia, Australia, Kroasia atau Meksiko. Dalam konteks Eropa, Denmark menjadi tim terbaik kedelapan.
Sejak 11 November 2016, Denmark belum pernah terkalahkan di kualifikasi Piala Dunia atau laga ujicoba. Dari 15 pertandingan, 8 di antaranya menang dan 7 imbang. Mereka mampu menahan imbang Jerman 0-0 dan menang 2-0 dari Meksiko. Di fase kualifikasi, Denmark bahkan mampu membantai Polandia 4-0 serta Irlandia 5-1.
Penampilan impresif Denmark tak lepas dari peran pelatih anyar Åge Hareide yang mengakhiri periode panjang kepemimpinan Morten Olsen di kursi pelatih pada 2015 lalu. Melihat Denmark di Piala Dunia tanpa kehadiran Olsen menjadi pemandangan yang agak ganjil. Sosok ini bukan hanya pelatih, tapi juga mantan pemain dan kapten Denmark saat mengalami kejayaan 1970-an hingga 1980-an.
Sejak 2000 dia diangkat menjadi pelatih Denmark. Hampir 15 tahun ia membesut Denmark hingga tim ini seringkali dijuluki The Olsen Gang, mirip Fergie Boys di Manchester United. Olsen akhirnya mundur pada 2015 lalu. Ia mundur karena gagal membawa Denmark lolos ke putaran final Piala Eropa 2016. Olsen dan federasi sepakbola Denmark akhirnya menunjuk pelatih dari Norwegia, Åge Hareide.
Tak mudah bagi Hareide menyingkirkan pakem Olsen di timnas yang sudah mengakar puluhan tahun. Mantan pemain Manchester City ini memang mempertahankan tradisi Denmark untuk bermain menyerang. Namun ada satu hal yang ia ubah. Perubahan itu didasari oleh gagasan untuk memaksimalkan peran Christian Eriksen.
"Ketika aku melihat pemain hebat (Eriksen) aku akan memberikan dia kebebasan untuk menggunakan keahliannya," kata Hareide kepada Jyllands-Posten beberapa bulan sebelum Piala Dunia.
Troels Henriksen, jurnalis Jyllands-Posten dalam kolomnya di The Guardian, menyebut Denmark tidak mengejar penguasaan bola dengan memainkan bola-bola pendek tanpa henti. Gaya Denmark bermain langsung ke depan, agresif dan cepat -- pendeknya cenderung direct football.
Strategi ini menciptakan ruang untuk Eriksen memaksimalkan kemampuannya. Perlakukan khusus Hereide pada Eriksen terlihat saat pemain Tottenham Spurs ini bermain maksimal. Dalam 21 pertandingan di bawah Hareide, Eriksen telah mencetak 16 gol. Ini jauh dibandingkan saat Eriksen bermain di bawah arahan Olsen. Dalam 57 pertandingan di era Olsen, Eriksen hanya bisa mencetak 6 gol saja.
Bakat Terpendam yang Sudah Tercium Jauh Hari
Pada Februari 2011, saat Inggris berjumpa Denmark di Copenhagen, semua orang membincangkan debut Jack Wilshere yang saat itu baru 19 tahun. Namun bintang yang bersinar kala itu adalah Eriksen. Ia yang saat itu masih berusia 18 tahun sangat berperan membantu Denmark mengalahkan Inggris dengan skor 2-1.
Saat mengulas pertandingan tersebut, BBC menulis: "Eriksen adalah pemain paling menonjol. [...] Terus-menerus mengancam dengan umpan yang tepat, dan dia juga menunjukkan kemampuan menembak yang mematikan."
Kiprah Eriksen bersama Denmark sudah berjalan setahun sebelumnya. Pada Februari 2010, ia melakoni debut saat Denmark bersua Swiss. Ini membuatnya jadi pemain termuda yang membela timnas Denmark setelah Michael Laudrup. Ia juga jadi pemain termuda yang tampil di Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan.
Geliat Eriksen yang menghancurkan lini belakang Inggris membuat Liverpool dan Manchester City berebut menggodanya untuk pindah dari Ajax Amsterdam.
Ajax beruntung sempat mendapatkan Eriksen. Saat mendatangkan Eriksen yang kala itu masih berusia 16 tahun, Ajax sukses menelikung Chelsea dan Barcelona yang gagal memoles bakat brilian ini. Eriksen memang sempat menjalani latihan di Chelsea dan Barcelona junior selama beberapa pertandingan. Namun dua klub ini memulangkan Eriksen sebelum akhirnya Ajax menampungnya.
Eriksen adalah pria Denmark yang benar-benar terobsesi pada sepakbola sejak kecil. Ia tumbuh di kota kecil sederhana di Selat Baring, Middlefart. “Aku berumur dua tahun 10 bulan ketika bergabung dalam tim sepakbola Middelfart G & BK," katanya kepada Daily Mail tahun lalu.
"Sepak bola terpatri di keluarga kami. Aku memiliki seorang adik perempuan yang bermain sepakbola hingga semi-profesional. Ibuku bekerja di toko kelontong dan ia juga bermain sepak bola. Sedangkan ayahku bekerja sebagai sales penjualan mobil sambil jadi pemain bola di tingkat profesional."
“Dari awal, yang aku lakukan hanyalah bermain sepakbola. Aku sempat bermain bulutangkis dan memenangkan turnamen ketika aku berusia 12 tahun, tetapi sebenarnya yang aku pikirkan selalu sepakbola," tuturnya.
Ajax awalnya ingin langsung menempatkannya di tim U-19, tetapi diturunkan lagi menjadi U-17. Meski begitu Eriksen mampu tampil baik hingga akhirnya pelatih senior Frank De Boer menariknya ke tim utama. Usia Eriksen masih 17 tahun saat ia menjalani debut seniornya melawan NEC Breda pada Januari 2010. Ajax dengan sabar memoles Eriksen hingga ia jadi permata. Eriksen sukses memberi Ajax gelar Eredivisie tiga tahun secara berturut-turut 2010-2013.
Ajax tak bisa membendung kehendak Eriksen pergi ke Inggris. Ia bergabung dengan Tottenham seminggu sebelum jendela transfer musim panas musim 2013/2014 ditutup.
Mata di Belakang Kepala Eriksen
Entah itu saat bermain di Belanda atau Inggris, ia selalu dipuji karena kepribadiannya yang sopan dan rendah hati. Saat ditanyai kenapa mampu mencetak 186 peluang dan 15 assist di musim perdananya bersama Spurs, ia menjawab singkat sekaligus plastis: "Itu cuma angka. Ini tentang berpikir," kata dia kepada Daily Mail.
Dengan wajah khas Nordik, wajahnya terlihat tenang, dan itu menggambarkan kepalanya yang dingin saat di dalam ataupun luar lapangan. "Ia memiliki mata di belakang kepalanya," kata Frank de Boer.
Secara etos, Eriksen tak perlu diragukan. Tim Sherwood, pelatih yang membawanya ke Spurs, mengatakan ia adalah sosok yang keras kepala.
"Aku harus menyeretnya keluar dari lapangan latihan setiap hari," kata Sherwood menceritakan Eriksen selalu berlatih lebih lama ketimbang rekan-rekan lain. "Aku sangat menyukainya karena dia sosok yang tidak ingin dikenali," kata Mauricio Pochettino, manajernya di Spurs, pada lain kesempatan.
Eriksen sempat terpukul saat Olsen mundur. Namun Hareide tahu cara "memainkan" mental Olsen dengan benar. Meski menyadari bakat Eriksen, ia tak canggung mengkritik pemain berumur 26 tahun ini.
“Setelah begitu banyak pertandingan ia jalani, dia memang bisa mengambil bola dan membantu mengendalikan permainan. Namun belum maksimal. Karena itu kami menyalahkannya. Dia harus tahan terhadap kritik. Dan dia mau menerima itu. Hingga akhirnya menjadi seperti sekarang," kata Haraide.
Hareide mulai memberikan Eriksen peran sebagai pemain nomor10, peran yang ia minati sejak kecil. Bahkan saat bermain game Football Manager, Eriksen selalu memasang dirinya pada posisi ini. Kepercayaan Haraide dibalasnya dengan gol-gol yang tak kunjung henti.
Eriksen saat ini adalah pelatuk Tim Dinamit agar bisa meledak kembali seperti pada Piala Eropa 1992 saat secara tak terduga menjuarai Piala Eropa 1992. Jika pada 1992 mereka punya Laudrup, kini ada Eriksen. Dan bagi Denmark, itu sudah cukup.
Editor: Zen RS