Menuju konten utama

Revolusi Beludru ala Cruyff yang Gagal Membangkitkan Ajax

Benarkah kemunduran Ajax Amsterdam akibat salah-urus Johan Cruyff?

Revolusi Beludru ala Cruyff yang Gagal Membangkitkan Ajax
Ilustrasi Ajax Amsterdam. FOTO/REUTERS

tirto.id - Dalam pertandingan yang menentukan Minggu sore kemarin (15/4/2018), Ajax Amsterdam bertandang ke stadion Phillips, kandang pemimpin klasemen PSV Eindhoven. Ajax yang menghuni urutan dua terpaut tujuh poin dari PSV. Jika menang di laga ini, peluang Ajax untuk meraih gelar juara tetap terbuka karena liga masih menyisakan tiga pertandingan lagi. Namun, jika Ajax kalah PSV bakal memastikan gelar juara.

Di pertandingan sore itu Ajax sama sekali tak berkutik. PSV menang mudah 3-0 lewat gol dari Gaston Pereiro, Luuk de Jong, dan Steven Bergwijn masing-masing di menit 23, 38, dan 54. Kekalahan Ajax kemarin semakin diperparah dengan diusirnya dua pemain mereka, Nicolas Tagliafico dan Siem de Jong, sekitar sepuluh menit menjelang pertandingan usai.

PSV menyabet gelar juara Liga Eredivisie ke-24. Sedangkan bagi Ajax ini merupakan musim keempat mereka tanpa gelar juara.

Prestasi Ajax yang mengecewakan dalam empat tahun terakhir ini membuat para suporter marah. Kemarahan itu dilampiaskan pada Minggu malam kemarin, seusai laga, dengan mencegat bus yang mengangkut para pemain Ajax di Amsterdam Arena. Mereka menuntut mundurnya Edwin van der Sar, salah satu direktur klub, karena dianggap bertanggung jawab terhadap penampilan Ajax yang menurun.

Seperti dilansir NL Times, para suporter memukuli dan menendangi bus yang mengangkut para pemain Ajax saat tiba di Amsterdam Arena pada pukul 08.30 waktu setempat. Tak hanya itu, mereka pun sempat berhasil masuk ke dalam bus yang membuat para pemain terguncang. Pihak kepolisian yang ada di lokasi tak bisa berbuat banyak.

Agresivitas para suporter yang berjumlah seratus lima puluh orang ini akhirnya memaksa Van der Sar turun untuk berbicara dengan para suporter yang berlangsung sampai pukul 10.15 malam. Namun, terhadap tuntutan pengunduran dirinya, Van der Sar mengatakan bahwa itu tidak mungkin.

Ajax sudah bukan lagi Ajax,” teriak para suporter malam itu.

Tak Lagi Menjadi Kekuatan Eropa

Ajax yang sekarang memang sudah bukan lagi Ajax yang dulu. Ajax yang sekarang bukan lagi Ajax yang berhasil meraih gelar Piala Champions (sekarang Liga Champions) tiga kali berturut-turut pada 1971 – 1973. Bukan pula Ajax yang berhasil meraih Liga Eredivisie tanpa terkalahkan selama satu musim, mencetak 106 gol, sekaligus memenangkan Liga Champions pada 1994/95.

Ajax yang sekarang, tentu saja, bukan lagi Ajax yang mengundang decak kagum lewat permainan revolusionernya di lapangan. Ajax yang sekarang adalah Ajax yang permainannya menurun jauh dan dicemooh para suporternya sendiri.

Tak pernah lagi berbicara banyak di kancah Eropa dan hampir selalu tersingkir di babak-babak awal kompetisi, di musim ini, untuk pertama kalinya sejak 1990/91, Ajax gagal berpartisipasi di kompetisi Eropa seperti Liga Champions dan Liga Europa.

Diukur menggunakan standar klub biasa, pencapaian Ajax beberapa tahun ke belakang sebenarnya tidaklah terlalu buruk. Dari musim 2014/15 sampai 2016/17 Ajax menempati peringkat kedua di Liga Eredivisie. Musim ini pun kemungkinannya masih begitu.

Selama empat tahun, dari musim 2010/11 sampai 2013/14, Ajax memenangi gelar Liga Eredivisie secara berturut-turut, pencapaian yang belum pernah dicapai bahkan di era keemasan Ajax dahulu. Namun, Ajax bukanlah klub biasa. Nama besar terkadang membawa bebannya sendiri.

Tak mengherankan jika Simon Kuper, penulis buku Ajax, the Dutch, the War, sampai mengeluarkan kritik yang pedas di akun Twitter pribadinya sesaat setelah Ajax kalah 3-0 dari PSV dan dipastikan gagal meraih gelar musim ini.

“Aib besar bagi Ajax (klub yang hampir selalu memiliki dana paling besar dibanding klub lain di Belanda, 80 juta euro musim ini versus 70 juta milik PSV) tidak memenangi gelar selama 4 musim. Kegagalan pascaproyek Cruyff 2011.”

Infografik AJAX Amsterdam

Penyebab Kemunduran?

Proyek Cruyff 2011 atau yang disebut juga sebagai “Revolusi Beludru” adalah upaya-upaya yang dilakukan Johan Cruyff untuk mengembalikan Ajax Amsterdam sebagai kekuatan utama sepakbola di Eropa. Niat itu muncul ketika Cruyff menyaksikan kekalahan 0-2 yang diderita Ajax oleh Real Madrid di babak grup Liga Champions musim 2010/11.

“Ini bukan Ajax lagi,” tulis Cruyff di kolom De Telegraaf seperti dilansir The Blizzard. “Langsung ke intinya: tim Ajax sekarang bahkan lebih buruk dibanding Ajax sebelum kedatangan Rinus Michels pada 1965.”

Dalam upaya itu, Cruyff bisa dikatakan “mengambil-alih” Ajax dan menempatkan mantan pemain macam Edwin van der Sar, Wim Jonk, Frank de Boer, dan Marc Overmars—para pendukung Cruyff—di posisi-posisi penting dan strategis. Ide utamanya adalah mengembangkan kembali para pemain muda dan berhenti menghabiskan dana besar untuk pembelian pemain asing. Cruyff menilai klub harus dijalankan oleh mereka yang berbakat dan punya pengetahuan di bidang sepakbola, bukan oleh orang-orang berjas.

Namun, menurut Elko Born dalam artikel “The Velvet Revolution” di The Blizzard ide itu berangkat dari pandangan nostalgia, muncul dari “kebutuhan untuk kembali kepada sebuah masa ketika sepakbola, dan dunia, lebih sederhana dan karena itu lebih baik. Penekanan Cruyff pada pemain muda adalah penekanan kepada masa lalu.”

Hal senada diungkapkan Simon Kuper. Menurutnya, sejak Cruyff dipecat Barcelona pada 1996, ia tak lagi berpikir serius tentang sepakbola. Dalam pandangan Cruyff, sepakbola mencapai kesempurnaannya pada dekade 1970-an. Dan pandangannya itu dianggap ikut membekukan Ajax dan timnas Belanda dalam kapsul waktu yang tidak sejalan dengan tuntutan sepakbola modern.

Cruyff, misalnya, memandang bahwa dibanding otak kekuatan fisik tidaklah penting. Akibatnya ia menyepelekan latihan fisik, sebuah elemen yang menjadi salah satu ciri sepakbola modern sekarang.

“Ia [Cruyff] tidak peduli bahwa pesepakbola modern berlari 12 kilometer dalam satu pertandingan, tiga kali lebih banyak dibanding di masa Cruyff,” tulis Kuper di ESPN.

Selain itu Revolusi Beludru Cruyff pun menimbulkan konflik berkepanjangan di dalam dan di luar struktur organisasi Ajax. Pertarungan di ranah hukum antara Cruyff dan Louis van Gaal, mundurnya sponsor, bahkan sampai kiriman ancaman kematian dari sebagian suporter kepada direktur klub ikut berpengaruh terhadap stabilitas Ajax.

Revolusi Beludru yang diupayakan Cruyff terjadi 7 tahun silam. Namun, gemanya masih terasa sampai kini.

Baca juga artikel terkait AJAX AMSTERDAM atau tulisan lainnya dari Bulky Rangga Permana

tirto.id - Olahraga
Reporter: Bulky Rangga Permana
Penulis: Bulky Rangga Permana
Editor: Zen RS