tirto.id - “Kerusuhan adalah suara dari mereka yang tidak didengar.”
Pernyataan di atas berasal dari aktivis anti-rasisme dan pejuang hak-hak sipil asal Amerika Serikat, Martin Luther King, Jr., dalam sebuah wawancara pada 1966 lalu. Apakah pernyataan tersebut membuktikan bahwa ia mendukung kekerasan, padahal selama ini dikenal dengan prinsip nonviolence?
Jika kita lihat secara utuh, jawabannya adalah tidak. Martin Luther tetap berpegang pada prinsip anti-kekerasan. Apa yang hendak ia nyatakan lewat pernyataan di atas sekadar kenyataan yang sedang terjadi. Menurutnya, segregasi dan kesenjangan ekonomi antara kaum kulit hitam dengan putih semakin parah dan itu membuat orang tidak sabar. Membuat kerusuhan, bagi orang-orang yang terpuruk, dimaknai sebagai cara agar publik sadar akan eksistensi mereka.
Mungkin atas alasan yang sama sebuah demonstrasi memprotes kematian George Floyd dan persoalan rasisme yag akut di Ohio, AS, 2020 lalu berujung ricuh--meski tidak diketahui jelas siapa yang memulai duluan. Demonstran kedapatan melemparkan batu yang mengenai area pertokoan, sementara polisi menembakkan gas air mata.
Dalam peristiwa itu ada demonstran--yang berkulit putih--membawa poster bertuliskan kutipan Martin Luther tersebut.
Sebuah artikel di The Conversationmencoba menjelaskan mengapa protes damai dapat berujung kerusuhan dengan mengutip pendapat para ahli psikologi. Itu dapat terjadi karena kekhawatiran protes diacuhkan atau tak digubris. Mereka bingung sehingga rela melakukan apa pun sebab “tidak ada ruginya” jika akhirnya memang gagal. Itu adalah usaha terakhir--usaha dari rasa keputusasaan.
Tapi faktor kerusuhan bukan hanya dari massa sendiri. Sebab lain adalah respons dari kepolisian. Polisi menganggap massa harus dipukul mundur dengan cara yang biasanya cenderung berlebihan. Mereka melakukan ini karena menganggap demonstran adalah musuh negara.
Kekerasan Membawa Hasil?
Protes yang berujung kekerasan atau kerusuhan tentu juga terjadi di banyak tempat lain, termasuk di Indonesia. Salah satu yang cukup menonjol adalah saat ramai demonstrasi menentang revisi UU KPK dan RKUHP pada 2019 lalu.
Ditarik lebih jauh ke belakang, kita mendapati fakta bahwa hal seperti itu memiliki jejak sejarah yang panjang, hanya saja skalanya yang berbeda-beda. Contoh yang paling jelas adalah saat peristiwa Kerusuhan 27 Juli 1996 (Kudatuli). Preman-preman yang dilindungi oleh militer menduduki kantor PDI di Jakarta agar Megawati Soekarnoputri--yang saat itu menjadi simbol anti-Orde Baru--tidak bisa melawan Soeharto.
“Penyerbuan itu sangat brutal dan memakan banyak korban meski hanya berlangsung beberapa jam. Tindakan itu meninggalkan jejak kekerasan terbesar dan terparah dalam sejarah demonstrasi anti-pemerintah di era Orde Baru,” catat Elizabeth Fuller Collins dalam tulisannya berjudulIndonesia: A Violent Culture (2002).
Kericuhan-kerusuhan juga terjadi sebelum Soeharto mundur. Berkali-kali demonstran mahasiswa terlibat bentrok dengan aparat. Salah satu catatan paling buruk adalah meninggalnya empat mahasiswa Universitas Trisakti pada 12 Mei 1998. Gugurnya para pelajar kian memantik emosi orang-orang di pelbagai daerah. Ini belum termasuk aktivis yang hilang hingga hari ini.
Memasuki masa transisi, kerusuhan belum banyak mereda. Mahasiswa yang tak setuju dengan kepemimpinan B. J. Habibie kembali melakukan demonstrasi.
Pada September 1998, sedikitnya 17 warga sipil meninggal karena bentrok dengan aparat selagi berdemonstrasi. Berselang setahun kemudian, pada September 1999, belasan orang, termasuk mahasiswa, lagi-lagi menjadi korban ketika melakukan demonstrasi. Salah satu sumber menyebut korban luka mencapai ratusan orang. Dua peristiwa ini dikenal kemudian sebagai Tragedi Semanggi I dan II.
Setelah peristiwa tersebut para prajurit dan perwira yang dianggap bersalah diberikan hukuman indisipliner. Namun, menurut pendiri Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Munir Said Thalib, itu bukanlah “bentuk pertanggungjawaban terhadap publik dan para korban” melainkan hanya “suatu hukuman dalam urusan internal ABRI.”
“ABRI sekali lagi hanya mengkambinghitamkan prajurit dan komandan di lapangan sebagai yang paling bertanggung jawab. Padahal, Kontras berpendapat bahwa pertanggungjawaban kasus itu bukan hanya pada tingkatan pelaku di lapangan, tetapi juga pada tingkatan pembuat kebijakan pada struktur ABRI,” kata Munir, spesifik menanggapi peristiwa Semanggi I.
Terlepas dari masyarakat atau aparat yang memantik kerusuhan terlebih dahulu, nyatanya Soeharto memang lengser dan doktrin Dwifungsi ABRI secara legal dihapuskan pada tahun 2000.
Meski sulit diakui, profesor dari Universitas Pennsylvania yang sudah mempelajari demonstrasi sejak 1950-an, Daniel Q. Gillion, menyimpulkan bahwa aksi-aksi kekerasan dalam protes massa pada akhirnya akan memengaruhi kebijakan publik dan politik.
Protes dengan damai bisa membuat orang-orang sadar akan “adanya masalah”, tapi protes dengan kekerasan akan membuat masyarakat melihat “urgensi masalah”, katanya. Hal ini bisa membuat orang berdiskusi tentang masalah tersebut sambil menyulut aksi-aksi serupa di daerah lain.
Memang aksi-aksi kekerasan tersebut dalam demonstrasi merugikan banyak orang, tetapi dampak “positif” masih ada.
“Pada dasarnya, saya tidak menyetujui adanya aksi kekerasan, dan tentu tidak mendorong orang untuk melakukan tindakan melawan hukum. Tapi jika diamati secara objektif, pengaruh dari protes tersebut memengaruhi individu lainnya dalam isu serupa. Kita bohong jika bilang protes dengan kekerasan itu tidak berdampak pada perubahan kebijakan. Itu keliru,” kata Gillion dilansir GQ.
Tidak Ada Protes “Terbaik”
Sekilas, protes dengan kekerasan tampak lebih efektif; potensi tuntutan terpenuhi lebih besar. Tapi, ada pula aksi damai yang juga berhasil mencapai hasil serupa.
Revolusi Oranye di Ukraina yang dimulai pada 2004 adalah salah satu contohnya. Tidak ada kerusuhan besar yang terjadi saat itu, tetapi unjuk rasa ke gedung parlemen ini berhasil membuat otoritas setuju melakukan pemilu ulang karena yang sebelumnya dianggap penuh kecurangan dan manipulasi.
Survei dari Erica Chenoweth dan Maria Stephan bahkan menemukan lebih banyak protes damai yang berhasil. Berdasarkan sampel 323 gerakan politik dari 1900 sampai 2006, mereka menemukan hanya 23 persen protes dengan perusakan yang berujung kemenangan. Sedangkan protes damai yang berbuah kesuksesan sebanyak 53 persen.
Chenoweth dan Stephan tidak menyangkal sebagian protes damai berakhir gagal atau hanya berhasil sebagian, tapi tentu ada beberapa faktor yang melatarbelakanginya, termasuk banyaknya kelompok yang melakukan protes. Tidak semuanya setuju lewat jalur damai dan justru melakukan kekerasan. Soal lain, bisa juga karena tidak ada dukungan dari dunia internasional.
“Kampanye non-kekerasan seharusnya lebih unggul daripada dengan kekerasan karena bisa menarik lebih banyak orang dan mendorong rezim yang berkuasa kehilangan dukungan,” kata mereka dalam buku Why Civil Resistance Works: The Strategic Logic of Nonviolent Conflict (2011).
Justru dengan merusak fasilitas umum atau bahkan usaha-usaha milik sipil protes dapat menjadi bumerang. Riset dari Brent Simpson dan Matthew Feinberg menemukan dalam beberapa kasus masyarakat sipil lebih mendukung pihak yang didemo karena banyaknya kekerasan yang dilakukan demonstran.
Hal ini pernah terjadi di Indonesia, misalnya ketika banyak halte Transjakarta yang rusak akibat ulah orang-orang tak dikenal dalam demonstrasi UU Cipta Kerja 2020 lalu. Daripada membicarakan UU Cipta Kerja--yang akhirnya tetap disahkan--ada sebagian masyarakat yang kemudian mengalihkan fokusnya ke apa yang dilakukan demonstran di lapangan.
Ringkasnya, baik protes dengan kekerasan maupun damai pernah menemui kegagalan dan kesuksesan masing-masing. Maka, yang patut diingat adalah protes itu sendiri harus tetap dilakukan jika memang ada sesuatu yang dirasa salah.
Seperti kata filsuf asal AS Sidney Hook, “Bila semua jalan penyaluran aspirasi rakyat telah disumbat, maka mau tidak mau alternatif terakhir yakni ‘aksi turun ke jalan’ atau ‘parlemen jalanan’.” Hal tersebut, katanya, “merupakan konsekuensi logis yang secara moral sah.”
Editor: Rio Apinino