tirto.id - Kendati sejumlah tokoh ormas Islam telah bertemu Presiden pada sehari lalu, demonstrasi untuk menuntut penyelidikan kasus dugaan penistaan agama Gubernur DKI Jakarta Basuki Thaja Purnama tetap akan digelar. Polri mengakui telah menerima surat pemberitahuan rencana aksi unjuk rasa dari ormas Islam yang akan digelar pada 4 November 2016 mendatang.
Berbicara di Mabes Polri, Kadivhumas Polri Irjen Polisi Boy Rafli Amar mengatakan pihaknya telah menerima surat pemberitahuan rencana unjuk rasa tersebut pada Selasa (1/11/2016).
"Ada, kemarin (1/11) sudah kami terima," kata Boy seperti dikutip Antara, Rabu (2/11).
Tanpa menyebut identitas secara detil, menurut Boy, penanggungjawab aksi tersebut atas nama Bahtiar Nasir.
Penelusuran tirto.id Bahtiar Nasir merupakan Sekjen MIUMI (Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia).
Lebih lanjut, Boy menyebutkan bahwa massa demonstran mencapai 100 ribu orang. Tanpa merinci ormas apa saja yang turun dalam aksi unjuk rasa, mantan Kapolda Banten itu menjelaskan rute aksi unjuk rasa yakni kawasan Gedung DPR, Istana Kepresidenan dan Masjid Istiqlal. Boy memastikan Polri dan TNI akan mengawal massa pendemo hingga aksi unjuk rasa selesai.
"Ada rencana ke kantor DPR, Istana Merdeka dan (masjid) Istiqlal," katanya.
Boy mengimbau para demonstran agar tertib dalam menyampaikan orasinya.
Untuk mengamankan aksi demonstrasi besar-besaran ormas Islam pada 4 November di Jakarta, TNI-Polri mengerahkan 18 ribu pasukan gabungan.
Sementara itu, pada kesempatan terpisah, saat bericara pada Apel Kesiapsiagaan Tahap Kampanye Dalam Rangka Pilkada Serentak 2017 di Lapangan Monumen Nasional, Jakarta, hari ini, Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian menilai tuntutan demonstran agar Presiden Joko Widodo memenjarakan Gubernur DKI Jakarta, Basuki T. Purnama atas apa yang disebut kasus penistaan agama adalah tidak tepat.
"Sebetulnya tuntutan agar Bapak Presiden menyampaikan pernyataan terbuka mendukung proses hukum (kasus Ahok) sudah disampaikan kemarin. Lalu demonstran juga mengajukan tuntutan kedua agar penjarakan Ahok. Kalau itu dilakukan, tidak mungkin," kata Tito seperti dikutip Antara.
Menurutnya, jika presiden terlibat dalam penanganan kasus hukum maka itu sudah dianggap intervensi yang tidak dibenarkan dalam undang-undang. Presiden merupakan pimpinan lembaga eksekutif sedangkan penanganan kasus hukum Ahok adalah kewenangan yudikatif.
"Pak Presiden adalah pimpinan eksekutif, bukan yudikatif. Sementara teknis hukum dan domain (proses hukum kasus Ahok) dari yudikatif. Jadi kalau ada yang menuntut presiden memenjarakan Ahok, itu membuat presiden salah dalam intervensi teknis hukum. Jadi sebetulnya tak perlu lagi demo ke Istana (Presiden)," tegas Tito.
Penulis: Agung DH
Editor: Agung DH