Menuju konten utama

Deadpool 2: Anti-Hero yang Jadi Pahlawan karena Motif Sentimental

Wade Wilson masih jadi anti-hero yang sebenarnya cuma bertindak atas nama cinta pada kekasih, tapi secara tak langsung juga jadi pahlawan bagi mutan lain.

Deadpool 2: Anti-Hero yang Jadi Pahlawan karena Motif Sentimental
Deadpool 2. FOTO/Istimewa

tirto.id - Deadpool 2 dimulai dengan tragedi yang membuat Wade Wilson (Ryan Renolds) membuka sisi emosionalnya (serius, benar-benar emosional). Lewat ekspresi muka sendu dan mata sembab ia meratapi kematian kekasihnya, Vanessa (Morena Baccarin), akibat dihantam peluru seorang penjahat yang berniat menghabisi Wilson.

Kesedihannya berlipat ganda sebab kematian Vanessa tepat di malam keduanya sedang merayakan ulang tahun perkawinan serta memulai program punya anak.

Wilson menjajaki puncak patah hati dan kelinglungannya dengan upaya bunuh diri. Bermodal gas kompor yang dibuka lebar-lebar dan beberapa tong berisi bensin, ia meledakkan diri di apartemen. Gagal. Tapi setidaknya sempat bertemu Vanesssa di alam mati suri. Vanessa berpesan “hatimu tak berada di tempat yang tepat.”

Wilson bingung. Mutan yang tampil di Deadpool pertama, Colossus, muncul dan memberinya tempat tinggal di Xavier Mansion. Ia juga belum lelah menawarkan keanggotaan X-Men.

Wade mulanya menolak, lalu setuju. Bersama Negasonic Teenage Warhead, yang menggandeng pasangan lesbiannya (benar-benar film untuk milenial), ketiga mutan berangkat menuju misi pertama.

Seorang mutan muda bernama Russel Collins alias Firefist (Julian Denisson) mengamuk di pondok tempatnya tinggal, mengaku marah sebab tiap hari jadi korban kekerasan oleh pemilik pondok. Wilson gagal menenangkannya, dan berkat tindakan ngawur khas Deadpool, ia dan Russell justru diamankan ke penjara khusus mutan bernama Icebox.

Keduanya ditempatkan dalam satu sel. Di tengah rencana-rencana ambisius-tapi-lucu yang keluar dari mulut Russell, Wilson hanya bisa terbaring lemah. Kankernya kembali aktif sebab kekuatan super dinonaktifkan. Lalu, tiba-tiba Cable menjebol penjara. Ia datang dari masa depan, ingin membunuh Russell yang di masa dewasa membantai keluarga Cable.

Wilson mencegah upaya Cable. Pertarungan pertama—dari pertarungan-pertarungan dengan daya rusak dahsyat di sepanjang film—muncul. Sayangnya Wilson kalah. Russell tidak terbunuh, namun menjalin persahabatan berbahaya dengan seorang mutan yang dijaga paling ketat di Icebox.

Wade berhasil kabur namun hampir mati akibat tenggelam di danau beku. Visi tentang Vanessa kembali muncul. Kali ini Wade disadarkan untuk menyelamatkan Russell sebagai jalan untuk menebus rasa bersalahnya yang tak mampu menyelamatkan Vanessa.

Wilson pun mengumpulkan mutan lain dan membentuk X-Force, pelesetan dari “X-Men”—nama yang Wilson nilai seksis. X-Force mencoba menyelamatkan Russell yang sedang ditransfer ke penjara lain. Cable juga masih menjalankan misinya, dan otomatis membuat operasi di tengah jalanan kota itu kacau balau.

Memproduksi sekuel boleh jadi menggiurkan secara finansial, tapi pekerjaan ini beresiko tinggi. Penonton pasti berharap kualitasnya minimal menyamai yang pertama—kalau bisa lebih baik, haram jika lebih buruk. Sudah banyak kisah rumah produksi yang merugi akibat bikin sekuel berkualitas anjlok.

Untungnya, selain fokus pada asal-usul, Deadpool pertama membatasi diri pada petualangan Wilson berburu orang yang membuat hidupnya menderita. Banyak celah yang bisa dijajaki lebih lanjut, dan Deadpool 2 mengisinya dengan petualangan bersama tokoh lain dan dalam narasi yang lebih kompleks.

Mengutip Urban Dictionary, anti-hero seperti Deadpool adalah protagonis yang tidak memiliki karakter sebagai seorang pahlawan konvensional.

Wilson memang tidak memegang idealisme altruistik seperti Superman atau Captain America, misalnya, sebab pekerjaannya membasmi gembong kelas atas motif mencari uang, bukan menyelamatkan dunia dari kejahatan. Berkali-kali ia menegaskan sikap ini di permulaan Deadpool pertama.

Deadpool masih menjadi tokoh anti-hero dalam sekuel ini, dan dalam bungkus yang sentimental. Kematian Vanessa adalah dasar petualangan Wilson. Motif itu penting, agar Wilson tetap melanjutkan hidup, sebab Wilson tidak bisa mati. Meledakkan diri ala jihadis? Selamat. Dibelah badannya jadi dua? Tunggu beberapa jam, kaki bisa tumbuh lagi.

(Wahai para orangtua, peringatan untuk Anda: film ini R-rated, dengan demikian ia ditujukan untuk penonton berusia 17 tahun ke atas.)

Tanpa digerakkan rasa cinta pada Vanessa, sosok yang memberinya makna untuk tetap hidup, Wilson hanya akan menjadi karakter komik nihilis yang sehari-hari cuma menggalau di Xavier Mansion sembari mengganggu mutan-mutan lain.

(Spoiler) Sisi sentimental Wilson juga secara tak langsung membuatnya pahlawan bagi Russells yang akhirnya membatalkan niat membunuh kepala pondoknya dulu. Russells terkesima dengan manuver Wilson yang menjadi tameng hidup saat Russels ditembak Cable.

(Spoiler) Cable pun melakukan perjalanan lintas waktu untuk terakhir kalinya tidak untuk kembali ke masa depan, tapi untuk menyelamatkan nyawa Wilson. Cable awalnya menetapkan pembunuhan Russell sebagai opsi terakhir, sebab ia tak yakin Wilson bisa membuat Russell baik hanya dengan kata-kata. Nyatanya, Wilson berhasil, dan bagi Cable itu cukup untuk menyelamatkan keluarganya di masa depan.

(Spoiler) Penyelesaian yang biasa-biasa saja sebenarnya. Namun memainkan lini masa juga beresiko. Untuk kasus Deadpool 2 ini justru membuka pertanyaan baru: bukankah jika Cable tetap tinggal di masa lalu, di masa depan seharusnya keluarganya belum ada, termasuk pembunuhannya? Apakah Cable sealtruis itu hanya demi menyelamatkan Deadpool? Dari karakternya yang cukup anti-hero, seharusnya tidak.

Drama romantis antara protagonis utama dan pasangan perempuannya dalam film yang diadaptasi dari komik bukan sesuatu yang baru.

Marvel pernah menyuguhkannya dalam Iron Man 3—penutup trilogi Iron Man yang saya kira memang fokus sesungguhnya ada pada percintaan Tony Stark (Robert Downey Jr) dan Virginia Potts (Gwyneth Paltrow). Lebih detilnya yakni tentang ego Stark yang akhirnya luluh oleh prioritas cintanya pada Potts.

Deadpool 2 melipat gandakan elemen penting yang membuat penonton jatuh cinta sejak Deadpool pertama: lelucon gelap (dark humor). Sesuai julukannya, “Tentara Bayaran Bermulut Besar”, Wilson secara konsisten menyelipkan humor di hampir seluruh dialognya.

Infografik Deadpool 2

Padatnya lelucon bikin saya terengah-engah. Beberapa ada telat saya pahami sebab berisi sarkasme, satire, parodi, hingga pelesetan yang menyangkut nama-nama orang, fiksi maupun non-fiksi, secara spesifik. Serupa guyonan (yang amat sangat) internal.

Deadpool 2 masih juga meneladani komiknya dengan lelucon-lelucon yang melanggar 'dinding keempat'.

Di awal film, saat mau bunuh diri, Wilson menyinggung bagaimana Wolverine mati secara heroik di ujung film Logan (2017), dan ia berjanji akan mengakhiri Deadpool dengan kematian serupa. Lagu pembuka film berjudul “Ashes” dinyanyikan Celine Dion dengan Wilson bergaya memarodikan pembuka serial film James Bond.

Tawa penonton lain di studio tempat saya menonton, Margo XXI Depok, meledak terutama saat Wilson menyindir film-film DC Universe.

Saat Wilson telat menghadiri perayaan anniversary, salah satu pleidoinya karena melawan petarung berjubah tapi kemudian menyadari nama ibunya dan ibu petarung sama-sama Martha.

Pertama kali berkelahi dengan Cable, Wilson bertanya apakah ia dari DC Universe karena tampilan dan sikapnya amat gelap. Juga saat pertama kali Cable bertanya siapa Wilson, Wilson jawab “I'm Batman.”

Deadpool 2 menghadirkan laga berskala lebih besar, tentu dengan budget yang juga lebih besar ($110 juta)—dua kali lipat ketimbang Deadpool pertama ($58 juta).

Hari-hari penayangan ke depan akan membuktikan apakah film ini akan mendapat keuntungan sefantastis Deadpool pertama yang menjadi film R-rated terlaris setelah The Passion of the Christ (2004).

Deadpool 2 masih mampu memanjakan para penggemar dengan komedi-aksi dan dialog yang khas. Entah bagaimana nasib sekuel atau prakuel selanjutnya jika benar-benar diwujudkan, sebagaimana Ryan Renolds bilang bahwa tidak menutup kemungkinan akan ada Deadpool 3.

Jika mau belajar dari yang sudah-sudah, rumusnya sederhana: bikin film lanjutan yang sesukses film sebelumnya, baik di mata penonton maupun kritikus, tidak cukup dengan hanya melipat gandakan anggaran.

Formula “anti-hero yang kocak berkat lelucon gelap plus pelanggaran dimensi keempat” memang brilian, tapi tentu tidak bisa dipakai selamanya. Agar tidak merusak karakter Deadpool itu sendiri, rumah produksi mesti tahu batasan dan kata cukup—bukan hanya menghamba pada keuntungan semata.

Baca juga artikel terkait ULASAN FILM atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Film
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Windu Jusuf