Menuju konten utama

Ardian Syaf, Etika Kerja, dan Ideologi Marvel

Menilai kontroversi pesan Ardian Syaf dalam X-Men Gold dari sudut pandang etika kerja dan ideologi Marvel.

Ardian Syaf, Etika Kerja, dan Ideologi Marvel
Angka 212 pada komik X-MEN GOLD #1. Foto/ Ardian Syaf, Jay Leisten, dan Frank Martin.

tirto.id - Marvel merupakan studio komik pertama yang menghadirkan karakter superhero berkulit hitam sebagai protagonis dan judul. Karakter itu adalah Luke Cage. Komik tersebut dirilis pada Juni 1972.

Karakter Luke Cage ini, yang terlahir sebagai Carl Lucas, tentu tak bisa dilepaskan dari diskursus publik perihal relasi kulit hitam dan kulit putih yang saat itu masih belum sepenuhnya beres. Tujuh tahun sebelumnya, Jim Crow's Law yang meniscayakan segregasi antara kulit putih dan kulit hitam dalam berbagai aspek kehidupan, dari sekolah hingga fasilitas-fasilitas publik, telah dihapus. Namun, persoalan segregasi rasial masih menjadi isu yang sangat penting. Diskriminasi belum sepenuhnya hilang. Orang-orang kulit putih yang berpikiran kolot masih banyak yang tak bisa menerima hal itu.

Luke Cage sendiri digambarkan sebagai narapidana yang melarikan diri atas kejahatan yang tak pernah ia lakukan. Ia juga menjadi korban dari eksperimen jahat yang membuatnya sangat kuat dan kebal peluru. Juni 1972, saat Luke Cage dirilis, New York Times melakukan liputan tentang Tuskegee syphilis experiments, eksperimen yang dilakukan terhadap orang-orang kulit hitam.

Banyak seniman komik yang bernaung di bawah Marvel (juga DC) merespons peristiwa sosial di sekitar mereka untuk dijadikan cerita komik. Banyak cerita dari karakter komik yang dibuat Marvel merupakan usaha propaganda untuk menyebarkan pemahaman dan ideologi tertentu. Cerita dan karakter komik dengan sendirinya nyaris selalu dilambari pesan-pesan ideologis dan politis. Sering kali pesan-pesan itu menyelinap secara implisit dan sublim. Tak pernah ada komik yang benar-benar kosong dari nilai.

Misalnya saat Perang Dunia II terjadi, berbagai studio komik baik DC maupun Marvel, menghadirkan musuh dan penjahat paripurna dengan latar belakang kebangsaan Jepang dan Jerman. Baik Marvel atau DC tak segan menggunakan umpatan rasial seperti “monyet kuning” atau “sampah nazi” untuk menggambarkan musuh-musuhnya.

Tindakan ini tentu tidak bisa diterima hari ini. Namun saat itu seniman komik merespons realitas sosial di sekitarnya untuk dituangkan dalam karya yang mereka buat. Umpatan-umpatan itu mewakili psiko sosial masyarakat yang melahirkan komik tersebut.

Komik dan Etika Kerja

Ketika ilustrator dari Indonesia, Ardian Syaf, menjadi perhatian dunia karena pesan tentang aksi 212 dan Surat Al Maidah di komik Marvel, hal ini sebenarnya bukan barang baru dan mengejutkan.

Ardian menuliskan angka 212 di salah satu panel X-Men Gold #1. Dalam panel itu, karakter X-Men Kitty Pryde, seorang mutan Yahudi, mengkonfrontasi manusia. Di samping Kitty ada tulisan "jewelry" yang secara subtil menggambarkan sosok Yahudi dalam komik itu. Dalam kesempatan lain, Ardian juga meletakkan pesan tersembunyi di kaos karakter mutan Colossus bertuliskan QS 5:51 yang merujuk pada salah satu ayat dalam Qur'an.

Karena aksinya ini Ardian mendapatkan kecaman dan tuduhan telah menyalahgunakan wewenangnya untuk menyebarkan pesan kebencian. Tapi benarkah ia sedang menyebarkan kebencian?

Komik adalah medium yang paling mudah dipahami karena menghadirkan elemen teks dan visual untuk menyampaikan pesan tertentu. Marvel, misalnya, berulang kali menggambarkan adegan diskriminasi oleh manusia terhadap mutan, yang menggambarkan realitas orang-orang Yahudi yang dulu mengalami diskriminasi karena identitas rasnya.

Hikmat Darmawan, peneliti dan anggota Koalisi Seni Indonesia yang fokus pada kajian komik, menyebut bahwa apa yang dilakukan Ardian Syaf tidak dilarang jika konteksnya mengekspresikan sikap politiknya.

“Tapi dalam kasus ini, kesalahannya adalah menyalahgunakan properti orang lain (cerita Mark Guggenheim dan karakter milik perusahaan Marvel) untuk kampanye politik pribadinya dengan (1) tanpa sepengetahuan pemilik properti, dan (2) bertentangan dengan nilai/keyakinan politik si pemilik properti dan stakeholder mereka,” katanya.

Ia menjelaskan perbandingan dan konteks waktu dan era penting untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan kebebasan berekspresi dan profesionalitas. Hikmat menyebut bahwa selama Perang Dunia II, ideologi politik komikus bisa dengan mudah dilihat dalam karya komik mereka. Misalnya, Captain Amerika menghajar Red Skull yang berafiliasi dengan Nazi, atau Superman yang membagikan flyer seruan untuk menghajar orang Jepang. Setiap komikus tadi dengan sadar dan jujur menunjukkan sikap politik kepada studio di mana mereka bekerja.

Tapi apa yang dilakukan Ardian sama sekali berbeda dengan yang dilakukan oleh para komikus tadi. Etika profesional sebagai pekerja semestinya dijunjung tinggi. Dan, masih menurut Hikmat, ini bukan soal membungkam kebebasan sipil.

“Gue menyebut 'etika profesi' dan 'properti perusahaan' karena memang itu kontrak kerja yang disepakati Ardian Syaf. Kita gak usah meromantisir bahwa Ardian dalam komik X-Men Gold itu sedang jadi 'seniman' dalam pengertian esoterik, ya. Dia hanya sedang memberi jasa menggambar, dan dibayar sesuai kontrak,” jelasnya.

Menariknya, Ardian kemudian melakukan pembelaan bahwa apa yang ia lakukan pernah terjadi sebelumnya saat menggambar baliho bergambar Jokowi. Pada gambar Jokowi itu, secara tersirat ia menulis “sepi” di kolom komentarnya. Namun, menurut Hikmat, kedua gambar itu tetap salah secara profesional.

“Sama saja. Tapi yang sekarang lebih rawan, karena basis pesan politiknya adalah tafsir kontroversial terhadap sebuah ajaran agama, dengan tuntutan spesifik pula: penjarakan 'penista agama' dan jangan pilih pemimpin 'kafir', dan itu yang ia tegaskan dalam penjelasannya di medsos, kan?” jelas Hikmat.

Komik yang digunakan untuk menyebarkan kebencian juga bukan sesuatu yang baru. Hikmat menyebut komik-komik dan kartun di Charlie Hebdo itu banyak yang kebablasan jadi propaganda kebencian.

"Ada yang tak sepenuhnya propaganda, tapi glorifikasi kebencian dan kekerasan, misalnya glorifikasi perkosaan dan misogini dalam komik Mike Diana yang heboh di Amerika pada 1900an," kata Hikmat.

Tapi, propaganda politik lebih sering lagi terjadi. Juga nilai rasisme, baik yang "keras" maupun "lunak". Di masa awal abad ke-20, saat wacana HAM dan hak sipil belum semassif sekarang, kadang rasisme dan propaganda tulus pro demokrasi pun saling baur.

Marvel dan Perlawanan Terhadap Rasisme

Dalam episode New Mutants #45 Kitty Pryde, seorang mutan yahudi, memberikan pidato pemakaman di Salem Center High School. Pidato ini bercerita tentang mutan yang bunuh diri akibat dirisak oleh teman-temannya. Dalam fragmen pidato itu Kitty menjelaskan bagaimana pelabelan seseorang bisa membunuh, entah niger, mutan, atau homo. Marvel, melalui X-Men jelas hendak menyampaikan sikap mereka terhadap perbedaan, bahwa seseorang tak bisa dibenci hanya karena rasnya, atau agamanya, apalagi kebencian seperti Cina atau Kafir yang dibalut dengan sentimen agama.

Marvel, sebagai studio yang menaungi X-Men, berulangkali menghadirkan karakter Kitty Pryde sebagai sosok yang melawan stereotip, diskriminasi, dan melawan bigotisme. Maka apa yang dilakukan Ardian tidak hanya kurang profesional namun juga meremehkan pembaca X-Men yang sejak dulu mencari perlindungan di komik itu. X-Men, melalui Profesor Xavier, berusaha mencari jalan tengah untuk mendamaikan perseteruan antara mutan dan manusia, metafor dan penggambaran botak Xavier yang mirip Gandhi, sejalan dengan pilihannya untuk menolak menggunakan kekerasan dan dominasi manusia kepada manusia.

Hikmat sendiri menilai bahwa komik-komik baik dari DC atau Marvel banyak menggunakan karya mereka sebagai kampanye melawan rasisme dan kebencian.

“Udah banyak banget, sih, ya, sekarang komik melakukan itu. Misalnya, seri Ms. Marvel, karangan G. Willow Wilson. Malah, sekarang ini, kan, jualan Marvel adalah 'diversity', dengan tokoh superhero Yahudi, gay, muslim,” kata Hikmat.

Tentu ada polemik. Banyak pembaca Marvel yang memboikot saat Ms. Marvel pertama kali diperkenalkan karena ia bergama Islam. Superhero Amerika semestinya berlandaskan nilai-nilai Amerika, bukan Islam, dan kemunculan Ms. Marvel dianggap melecehkan dan menghina keyakinann banyak penggemar komik Marvel saat itu.

Mungkin Ardian Syaf, dan para pembaca komik pendukungnya, perlu membaca kembali secara spesifik Mekanix #5 saat Kitty Pryde melawan segerombolan orang rasis yang mendiskreditkan para mutan karena kondisi lahirnya.

Alice Tremane, karakter komik dalam Mekanix #5, mengajukan gagasan pemurnian sekolah, bahwa mereka yang bersekolah berhak mendapatkan rasa aman dari kaum mutan yang berbahaya. Mereka, kaum mutan, mesti diusir karena tidak alami dan umat manusia mesti mendapatkan perlindungan antar sesama mereka.

Retorika itu terdengar familiar. Dalam konteks hari ini, terwakili dalam retorika: pribumi lawan bukan pribumi, anak bangsa lawan aseng. Bukan berlebihan jika mengatakan sentimen rasial ini akan dilawan oleh Kitty Pryde.

Kitty Pride selalu membuka pidatonya dengan identitas rasnya. Ini bukan perkara mengagungkan etnis Yahudi, namun ia sedang berusaha menjelaskan bagaimana dalam Perang Dunia II itu Yahudi sangat sering menjadi korban. Selain di Mekanix #5, ia juga menjelaskan retorika kebencian, identitas personal, dan juga kampanye rasisme sebagai sesuatu yang keji dalam episode All-New X-Men #13. Episode itu menjelaskan Kitty pernah jatuh cinta pada seseorang, namun orang yang ia sukai membenci Yahudi. Kecewa karena orang yang ia cintai ternyata seorang rasis, Kitty meneriakkan identitasnya.

“Aku seorang Yahudi, aku seorang mutan, dan aku ingin orang-orang tahu siapa dan apa diriku ini. Aku memberitahu kepada orang lain, jika mereka punya masalah dengan identitasku, aku ingin tahu," kata Kitty.

Infografik Marvel

Komik sebagai Komik

Marvel sendiri sudah mengeluarkan pernyataan resmi. Dilansir comicbook.com, Marvel menyatakan:

“Karya seni yang dimaksudkan dalam X-Men Gold #1 dimasukkan tanpa sepengetahuan makna di baliknya. Referensi yang tersirat tidak mencerminkan pandangan penulis, editor, atau orang lain di Marvel serta beroposisi langsung dari inklusivitas Marvel Comics dan pendirian X-Men sejak penciptaannya. Karya seni ini akan dihapus dari cetakan berikutnya baik versi digital maupun cetaknya dan tindakan pendisiplinan [untuk Ardian Syaf] segera diambil.”

Pernyataan itu menegaskan kembali prinsip Marvel yang mengedepankan pemikiran inklusif yang menghargai keragaman latar belakang. Juga menegaskan lagi mengapa, sejak dulu hingga hari ini, Marvel tidak segan-segan menampilkan karakter berkulit hitam sampai gay (lebih lengkap baca: Pernyataan Resmi Marvel tentang Ardian Syaf).

Walau pun menjadi korporasi besar yang pandai mencari laba, namun Marvel telah menjadi rumah berbagai superhero yang memiliki latar belakang beragam. Ada Ms. Marvel atau Kamala Khan, superhero muslim yang digambar oleh Sana Amanat, Stephen Wacker, dan G. Willow Wilson. Ada pula Jean-Paul atau Northstar, karakter Marvel pertama yang terbuka sebagai Gay dan muncul berkali-kali dalam seri Marvel dan Alpa Flight. Jangan lupakan cover Atonishing X-Men #51 yang menghadirkan gambar Northstar menikahi Kyle Jinadu.

Hikmat Darmawan menjelaskan komik memang kerap menjadi ajang propaganda dan pemantik kontroversi. Ia mencontohkan Tintin: Lotus Biru, adalah propaganda efektif anti-pendudukan brutal Jepang ke Cina yang dibuat berdasarkan data-data jurnalistik yang otentik.

“Tapi pada saat yang sama, Herge dan serialnya masih sering terjebak stereotipe-stereotipe rasial yang lazim di masa itu. Itulah kenapa Tintin sering dikategorikan mengandung rasialisme lunak,” katanya.

G. Willow Wilson, komikus yang membuat Ms. Marvel, secara terbuka mengutarakan kekecewaan dan kemarahannya terhadap Ardian Syaf yang dianggapnya tidak tahu apa-apa soal agama. Ia tidak hanya membunuh kariernya sendiri, tapi juga dianggap membuat komikus lain yang beragama islam menjadi korban karena ketidakprofesionalan dan kebebalannya. Menurutnya pembelaan yang dilakukan Ardian Syaf sangat "omong kosong", dan ia perlu membaca lebih banyak pemaknaan kata "aulia" dalam Surat Al Maidah. Wilson juga menuduh Ardian setara dengan komikus di Charlie Hebdo yang menyebarkan kebencian.

Komik di Amerika memang tidak bebas dari propaganda politik. Pada 2000-an, saat Pilpres Al Gore vs. George Bush Jr., DC Comics membuat cerita yang mengandung propaganda politik pasca-911: musuh bebuyutan Superman, Lex Luthor, jadi presiden Amerika. Dari situ kita bisa membaca dan menggali cerita yang kritis terhadap kebijakan dalam dan luar negeri AS di dunia nyata.

"Namun semua dilakukan dengan sadar, tidak nyolong-nyolong," sambung Hikmat Darmawan lagi.

Baca juga artikel terkait KOMIK atau tulisan lainnya dari Arman Dhani

tirto.id - Hobi
Reporter: Arman Dhani
Penulis: Arman Dhani
Editor: Zen RS