Menuju konten utama
Mozaik

Dari Cina sampai India: Mereka yang Menulis Ulang Sejarah Negara

Merevisi narasi sejarah dan menjadikannya sebagai sumber resmi tunggal sempat dilakukan Cina, Korsel, Jepang, dan India. Semuanya tak lepas dari kekerasan.

Dari Cina sampai India: Mereka yang Menulis Ulang Sejarah Negara
Ilustrasi Sejarah. foto/istockphoto

tirto.id - Melalui Kementerian Kebudayaan, pemerintah tengah menyusun ulang buku tentang sejarah nasional Indonesia. Dalam rapat terbuka dengan Komisi X DPR RI pada 27 Mei 2025, Menteri Kebudayaan, Fadli Zon, menyampaikan bahwa buku tersebut bakal disusun dalam 10 jilid.

Jumlah ini lebih banyak bila dibandingkan dengan seri buku yang diterbitkan Panitia Penyusun Buku Standar Sejarah Nasional Indonesia (PBSN), yakni Sejarah Nasional Indonesia (1975). Tim yang dikepalai Sartono Kartodirdjo (Ketua Umum), Marwati Djoened Posponegoro (Ketua I), dan Nugroho Notosusanto (Ketua II) itu hanya menerbitkan Sejarah Nasional Indonesia sebanyak 6 jilid.

Namun kiranya peruntukan kedua proyek ini sama, yakni membikin konstruksi dan paradigma sejarah yang dimaksudkan sebagai bahan ajar sejarah, mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Bedanya, proyek terbaru yang dinakhodai Fadli Zon menyatakan bahwa terbitannya diharapkan dapat menjadi "revisi" atas buku Sejarah Nasional Indonesia yang dianggap perlu beberapa penyelarasan.

Terkesan ambisius lantaran proyek penulisan ulang buku ini melibatkan 113 sejarawan dari seluruh Indonesia, termasuk para guru besar, doktor, akademisi, ditunjang pakar-pakar sejarah, arkeologi, antropologi, sampai arsitektur.

Bukan yang Pertama

Di sejumlah belahan dunia, proyek penulisan ulang sejarah acapkali dilakukan untuk penyelarasan atau penyesuaian kebutuhan tertentu, yakni demi kepentingan politik, sentimentalisme ideologis, atau kebutuhan citra diplomatik.

Dalam prakata editor buku Sejarah Nasional Indonesia yang ditulis Sartono Kartodirjo (hlm. xii), alasan utama di balik perhatiannya menulis kembali sejarah Indonesia sebab menurutnya pada masa itu (awal Orde Baru), historiografi yang dimiliki Indonesia merupakan warisan jajahan Belanda. Semangatnya masih mencerminkan neerlando-sentrisme dan mesti diganti dengan Indonesia-sentrisme, yang berarti sudut pandang sejarah harus berpusat dari tolok ukur Indonesia.

Seturut kisah eksploratif Julian Gewirtz yang dihimpun dalam Never Turn Back: China and the Forbidden History of the 1980s (2022), berbagai sengketa, konflik, intrik, dan friksi, yang kerap mengintai dalam derap politik dan negara akan dengan mudah dapat dihapus.

Kisah itu mengacu pada sejarah Revolusi Kebudayaan di Cina pada 1966-1976, yang pada pemerintahan Xi Jinping serta pimpinan besar Mao Zedong diubah total menjadi diversifikasi "pembangunan ekonomi". Pun yang ditunjukkan tesis Tania Branigan dalam Red Memory: The Afterlives of China’s Cultural Revolution (2023): banyak sejarah yang disensor.

Para perwira tinggi militer yang jadi dalang pembantaian Tiananmen 1989 tak akan pernah diadili. Sebab lumbung-lumbung informasi dan sejarah merah negara yang menyangkut mereka telah dikosongkan. Meski demikian, mereka tak akan pernah mampu menghapus luka sejarah.

Ketika Artifical Intellegence (AI) hari ini ditanya perihal peristiwa yang terjadi di Lapangan Tiananmen, maka salah satu sistem AI buatan Cina terkemuka mengklaim, "tidak ada yang terbunuh, dan tidak ada pembantaian." Sebagaimana ditemukan American Edge Project yang mengunggah temuannya lewat "China AI Models: Tiananmen Square".

Raker Komisi X DPR dengan Menteri Kebudayaan

Menteri Kebudayaan Fadli Zon (tengah) didampingi Wakil Menteri Kebudayaan Giring Ganesha (atas) menyampaikan paparan pada rapat kerja dengan Komisi X DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (26/5/2025). ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/nym.

Xi Jinping menghendaki "nihilisme historis", artinya perspektif keragaman sejarah Cina tidak pernah ada. Sejarah hanya dimiliki oleh dirinya dan partai, yang berarti menyimpang sama dengan menyerang komunis.

"Xi telah memerintahkan penulisan ulang besar dari catatan sejarah untuk memperkuat kisah pawai maju yang tak terelakkan—dengan dirinya sendiri di posisi terdepan," tulis Prospect Magazine. Tak ayal pada 23 Februari 2017, Project 2049 Institute menghelat konferensi bertajuk "1984 with Chinese Characteristics: How China Rewrites History".

Hal serupa terjadi di Korea Selatan. Penulisan ulang sejarah di negara itu dianggap rakyat menghilangkan elemen penting dari identitas nasional mereka.

Pada tahun 2015, Presiden Park Geun-hye dikritik setelah kedapatan menyongsong politik legitimasi warisan ayahnya yang sekaligus mantan presiden, Park Chung-hee. Sejarah ditulis ulang untuk membalikkan narasi kudeta militer "The Miracle on the Han".

Dalam sebuah sesi wawancara dengan penyiar Munhwa Broadcasting Corporation (MBC) pada 1989, Park Guen-hye yang waktu itu masih berstatus sebagai warga sipil menganggap kudeta militer 16 Mei 1961 yang dipimpin ayahnya sebagai "revolusi untuk menyelamatkan bangsa". Dia mengklaim "The Miracle on the Han" adalah upaya merisak komunisme yang hendak mengambil alih pemerintahan Korea Selatan.

Lalu saat dirinya menjabat sebagai presiden, baginya penting "untuk memperbaiki sejarah yang terdistorsi" mengenai warisan leluhurnya. Dia menyerukan pengajaran "sejarah yang benar", mengamanatkan konten yang disetujui dalam buku teks, dan semuanya telah diatur lewat kedok seruan bagi persatuan.

Hal itu justru menenggelamkan hak asasi manusia. Sebab demi melancarkan kudeta militer, Park Chung-hee sebetulnya memakai cara kejam dan bengis. Pakar Korea, Seungsook Moon, yang menggambarkan pergantian rezim sebagai "modernisasi militer", menyatakan selama periode industrialisasi ini hak asasi manusia hampir tidak pernah diakui.

Dalam buku Militarized Modernity and Gendered Citizenship in South Korea (2005: 68), buruh dipaksa bekerja dalam situasi ngeri dengan bayaran sangat murah. Namun kondisi itu dibungkus lewat narasi semu patriotisme nasional, "demi masa depan bangsa".

Amnesti Internasional mengecam Korea Selatan sebab tanpa malu menggunakan Undang-Undang Keamanan Nasional sebagai alat untuk menekan hak asasi manusia, serta penolakan negara untuk memberikan rekognisi kepada minoritas seperti urusan gender.

Kasusnya serupa tetapi memiliki konsekuensi berbeda dengan penulisan ulang sejarah yang dilakukan mantan Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe. Dia yang berusaha keras mendorong ambisi dan janji manis aliansi Jepang-Amerika Serikat justru menyibak trauma kelam masyarakat setempat.

Shinzo Abe dibunuh pada 8 Juli 2022 di Kota Nara sebab usahanya mereformasi konstitusi Jepang. Rencananya, revisi sejarah dilakukan sebagai pintu awal upaya diplomatik militer non defensif. Karenanya, Abe dekat dengan sejumlah pemimpin dunia terkemuka, termasuk Donald Trump dan mantan Perdana Menteri Australia, Malcolm Turnbull.

Upaya itu dilakukannya dengan menghapus referensi sejarah Pembantaian Nanking dan industri film porno.

Setelah kematian Abe, Isac Chotiner seorang wartawan The New Yorker bertemu dengan Alexis Dudden dalam sebuah sesi wawancara telepon khusus. Alexis Dudden adalah profesor sejarah University of Connecticut yang mengabdikan penelitian pada Jepang dan Korea modern.

Dudden mengatakan, idealisme ekstremis Abe terhadap warisan Kekaisaran Jepang membuatnya termotivasi menulis ulang sejarah. Semasa hidupnya, Abe telah menerbitkan beberapa artikel dan buku, juga pidato kenegaraan yang menyinggung sejarah serta visinya terhadap modernitas Jepang.

Pada awal 1990-an, Abe yang baru saja mewarisi kursi parlementer dari ayahnya diyakini telah menulis dokumen sangkalan terhadap Pembantaian Nanking. Dudden meyakini artikel itu tersedia di arsip Diet Jepang, walakin kini aksesnya telah diblokir dan keberadaannya tak lagi bisa terlacak.

Abe dan beberapa pimpinan partai menyadari posisi politik Jepang di Asia mesti disokong citra positif tentang tulisan ulang sejarah Jepang, dan masyarakat Jepang harus membacanya.

Saat menjabat Perdana Menteri pada 2006, Abe menyangkal Jepang bertanggung jawab terhadap sistem yang mengatur industri film porno, serta menolak menjamin perempuan yang berprofesi sebagai aktris di industri tersebut. Sederet kampanye putih dilayangkan guna membersihkan namanya juga Jepang, sebagaimana iklan yang pernah mencuat dalam satu kolom penuh Washington Post.

Agenda ini akan memiliki keterhubungan dengan proyeksi pencabutan beberapa situs di Jepang yang telah ditetapkan sebagai situs Warisan Dunia oleh UNESCO. Demi memuaskan UNESCO, Jepang mesti menulis ulang sejarah yang berhubungan dengan lima situs warisan Industri UNESCO: Hagi, Kamaishi, Miike, Nagasaki, dan Yawata.

sejarah

sejarah indonesia

Selama Perang Dunia II, 26 kamp tawanan perang yang diisi lebih dari 13.000 budak dari 16 negara berbeda diserahkan untuk kepentingan industri raksasa Jepang, termasuk Mitsui, Mitsubishi, Sumitomo, dan Nippon Steel.

Ratusan orang tewas di situs-situs ini akibat kebrutalan Jepang. Namun justru lebam, peluh, dan keringat tawanan yang dipaksa bekerja ditahbiskan sebagai warisan dunia. Hipotesis ini pernah ditulis oleh Mindy L. Kotler dalam "UNESCO and Japan’s Rewriting of History" yang dimuat The Diplomat.

Menurut Kotler, salah satu faktor luputnya penilaian UNESCO sebab dokumen sejarah tentang perbudakan dan pelanggaran hak asasi manusia di situs ini tak dilibatkan oleh Shinzo Abe.

Dalam pidato peringatan ulang tahun Jepang ke-75, misalnya, Abe bahkan tak belajar dari sejarah atau menyatakan penyesalan. Sebaliknya malah berkata normatif, "Kita tidak akan pernah lupa bahwa perdamaian dan kemakmuran yang kita nikmati hari ini dibangun di atas pengorbanan berharga dari para korban perang yang tewas," tanpa menyebut-sebut keterlibatan Jepang.

Kebijakan penghapusan yang normatif dan nihil pertanggungjawaban adalah modal kuat citra politik yang dibangun. Bahkan mungkin penokohan yang mesti dianggap suci tanpa cela sedikit pun.

Seperti kebijakan revisi buku teks sejarah dan politik di India yang menghilangkan referensi atas beberapa insiden yang menyeret nama nasionalis Hindu, serta ratusan tahun pemerintahan muslim atas sebagian besar wilayah India modern. Fakta yang memuat kerusuhan Gujarat 2002, ketika 1.000 orang lebih dibantai (mayoritas muslim) dicerabut dari buku teks sejarah India. Waktu itu, Gujarat dipimpin oleh Perdana Menteri India saat ini, Narendra Modi.

Adil Bhat yang menulis "India: History books rewritten by government" (2023) bersaksi bahwa siswa-siswa di Sekolah Umum Adarsh New Delhi telah menerima buku teks sejarah yang direvisi. Tak ada lagi tulisan yang memuat kronik pembunuhan Mahatma Gandhi, yang mencatut nama pembunuh Nathuram Godse, seorang ekstremis dan nasionalis Hindu. Periode panjang India yang diperintah dinasti muslim Mughal juga sekonyong-konyong raib.

Namun kepala sekolah mereka, Pooja Malhotra jutsru setuju atas upaya pemerintah merevisi sejarah untuk bacaan anak didiknya. Baginya, "semua orang tahu bahwa Nathuran Godse membunuh Gandhi, tetapi karena itu terkait dengan Hindu-Muslim, maka itu telah menciptakan banyak rona dan tangisan."

Sejarawan dan aktivis gender, Sucheta Mahajan, lewat artikelnya di Indian Express mengecam tindakan ini sebagai upaya penghapusan kedigdayaan muslim dari sejarah India.

Dimulai dari hal fundamental seperti Partai Bharatiya Janata (BJP) yang mengubah nama jalan dan monumen yang dinamai menurut nama penguasa muslim di New Delhi atau kota-kota terkemuka lainnya. Sampai mengubah nama resmi negara dari India menjadi Bharat. Meski alasannya lantaran penyelarasan historiografi dan ideologi, tetapi kepentingan politik BJP dirasa terlalu dominan.

Di mana pun dan demi kebutuhan apa pun, menulis ulang sejarah akan selalu melahirkan kontroversi. Tetapi yang paling dasar adalah generasi yang baru lahir akan dibuahi dari kuncup dengan narasi palsu. Risikonya, rakyat akan tumbuh dengan buta sejarah.

Tak ada lagi keberagaman. Semua dibungkus dengan nama "persatuan" dan kedok "meminimalisasi konflik" lewat sejarah yang seragam. Namun ketika penyimpangan dan kritik dilayangkan, pendekatan hukum dan kekerasan akan jadi momok menakutkan.

Baca juga artikel terkait SEJARAH atau tulisan lainnya dari Abi Mu'ammar Dzikri

tirto.id - News
Kontributor: Abi Mu'ammar Dzikri
Penulis: Abi Mu'ammar Dzikri
Editor: Irfan Teguh Pribadi