tirto.id - Dandhy Dwi Laksono buka suara terkait pelaporan dirinya ke Polda Jawa Timur oleh Dewan Pengurus Daerah Relawan Perjuangan Demokrasi (DPD Repdem) Jawa Timur, Rabu (6/9/2017). Dandhy mengaku ia bersama YLBHI dan SAFEnet masih mendalami motif dari pelaporan yang dilakukan organisasi sayap PDI Perjuangan itu.
Pria kelahiran 29 Juni 1976 ini menilai, pelaporan tersebut bisa menimbulkan keresahan bagi masyarakat yang ingin mengeluarkan pendapatnya.
“Kami juga sadar, pelaporan ini telah memicu keresahan umum yang daftar korbannya telah dan bisa lebih panjang, dan karenanya harus disikapi melampaui kasus individu yang butuh mediasi atau perdamaian,” kata pendiri Watchdoc ini dalam keterangan tertulis yang diterima Tirto, Kamis (7/9/2017).
Dalam laporannya, Ketua Repdem Jawa Timur, Abdi Edison menyebut status Dandhy di Facebook pada Minggu, 3 September 2017 telah menghina dan menebarkan kebencian pada Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dan Presiden Joko Widodo.
Keberatan Abdi, khususnya terletak pada tulisan Dandhy di paragraf yang berbunyi: "Tepat setelah Megawati kembali berkuasa lewat kemenangan PDIP dan terpilihnya Presiden Joko Widodo yang disebutnya ''petugas partai'' (sebagaimana Suu Kyi menegaskan kekuasaannya), jumlah penangkapan warga di Papua tembus 1.083 orang, mengalahkan statistik tertinggi di era Presiden SBY (2013) yang berjumlah 548 orang."
Merespons tulisan tersebut, DPD Repdem Jawa Timur melaporkan Dandhy atas pelanggaran Pasal 27 dan Pasal 28 UU Nomor 11/2008 sebagaimana telah diubah dalam UU Nomor 19/2017 tentang perubahan atas UU 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Dandhy dianggap mencemarkan nama baik Megawati, Presiden Jokowi dan PDI Perjuangan.
Secara pribadi, mantan produser Liputan6 SCTV ini merasa tidak pernah punya masalah dengan Repdem atau PDIP. Karena itu, Dandhy tidak mau bertindak secara terburu-buru, meskipun ia menyadari jika laporan tersebut telah menambah panjang daftar penyalahgunaan pasal karet dalam UU ITE hanya karena mengutarakan pendapat di media sosial.
Dandhy justru berharap ada artikel bantahan atau perspektif pembanding terhadap tulisannya daripada laporan polisi. Dandhy menuturkan, belakangan ini banyak kasus-kasus yang menuntut perhatian publik lebih besar daripada sekadar mempidanakan seseorang akibat pendapatnya di muka umum.
“Dibanding kasus-kasus tersebut, apalagi penangkapan 4.996 orang Papua sepanjang 2016 dan tragedi Rohingya, kasus pelaporan ini tentu tidak ada apa-apanya,” kata Dandhy dalam akun resmi Facebook miliknya. Hingga saat ini, Dandhy mengaku masih akan mengumpulkan informasi terkait pelaporan dirinya. Ia bersama dengan YLBHI dan SAFEnet akan melakukan respons dengan pertimbangan yang terukur.
“Apakah ini semata sikap reaksioner sekelompok partisan politik yang memanfaatkan ‘pasal-pasal karet’ dalam UU ITE dan KUHP, atau sebuah varian represi baru bagi kebebasan berpendapat tanpa mengotori tangan dan citra kekuasaan,” kata Dandhy.
Sementara itu, saat dikonfirmasi Tirto, pada Rabu (6/9/2017) malam, Ketua Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Repdem, Masinton Pasaribu mengaku belum tahu terkait pelaporan Dandhy Dwi Laksono ke Polda Jatim. “Saya belum dapat laporan soal itu,” kata Masinton.
Anggota Komisi III DPR ini menyatakan dirinya akan segera menghubungi pengurus Repdem Jawa Timur guna memastikan kebenarannya.
Terkait status Facebook yang diunggah Dandhy, Masinton mengaku belum membacanya secara utuh. Sehingga ia tidak bisa berkomentar tentang isinya. “Aku enggak komentar untuk sekarang. Kubaca dulu nanti itu tulisannya,” kata Masinton.
Baca juga: Dandhy Dwi Laksono Dipolisikan oleh Repdem
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Abdul Aziz