tirto.id - Para pemilih disuguhi celetukan "sontoloyo", "genderuwo", "tampang Boyolali" dari kedua kandidat capres dalam Pilpres 2019. Istilah itu seolah menunjukkan keduanya kehabisan kata dan gagasan yang bermutu untuk diadu dalam pesta demokrasi ini.
Pemilu dan Pemilu Presiden 2019 disokong dana sebesar Rp24,8 triliun dari negara. Anggaran ini naik tiga persen atau bertambah Rp700 miliar dibanding biaya Pemilu dan Pilpres 2014 yang mencapai Rp24,1 triliun. Pada 2018, pemerintah juga telah mengalokasikan anggaran pemilu sebesar Rp16 triliun.
Namun, naiknya anggaran tak serta merta membikin adu gagasan muncul. Sebaliknya, hanya memenuhi ruang publik dengan ujaran yang disebut dosen psikologi politik Universitas Indonesia Hamdi Muluk sebagai "jargon".
"Dalam konteks ini lebih tepat disebut jargon politik atau retorik politik demi kepentingan kampanye," kata Hamdi di Jakarta, Kamis (15/11/2018).
Kampanye politik, kata Hamdi, punya tujuan mendelegitimasi lawan dan melegitimasi diri sendiri. Ini yang membuat adu retorika jadi hal biasa dan terkadang sengaja dibikin untuk menarik perhatian publik.
Hamdi lantas menjelaskan bagaimana tahapan marketing politik diciptakan untuk menarik perhatian publik. Pertama, kata dia, membangun kesadaran alias awarness. Tahap kedua yakni keterikatan atau engagement, dan tahap terakhir ialah disukai atau likeability.
"Saya menduga jargon-jargon ini untuk menarik perhatian publik, agar kesadaran masyarakat tinggi," ucap Hamdi.
Dalam kontesk adu jargon yang muncul dalam tahapan pilpres ini, Hamdi menilai, jargon kubu Jokowi bukan lagi untuk menarik perhatian tapi sebagai bentuk protes lantaran ia sering diserang lawan.
"Jokowi tidak lagi mencari populer, ia ingin memberikan sinyal tertentu bagi lawan politik. Mungkin juga sebagai curhat sebagai korban hoax atau fitnah," kata guru besar kelahiran Padang Panjang ini.
Namun, Hamdi memberi catatan, secara substantif jargon-jargon para capres tidak penting. Sebab masyarakat jengah kepada para politikus yang mengumbar jargon, serta bermain fitnah dan hoax.
"Itu bukan pendidikan politik yang baik. Kami ingin politik yang lebih bermartabat," tegas Hamdi.
Harusnya Adu Program
Dosen Komunikasi Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Gun Gun Heryanto memandang ada perbedaan gaya komunikasi politik antara kedua capres.
"Jokowi bergaya ekualitarian dan Prabowo bergaya dinamis," kata Gun Gun. Kedua gaya ini dinilai memiliki pengaruh pada konstruksi pesan yang disampaikan.
Ekualitarian itu, lanjut Gun Gun, lebih mengarah kepada kesetaraan. Ia mengatakan Jokowi jarang menggunakan diksi yang "tinggi" atau sulit dimengerti masyarakat. "Ia bukan orator yang baik, tapi komunikator politik yang sangat baik. Karena mampu mengelola power tanpa menggunakan bahasa yang 'tinggi'," jelasnya.
Orang ekualitarian mencoba membingkai pesan dengan harmonis dan sederajat. Pernyataan Jokowi tentang "politikus genderuwo" dinilai Gun Gun sebagai attacking campaign yang implisit tanpa menyebutkan siapa orang yang dimaksudkan.
"Namun masyarakat menduga metakomunikasi diarahkan ke siapa, di situlah warna-warni komunikasi malah hidup. Sebab orang bermain imaji dan menimbulkan diskursus publik," terangnya.
Sedangkan Prabowo yang bergaya dinamis cenderung eksplisit mengungkapkan pernyataan. Tipe itu, menurut Gun Gun, lebih menggunakan kalimat lugas. Namun risiko dari tipe ini, pernyataan yang dilontarkan dapat dimaknai berbeda oleh publik.
Dalam konteks "tampang Boyolali", Prabowo membincangkan ketimpangan sosial. Namun, masyarakat yang diperbincangkan justru fokus pada ujaran yang dilepas dari konteksnya. Dampaknya berujung pada blunder.
Meski begitu, bagi Gun Gun, pertarungan Pilpres 2019 harusnya mulai bergeser ke ranah adu program. Menurutnya dengan begitu "simpati publik lebih mudah diraih."
Penulis: Adi Briantika
Editor: Dieqy Hasbi Widhana