Menuju konten utama

Dalil Saksi Ahli Sultan Soal Dasar Larangan Cina Punya Tanah di DIY

"Kalau nanti kesenjangan itu sudah tidak tajam, kemiskinan berkurang, saya kira instruksi itu akan dihapus," kata Suyitno.

Dalil Saksi Ahli Sultan Soal Dasar Larangan Cina Punya Tanah di DIY
(Ilustrasi) Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan HB X menjawab pertanyaan wartawan seusai Rapat Paripurna Penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY Periode 2017-2022 oleh DPRD DIY di kantor DPRD DIY, Rabu (2/8/2017). ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko

tirto.id - Anggota Parampara Praja—lembaga non struktural penasihat Gubernur DIY—Suyitno mengatakan Instruksi Wagub DIY tahun 1975, yang melarang warga nonpribumi memiliki hak milik atas tanah di Yogyakarta, baru layak dihapus jika kesenjangan sudah tidak ada di DIY.

Suyitno menjadi saksi ahli dari pihak tergugat, dalam hal ini Gubernur DIY Sri Sultan Hamengkubuwana X dan Badan Pertanahan Nasional (BPN), dalam sidang gugatan melawan Instruksi Wagub DIY tahun 1975.

"Instruksi itu adalah kebijakan, filosofinya mau mengentaskan dan mengurangi kesenjangan. Kalau nanti kesenjangan itu sudah tidak tajam, kemiskinan berkurang, saya kira instruksi itu akan dihapus," kata Suyitno di ruang sidang Pengadilan Negeri Yogyakarta, Selasa (9/1/2018).

Suyitno menambahkan, penghapusan instruksi tersebut sulit karena sudah menjadi bagian dari budaya dan sejarah.

"[Penghapusan] itu memang harus hati-hati, dan sekali lagi ini adalah sejarah, budaya, dan untuk menghapus itu tidak semudah membalikkan telapak tangan," kata dia.

Dia menambahkan, "Jadi ini bertahap, mohon sabar saja. Kalau kesenjangan sudah tidak ada, kalau masyarakat mendukung dan memahami, saya kira tidak lama, makin cepat makin baik."

Suyitno juga menanggapi pendapat Handoko, seorang advokat keturunan Tionghoa, selaku penggugat di perkara ini, yang mempermasalahkan penyebutan pribumi dan nonpribumi dalam instruksi tersebut.

Sebab, ada Instruksi Presiden Nomor 26 tahun 1998 tentang Menghentikan Penggunaan Istilah Pribumi dan Nonpribumi dalam Semua Perumusan dan Penyelenggaraan Kebijakan, Perencanaan Program, ataupun Pelaksanaan Kegiatan Penyelenggaraan Pemerintahan.

"Dasar hukum dari instruksi kepala daerah yaitu kewenangan atau otonomi yang belum dicabut. Instruksi gubernur kepala daerah itu dasarnya adalah UU 3/50 (UU Nomor 3/1950 tentang Pembentukan DIY)," kata Suyitno.

Ia juga menyebut, sesuai dengan Pasal 163 Indische Staatsregeling (IS), yang mengatur pembagian golongan masyarakat di hadapan hukum pada zaman penjajahan Belanda, nonpribumi adalah termasuk golongan eropa, golongan timur asing, dan selain itu disebut pribumi.

"Jadi itu pun bagian sejarah yang ditinggalkan Belanda dulu, pembagian bangsa eropa, bangsa timur asing, bangsa pribumi," katanya.

Ia menambahkan, secara esensi, Instruksi Wagub DIY tahun 1975 hanya membedakan pribumi dan nonpribumi tanpa menyebut etnis tertentu, meski selama ini aturan itu kerap berlaku bagi warga etnis Cina.

Suyitno menekankan, bahwa aturan itu akan dicabut jika dianggap sudah tidak berguna, dengan indikator sudah berkurangnya kesenjangan dan kemiskinan. "Selama ini kalau peraturan itu merupakan kebijakan dan gubernur menganggap itu masih bijaksana ya kenapa tidak?" kata Suyitno.

Sebelumnya, saksi ahli dari pihak penggugat, yakni Pakar Hukum Tata Negara UII, Ni'matul Huda menilai Instruksi Wagub DIY tahun 1975 seharusnya tidak berlaku lagi karena bertentangan dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA).

"Dalam kajian akademik dan praktiknya berbeda. Kalau dalam kajian akademik kan itu [instruksi] otomatis harusnya tidak berlaku karena dia bertentangan dengan UUPA, tapi pada kenyataannya diberlakukan terus, karena belum dicabut," kata Ni'matul.

Menurut Ni'matul, instruksi itu hanya bisa dicabut oleh pembuatnya atau dengan peraturan yang lebih tinggi.

Baca juga artikel terkait KONFLIK TANAH atau tulisan lainnya dari Dipna Videlia Putsanra

tirto.id - Hukum
Reporter: Dipna Videlia Putsanra
Penulis: Dipna Videlia Putsanra
Editor: Addi M Idhom