Menuju konten utama
Saksi Ahli:

Larangan Cina Punya Tanah di DIY Harus Diperdakan Biar Bisa Digugat

Menurut Ni'matul, instruksi itu hanya bisa dicabut oleh pembuatnya atau dengan peraturan yang lebih tinggi.

Larangan Cina Punya Tanah di DIY Harus Diperdakan Biar Bisa Digugat
(Ilustrasi) kawasan Titik Nol Kilometer, DI Yogyakarta, Kamis (2/11/2017). ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah

tirto.id - Pakar Hukum Tata Negara, Ni'matul Huda menilai Instruksi Wagub DIY tahun 1975 yang melarang warga nonpribumi memiliki hak milik atas tanah di Yogyakarta harus dijadikan peraturan daerah, agar masyarakat bisa menggugatnya ke Mahkamah Agung (MA).

Hal itu disampaikannya saat menjadi saksi ahli hukum tata negara dalam sidang gugatan melawan Instruksi Wagub DIY tahun 1975 di Pengadilan Negeri Yogyakarta, Kamis (4/1/2018).

"Konteksnya dengan yang sedang dimohonkan di sini, saya pernah mengusulkan ke DPRD Provinsi (DIY) supaya dinaikkan status dari instruksi menjadi perda," kata Ni'matul, menjawab pertanyaan hakim anggota Nuryanto soal status instruksi dari sisi hukum ketatanegaraan.

Pasalnya, menurut Ni'matul, status Instruksi Wagub tersebut secara praktik masih berlaku di DIY. Padahal, dengan adanya Undang-undang Pokok Agraria (UUPA), otomatis instruksi tersebut tidak berlaku lagi.

Terlebih, pada 1983, Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Gubernur sekaligus Raja Keraton Yogyakarta, mengumumkan bahwa UUPA nomor 5 tahun 1960 berlaku penuh di Yogyakarta.

"Dalam kajian akademik dan praktiknya berbeda. Kalau dalam kajian akademik kan itu [instruksi] otomatis harusnya tidak berlaku karena dia bertentangan dengan UUPA, tapi pada kenyataannya diberlakukan terus, karena belum dicabut," kata Ni'matul.

Menurut Ni'matul, instruksi itu hanya bisa dicabut oleh pembuatnya atau dengan peraturan yang lebih tinggi. Oleh karena itu, dosen hukum di Universitas Islam Indonesia (UII) ini menyarankan agar instruksi tersebut dinaikkan statusnya sehingga bisa digugat di MA.

Baca: Susahnya Tionghoa Punya Tanah di Yogya

Pada Januari 2015, Handoko, warga keturunan Tionghoa, selaku penggugat mendaftarkan perkara surat instruksi tersebut ke MA. Namun, MA menolak karena surat itu dianggap bukan produk undang-undang, sehingga MA tidak bisa mengadilinya.

MA pun memutus N.O, dengan menyatakan bahwa gugatan tidak dapat diterima, karena alasan gugatan mengandung cacat formil.

Handoko pun pernah membawa surat instruksi itu ke Pengadilan Tinggi Usaha Negara (PTUN) Yogyakarta, namun PTUN tidak bisa mengadili karena surat instruksi itu bukan termasuk diskresi.

"Dibawa ke PTUN tidak bisa, dibawa ke MA juga di N.O, tapi instruksi itu tetap berlaku, ini kan menjadi enggak adil. Kalau dinaikkan status jadi perda maka masyarakat bisa menggugat melalui judicial review di MA," ujar Ni'matul di Ruang Sidang PN Yogya.

Ni'matul Apabila MA mengatakan perda tersebut benar. Maka, lanjut Ni'matul, urusannya selesai. Namun, jika tidak, maka akan terus terjadi gugat menggugat yang tidak ada pemecahannya.

"Praktiknya harus dibawa ke pengadilan, di Mahkamah Konstitusi jelas banyak undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi, tapi baru setelah ada keputusan pengadilan mengatakan bahwa ini bertentangan, baru dianggap tidak berlaku," katanya.

Dalam hal ini, pengadilan juga bisa memberikan putusan sela agar untuk sementara instruksi tersebut tidak berlaku. Atau bisa juga instruksi tersebut diatur menjadi regulasi dalam konteks kekinian, yaitu peraturan.

Baca: Mengapa Nonpribumi Tak Boleh Punya Tanah di Yogya?

Handoko, menggugat Gubernur DIY Sri Sultan Hamengkubuwana X dan Kepala Kanwil BPN DIY atas perbuatan melawan hukum berupa pemberlakuan Instruksi Wakil Kepala Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta No. K.898/I/A/1975 tanggal 5 Maret 1975 perihal “Penyeragaman Policy Pemberian Hak Atas Tanah kepada Seorang WNI Non Pribumi."

Sidang yang dipimpin Hakim Ketua Cokro Hendromukti hari ini diselenggarakan dengan agenda mendengarkan keterangan saksi ahli dari pihak penggugat. Sidang akan dilanjutkan Selasa (9/1/2018) untuk mendengarkan keterangan saksi ahli dari pihak tergugat, dalam hal ini, BPN dan Pemda DIY.

Baca juga artikel terkait TANAH atau tulisan lainnya dari Dipna Videlia Putsanra

tirto.id - Hukum
Reporter: Dipna Videlia Putsanra
Penulis: Dipna Videlia Putsanra
Editor: Alexander Haryanto