tirto.id - Muktamar Muhammadiyah dijadwalkan berlangsung pada 18-20 November 2022.
Jauh sebelum itu, organisasi ini sudah menyiapkan berbagai isu strategis terkait keumatan hingga program kerja tahun 2022-2027.
“Selain bisa sukses, semoga mampu menghasilkan rumusan-rumusan dan gagasan yang akan berkontribusi terhadap kemajuan Muhammadiyah dan Indonesa ke depan, khususnya Jawa Tengah dan Purbalingga,” ungkap Dyah Hayuning Pratiwi, Bupati Kabupaten Purbalingga, dilansir dari Antaranews.
Menurut keterangan di situs Muhammadiyah, sudah diadakan Sidang Pleno I pada Sabtu-Minggu (5-6/11/2022).
Pada sidang tersebut, dihasilkan beberapa program kerja (masa bakti 2022-2027), dari Isu Strategis Kemanusiaan Universal, sampai Isu Strategis Keumatan.
“Muhammadiyah melihat problem bukan semata dijadikan isu, tapi juga cara pandang kita terkait dengan solusi yang dapat ditawarkan. Sehingga, Muhammadiyah mengangkat isu bukan hanya rencana tapi terlibat langsung serta mengajak semua aspek menyelesaikannya,” ungkap Haedar Nashir, Ketua Umum PP Muhammadiyah, dilansir dari situs Muhammadiyah.
Dari penjelasan Haedar di atas, organisasinya akan terjun langsung dalam pelaksanaan isu-isu serta program.
Dengan begitu, isu tersebut akan diaplikasikan dengan cara mengajak berbagai macam pihak di Muhammadiyah dalam upaya menyelesaikan tujuannya.
Daftar Isu Strategis Keumatan di Muktamar Muhammadiyah ke-48
Di artikel lain situs Muhammadiyah, Ilham menjelaskan terdapat 6 isu strategis yang dicanangkan dalam Muktamar Muhammadiyah ke-48. Berikut ini penjelasan mengenai isu-isu tersebut.
1. Fenomena Rezimintasi Paham Agama
Indonesia diklaim sebagai negara yang mayoritas kepercayaannya beragama Islam. Namun, hal ini tidak boleh menjadikan agama tersebut melakukan dominasi.
Oleh sebab itu, Muhammadiyah mengungkapkan beberapa sarannya demi menyelesaikan isu ini.
Di antaranya sebagai berikut.
- Menyarankan negara harus punya sikap moderat
- Menyarankan penguatan organisasi Islam terhadap paradigma wasathiyah Islam
- Menyarankan negara agar jadi penghubung semua umat atau organisasi agama di Indonesia
- Menyarankan negara punya sifat netral serta tak melibatkan agama dalam politik
- Menyarankan negara agar tak membuat segregasi politik pada ormas Islam
Perkembangan teknologi sudah merasuk ke dunia modern sekarang, tidak terkecuali Indonesia yang pendudukan paling banyak beragama Islam.
Karenanya, Muhammadiyah menyatakan perlu adanya dasar nilai tertentu.
Dasar nilai ini nantinya digunakan sebagai pembatas perilaku umat di media sosial. Dengan begitu, mereka tetap menjalankan aturan moral serta bisa mewujudkan sikap saleh di dunia digital.
3. Memperkuat Persatuan Umat
Indonesia memang mayoritas penduduknya beragama Islam. Akan tetapi, jumlah tersebut diklaim Muhammadiyah belum mendapatkan arti yang cukup baik untuk perkembangan.
Oleh sebab itu, pihaknya menyarankan perlunya komunikasi yang intensif. Maksud dari komunikasi ini agar para pemimpin organisasi Islam bisa saling terhubung sebagai sahabat.
Selain itu, demi mewujudkan penghilangan aspek primordialisme di masing-masing pihak.
4. Reformasi Tata Kelola Filantropi Islam
Selama setahun, Indonesia punya dana filantropi sebanyak puluhan triliun. Angka tersebut dikatakan mesti didukung oleh tata kelola serta distribusi yang baik.
Hal ini dilakukan demi mencegah terjadinya konflik kepentingan serta gugatan-gugatan publik.
5. Beragama yang Mencerahkan
Negara Indonesia, khususnya yang beragama Islam, diklaim religius. Hal ini disebutkan berdasarkan ketaatan mereka beragama, mempraktikkan ajaran, hingga mengaji.
Kendati demikian, musti ada sebuah gebrakan yang bisa mencerahkan. Jadi, bukan hanya kebiasaan yang memang setiap hari dilakukan. Muhammadiyah menyarankan adanya kajian agama agar pencerahan umat terjadi.
Dengan begitu, agama bukan hanya dijalankan. Tapi, juga dipahami dan diperdalam. Melalui hal tersebut, diharap ajaran bisa memajukan serta menggerakan umat.
6. Autentisitas Wasathiyah Islam
Sebagai umat Muslim yang hidup di Indonesia, wasathiyah yang berarti beragama pertengahan ini bisa diterapkan agar terjadi sikap adil, arif, ihsan, dan damai.
Maksud pertengahan ini ialah tidak menyudutkan pihak-pihak atau organisasi lain yang tak sepaham.
Dengan begitu, masing-masing perbedaan yang ada di dalam masyarakat bisa diselesaikan masalahnya.
Penulis: Yuda Prinada
Editor: Dhita Koesno