tirto.id - Gubernur Jenderal VOC, Jan Pieterzoon Coen, memimpin langsung ekspedisi penting ke Kepulauan Banda, Maluku, pada 1621 itu. Armada Belanda kali ini berkekuatan cukup besar dengan memberangkatkan 13 kapal angkut ditambah beberapa kapal pengintai, yang membawa ribuan penumpang.
Tidak kurang dari 1.600 orang tentara, 300 orang narapidana dari Jawa, 100 orang samurai bayaran dari Jepang (ronin), hingga 286 budak belian, ditambah 40 awak kapal, disertakan dalam pelayaran panjang dari Batavia itu (Des Alwi, Sejarah Maluku: Banda Naira, Ternate, Tidore, dan Ambon, 2005:105).
Jan Pieterzoon Coen punya misi khusus selain berupaya menguasai pulau-pulau penghasil rempah-rempah di Kepulauan Banda. Ia mengusung dendam kesumat terhadap rakyat Banda yang telah dipendamnya selama 12 tahun.
Pembalasan Dendam J.P. Coen
Jan Pieterzoon Coen ada di tempat kejadian perkara saat peristiwa itu terjadi 12 warsa sebelumnya. Ia bahkan nyaris kehilangan nyawa. Beruntung, Coen berhasil meloloskan diri dari insiden berdarah di Banda Naira tersebut.
Coen yang kala itu mendampingi Laksamana Pieterszoon Verhoeven, pemimpin ekspedisi pertama VOC ke Kepulauan Banda pada 1609, sebagai juru tulis, ikut menghadiri ajakan perundingan yang ditawarkan para Orang Kaya –istilah untuk menyebut tokoh-tokoh masyarakat Banda– pada 22 Mei 1609.
Baca Juga: Akhir Riwayat Batavia di Utara Jakarta
Masyarakat Banda saat itu telah menjalin relasi dengan Inggris yang juga menghendaki surga rempah-rempah di Maluku. Kehadiran VOC atau Belanda di Banda membuat situasi memanas sehingga dirasa perlu untuk digelar forum perundingan (John A. Pattikayhatu, Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Daerah Maluku, 1983:31).
Orang Kaya di Banda menawarkan kepada VOC untuk berunding, dengan syarat, harus ada jaminan berupa dua orang sandera. Verhoeven setuju. Ia berangkat bersama para pimpinan ekspedisi lainnya, juga JP Coen yang memang selalu mengiringi ke manapun sang laksamana pergi.
Sebagai jaminan seperti yang diminta Orang Kaya, Laksamana Verhoeven menyertakan dua saudagar Belanda bernama Jan de Molre dan Nicolaas de Visscher. Namun, Verhoeven tetap membawa pasukan lengkap. Beberapa orang Inggris yang semula ditawan VOC juga diikutkan dengan maksud diserahkan kembali sebagai hadiah.
Delegasi VOC segera menuju ke lokasi yang sebelumnya disepakati sebagai tempat perundingan, yaitu di bawah sebuah pohon besar yang terdapat di pesisir bagian timur Pulau Naira. Namun, tidak ada siapapun di situ ketika rombongan Verhoeven tiba.
Verhoeven lalu memerintahkan orang kepercayaannya, Adriaan Ilsevier, mencari di mana keberadaan Orang Kaya. Tak lama kemudian, Ilsevier menemukan Orang Kaya di permukiman di dalam hutan. Mereka beralasan takut karena melihat VOC datang dengan pasukan bersenjata. Kepada Ilsevier, para Orang Kaya meminta agar Verhoeven menemui mereka hanya ditemani beberapa orang saja.
Baca Juga: Keruwetan Perang Ternate-Portugis vs Tidore-Spanyol
Permintaan itu pun dipenuhi oleh Verhoeven yang mengajak kurang dari 30 orang saja. Ternyata, itu jebakan. Sesampainya di lokasi, rombongan kecil VOC disergap. Tidak kurang dari 27 orang Belanda mati dibunuh, termasuk Verhoeven (Rosihan Anwar, Perkisahan Nusa, 1986:182).
Coen yang ikut dalam delegasi itu bernasib mujur karena masih sempat melarikan diri meskipun ia melihat sendiri pembantaian tersebut. Bersama anggota ekspedisi VOC yang tersisa, ia bergegas meninggalkan kepulauan itu.
Ambisi Belanda untuk menguasai Kepulauan Banda pun harus ditunda dalam jangka waktu yang cukup lama. Dan itulah nantinya yang bakal diwujudkan oleh Coen dengan dendam kesumatnya.
Misi Kedua VOC ke Surga Pala
Karier J.P. Coen setelah peristiwa nahas di Kepulauan Banda itu ternyata melejit. Pada 1617, ia diangkat sebagai Gubernur Jenderal VOC yang berkedudukan di Batavia. Kendati telah mencapai level tertinggi dalam jenjang kariernya, namun Coen tidak pernah bisa melupakan kenangan kelam yang terjadi di Banda Naira beberapa tahun lalu.
Selain itu, Belanda memang masih menghendaki penguasaan atas pulau-pulau penghasil rempah-rempah di Banda, terutama pala yang kala itu merupakan salah satu komoditas paling laku dan berharga tinggi di Eropa.
Dari 6 pulau yang terdapat di Kepulauan Banda, 6 pulau di antaranya merupakan penghasil pala, juga cengkeh, paling potensial, yakni Pulau Lontor, Pulau Run, Pulau Ai, Pulau Neira, dan Pulau Rozengain (Didik Pradjoko & Bambang Budi Utomo, Atlas Pelabuhan-Pelabuhan Bersejarah di Indonesia, 2013:313).
Baca Juga: Belanda Melepas Manhattan Demi Pulau Kecil di Maluku
Mengingat apa yang terjadi pada 1609, juga “kelicikan” Orang Kaya di sana, Coen berkesimpulan VOC bisa menguasai perdagangan rempah-rempah di Kepulauan Banda hanya dengan cara mengusir atau menghabisi orang-orangnya. Saat itu, jumlah penduduk Banda sudah mencapai sekitar 14 ribu jiwa, yang sebagian besar telah memeluk agama Islam.
Kesempatan itu datang pada 1621 setelah dewan pimpinan VOC menyetujui rencana Coen yang berkeinginan mengirimkan ekspedisi besar kedua ke Kepulauan Banda di Maluku. Banda harus ditaklukkan, baik dengan cara damai maupun perang. Persiapan pun segera dilakukan, termasuk asa Coen untuk menuntaskan dendam.
Rakyat Banda Dibantai Belanda
Coen memimpin langsung ekspedisi Belanda kedua ke Kepulauan Banda pada 1621 itu. Tujuan awal berlabuh di Pulau Neira, tempat yang dulu sempat digunakan pendahulunya, Laksamana Pieterszoon Verhoeven, membangun kembali bekas benteng Portugis pada 1609 silam. Benteng itu kemudian dinamakan Benteng Nassau dan menjadi salah satu pusat pertahanan VOC di Kepulauan Maluku.
Tanggal 27 Februari 1621, armada pimpinan Coen tiba Benteng Nassau. Setelah itu, VOC langsung menyerang dan menguasai Pulau Lontor, serta menjadikan salah satu desa di pulau itu sebagai markas (E. M. Jacobs, Merchant in Asia: The Trade of the Dutch East India Company During the Eighteenth Century, 2006:20).
Kapten Martin ‘tSonck ditunjuk sebagai Gubernur Banda dengan berkantor di balai desa. Sementara masjid yang terletak di sebelahnya dijadikan sebagai tempat penginapan orang-orang Belanda. Hal ini sebenarnya tidak disetujui oleh warga setempat, namun mereka tidak dapat berbuat apa-apa.
Hari-hari tegang dan mencekam, namun belum terjadi insiden berarti. Hingga suatu malam, terdengar suara keras dari dalam masjid. Rupanya, lampu gantung jatuh dengan tiba-tiba. Namun, kegaduhan itu membuat Belanda curiga dan menuduh warga sedang mempersiapkan serangan (Hendri F. Isnaeni, “Genosida VOC”, historia.id, 2010).
Kericuhan tidak terhindarkan karena VOC segera merespons dengan tindakan keras, bahkan kejam. Warga dibantai tanpa ampun, tidak hanya di Pulau Lontor dan Naira, melainkan di pulau-pulau lainnya. Yang berhasil melarikan diri hanya sekitar 300-an orang saja.
Baca Juga: Pembantaian Oleh Belanda di Pedalaman Aceh
Pasukan VOC beserta para serdadu bayarannya menghancurkan apapun yang mereka temui, termasuk rumah-rumah penduduk dan perahu-perahu milik warga, selain terus membunuhi orang-orang yang tidak sempat kabur.
Tanggal 8 Mei 1621, Belanda menangkap 8 Orang Kaya atau orang-orang berpengaruh bagi masyarakat Banda. Mereka dituding sebagai pemicu kerusuhan dan dieksekusi mati oleh 6 orang samurai. Tubuh mereka dipotong menjadi 4 bagian (Des Alwi, 2005:79).
Masih di tanggal yang sama, 36 orang tokoh masyarakat Banda lainnya lantas diciduk lalu kepala mereka dipenggal. Potongan kepala dan tubuh Orang Kaya itu lalu ditancapkan di sepotong bambu untuk dipertontonkan kepada warga lainnya sebagai peringatan. Total, ada 44 orang pemuka masyarakat Banda yang menjadi korban kebengisan VOC.
Coen memang bertindak sangat kejam sebagai perwujudan balas dendam. Hampir seluruh penduduk di Kepulauan Banda dimusnahkan dengan sangat kejam dan tidak berperikemanusiaan (R.Z. Leirissa & Djuariah Latuconsina, Sejarah Kebudayaan Maluku, 1999:111). Diperkirakan dari 15 ribuan penduduk Kepulauan Banda saat itu, yang tersisa kurang dari 1000 orang saja akibat pembantaian VOC tersebut.
Setelah berhasil “membersihkan” sebagian besar penduduknya, Belanda lalu sepenuhnya menguasai Kepulauan Banda yang amat kaya dengan rempah-rempah itu dan mendapatkan keuntungan besar selama berpuluh-puluh tahun kemudian.
===============================
Terdapat kekeliruan yang anakronistik di artikel ini soal pencantuman kota Batavia dalam kalimat "Bersama anggota ekspedisi VOC yang tersisa, ia bergegas berlayar pulang ke Batavia" (alinea ke-12).
Pada konteks kalimat itu, yang peristiwanya terjadi pada 1609, Batavia belum berdiri. Kota ini secara resmi didirikan dan diberi nama "Batavia" pada 18 Januari 1621 oleh J.P. Coen.
Redaksi mengubah kalimat tersebut menjadi "Bersama anggota ekspedisi VOC yang tersisa, ia bergegas meninggalkan kepulauan itu."
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Zen RS