Menuju konten utama

Corona Bikin Pengangguran Terbanyak sejak Era SBY, Jokowi Bisa Apa?

Angka pengangguran mencetak rekor terbanyak sejak era SBY karena pandemi Corona. Apa yag bisa dilakukan pemerintahan Joko Widodo?

Corona Bikin Pengangguran Terbanyak sejak Era SBY, Jokowi Bisa Apa?
Presiden Jokowi lagi memberikan pengarahan penanganan Covid-19 dan PEN di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (3/8/2020). Kris/Biro Pers Sekretariat Presiden

tirto.id - Pandemi COVID-19 memukul mundur pencapaian penurunan pengangguran selama periode pertama plus satu tahun setengah periode kedua pemerintahan Joko Widodo.

Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan jumlah penganggur per Agustus 2020 mencapai 9,77 juta orang, dengan tingkat pengangguran terbuka (TPT) 7,07%. Bukan hanya meningkat 2,67 juta orang dari Agustus 2019, jumlah ini juga jadi yang terburuk sejak 2007. Per Agustus 2007, di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), angka pengangguran sempat menyentuh 10,01 juta dengan TPT 9,11%.

Di akhir periode pertama SBY, pengangguran menyentuh 8,96 juta (TPT 7,87%) dan di akhir periode dua turun lagi menjadi 7,24 juta (TPT 5,94%). Para Februari 2020, beberapa bulan setelah periode pertama Jokowi berakhir, pengangguran ditekan ke angka 6,88 juta (TPT 4,99%).

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Mohammad Faisal mengatakan lonjakan pengangguran ini tidak terhindarkan. COVID-19 telah menyebabkan banyak orang kehilangan pekerjaan dan otomatis pemasukan. UMKM dan sektor informal yang sering disebut jadi penyelamat pada krisis 1998 dan 2008 pun tidak bisa banyak berkutik.

Dampak pandemi sebenarnya lebih parah dari sekadar penambahan 2,67 juta penganggur. “Jumlah yang kehilangan pekerjaan aslinya lebih besar lagi. Sebagian mereka dari penuh [waktu] jadi part time. Itu efek juga,” ucap Faisal kepada reporter Tirto saat dihubungi, Kamis (5/11/2020).

Data BPS mencatat sebenarnya ada 9,46 juta orang yang kehilangan pekerjaan sebagai pekerja penuh alias mereka yang bekerja 8-10 jam per hari--mewakili pekerja kontrak dan tetap. Pekerja penuh waktu ini beralih menjadi pekerja paruh waktu (4,32 juta) dan setengah menganggur (4,83 juta). Pekerja paruh waktu pun naik dari 28,41 juta menjadi 33,34 juta dan setengah menganggur naik dari 8,14 juta menjadi 13,09 juta orang.

Perlu diingat pekerja setengah menganggur sebenarnya sudah bekerja tetapi masih ingin mencari pekerjaan lagi. Kondisi kebutuhan lapangan kerja pun jadi semakin runyam ketimbang pengangguran 9,77 juta. Belum lagi tiap tahunnya diperkirakan ada tambahan tiga juta pekerja dari lulusan baru.

Di sisi lain, meski sebagian pekerja telah beralih, rata-rata upah per Agustus 2020 malah turun 5,18 persen dari Agustus 2019. Hal ini disebabkan karena peralihan ke pekerja informal--yang biasa diupah lebih rendah--naik dari 55,88% menjadi 60,47%. Menurut BPS, peningkatan terbesar pekerja informal berasal dari pekerja keluarga/tidak dibayar.

Meski masih bekerja, daya beli mereka jadi jauh berkurang. Praktis mereka yang masih bekerja pun ingin mencari pekerjaan lagi.

Faisal mengatakan sebenarnya lonjakan pengangguran dan kehilangan pekerjaan ini bisa diminimalisasi jika stimulus pemerintah berhasil menahan laju perlambatan ekonomi. Masalahnya hal itu tidak terjadi. Pertumbuhan Q3 2020 terkontraksi 3,49%, lebih buruk dari prediksi pemerintah kontraksi 2,9 sampai 1%.

Idealnya pemerintah dapat menggelontorkan stimulus untuk meringankan biaya operasional dunia usaha. Dengan demikian, mereka tetap mau mempertahankan pekerja. Sebab jika pekerja sudah terlanjur di-PHK akan sulit lagi merekrut mereka. Sayangnya stimulus pemerintah terbatas dan tidak bisa semewah negara lain yang pemerintahnya mau menanggung sebagian gaji pekerja.

Kalau pun ada, sebagian stimulus terlambat digelontorkan. Misalnya diskon tarif listrik industri baru berlaku September 2020. Itu pun hanya pembebasan abonemen dan biaya bila pemakaian di bawah minimum.

Stimulus bantuan produktif agar UMKM dapat tetap bertahan pun baru dikeluarkan Agustus 2020. Itu pun hanya bagi yang memiliki rekening dan terdata di bank pemerintah, sedangkan masih banyak UMKM yang belum terjangkau perbankan.

Persoalan terakhir menurut Faisal berkaitan dengan penanganan COVID-19 itu sendiri yang menghambat permintaan masyarakat dan menentukan penghasilan dunia usaha. Alhasil, terlepas apa pun stimulus yang diberikan, laju perusahaan yang merumahkan-PHK pekerja pun tetap sulit ditahan.

“Stimulus perlu dikaji ulang diperbaiki. Perusahaan yang jelas butuh bantuan meringankan biaya,” kata Faisal.

Jokowi Bisa Apa?

Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan pemerintah akan berupaya menekan angka pengangguran itu. “Angka pengangguran akan jadi salah satu fokus bagi kami agar pemulihan ekonomi menciptakan kesempatan kerja sehingga jumlah pengangguran kembali diturunkan,” ucap Sri Mulyani dalam konferensi pers virtual, Kamis (5/11/2020).

Berbagai program pemulihan ekonomi disiapkan, misalnya program Kartu Prakerja yang sasaran utamanya adalah korban PHK. Pemerintah juga telah menggelontorkan bantuan presiden produktif agar pelaku usaha UMKM dapat tetap bertahan dan menampung tenaga kerja. Bantuan bagi dunia usaha berupa insentif perpajakan dan kredit modal kerja juga diyakini dapat menggenjot industri manufaktur agar menyerap tenaga kerja.

Sementara Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto meyakini UU Cipta Kerja akan mampu menjawab persoalan pengangguran lantaran dapat meningkatkan lapangan pekerjaan. Pemerintah memperkirakan per tahunnya ada kebutuhan 13,3 lapangan kerja, dihitung dari jumlah pengangguran 9 juta, korban PHK/dirumahkan 3,5 juta, dan lulusan baru 2,9 juta.

“Kami melihat lapangan pekerjaan jadi hal yang inti utama dari UU Cipta Kerja,” ucap Airlangga dalam Rapat Koordinasi Nasional Pengendalian Inflasi Tahun 2020, Kamis.

Baca juga artikel terkait PENGANGGURAN atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Rio Apinino