tirto.id - Rei (23) baru saja menamatkan pendidikannya di sebuah universitas swasta pada Desember 2019. Ia tengah menanti kabar perusahaan yang sudah dilamarnya sejak Maret 2020. Rei melamar Company Insurance yang berlokasi di Jakarta dan sempat mengikuti interview dan psikotes bersama 20 orang kandidat lainnya.
Pertengahan April lalu, Rei berhasil mencapai tahap akhir. Ia bertahan saat perusahaan yang dilamar itu sudah mengerucutkan menjadi dua kandidat saja. Namun hingga saat ini tak ada kabar lanjutan, apakah ia diterima atau tidak.
Lamaran tersebut bukan satu-satunya. Sejak Januari 2020, Rei telah mencari pekerjaan di bidang manufaktur, tetapi nahas hingga saat ini ia belum juga dapat melepas status sebagai “pengangguran.”
Sekurang-kurangnya ada 500 perusahaan yang sudah ia lamar dalam rentang Januari-Agustus 2020 ini, baik sesuai latar belakang pendidikan maupun yang bukan. Sejak pertengahan Januari hingga Agustus itu, sebagian lamaran berbuah panggilan interview dan psikotes.
Sebagian menyatakan ia tak lolos. Meski demikian ia mengaku sempat menolak beberapa perusahaan dengan alasan fasilitas dan remunerasi kurang sesuai.
“Saat itu saya lebih gampang memutuskan untuk menolak karena keadaan masih normal, kalau misal keadaan seperti sekarang, mungkin saya akan ambil,” ucap Rei.
Tidak hanya fresh graduate, kesulitan mencari kerja juga dialami yang sudah berpengalaman. Bogo (23 tahun) sudah sempat bekerja selama 2018-2019 di Malang, Jawa Timur. Belakangan ia sempat berhenti bekerja karena sejumlah alasan.
Bogo memiliki latar belakang D3 akuntansi dan berharap bekerja setidaknya menjadi Staff Accounting. Sama seperti Rei, ia mencari kerja sejak Januari 2020. Dari 100 lebih lamaran yang dikirim daring maupun pos, hanya ada 9 yang memanggil dia untuk interview. Namun tak ada satu pun yang menerimanya.
“Masih belum ada rezekinya,” ucap Bogo.
Kesulitan yang sama juga dialami Viky (24 tahun). Viky sudah mengirim lamaran ke 29 perusahaan melalui Jobstreet. Angka itu belum termasuk LinkedIn dan Kormo.
Hasilnya tak ada yang merespons sampai-sampai ia mencari kerja lewat Instagram dan mendapat dua lowongan menjanjikan di bidang pergudangan.
Sejak menamatkan pendidikannya pada 2016, ia sudah sempat bekerja. Namun Viky saat ini tengah mencari pekerjaan baru usai di-PHK baru-baru ini karena COVID-19. Dibanding pengalamannya melamar dulu, ia tak menyangka mencari pekerjaan di tengah pandemi akan sesulit ini.
“Sulit sekali mencari pekerjaan di tahun 2020,” ucap Viky.
Sulitnya mencari pekerjaan di tengah pandemi ternyata memang wajar. Analisis big data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat lowongan kerja memang menyusut. Jumlah iklan lowongan Januari 2020 sempat mencapai 12.168, lalu turun menjadi 11.103 (Maret), 6.134 (April), dan 3.726 (Mei).
Jumlah perusahaan yang menawarkan lowongan kerja juga turun. BPS mencatat ada lebih dari 500 perusahaan yang menawarkan lowongan di jobs.id tiap bulannya hingga Maret 2020. Namun jumlahnya berkurang 50% menjadi 268 (April 2020) dan 207 (Mei 2020).
COVID-19 juga telah menimbulkan ketidakpastian dan perlambatan ekonomi bagi dunia usaha sehingga berujung pada PHK, perumahan karyawan maupun penyerapan tenaga kerja. Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) Bank Indonesia pada Q2 2020 mengonfirmasi hal ini.
Indikator Saldo Bersih Tertimbang (SBT) kegiatan usaha pada Q2 2020 tumbuh minus 35,75% lebih buruk dari Q1 2020 yang minus 5,56%. Artinya kegiatan usaha jauh berkurang. COVID-19 terbukti menghambat kegiatan produksi dan memukul permintaan.
SBT tenaga kerja tumbuh minus 22,35% di Q2 2020 memburuk dari Q1 2020 minus 1,13%. Pemburukan ini berarti ada pengurangan penggunaan tenaga kerja oleh pelaku usaha.
Sejalan dengan itu, Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) mencatat jumlah pengangguran sudah bertambah sekitar 3,7 juta orang selama pandemi.
Data BPS per Februari 2020 mencatat jumlah pengangguran sudah mencapai 6,88 juta orang. Dengan tambahan 3,7 juta itu, maka jumlah penganggur diperkirakan mencapai 10,58 juta orang.
Kondisi ini sama buruknya pada angka pengangguran 2007 yang juga mencapai 10 juta orang dengan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) 9,1%. Belum lagi jika memperhitungkan pekerja informal dan mandiri.
Persaingan antara pencari kerja juga tidak bisa dipungkiri semakin menjadi-jadi. Selain menghadapi limpahan tenaga kerja dari pengangguran, Kemnaker mencatat tiap tahunnya ada 2 juta tenaga kerja baru yang perlu diakomodir.
Wakil Ketua Umum bidang ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia Bob Azam mengatakan sekitar 80% pelaku usaha terdampak COVID-19 dan dari jumlah itu mengalami gangguan hingga 40-50% bisnisnya. Salah satu dampaknya, kata Bob, adalah mereka menghentikan perekrutan tenaga kerja.
Kalau pun hari ini ada lowongan, ia bilang itu sebatas mengisi kekosongan saja. Misalnya akibat perusahaan yang kebablasan mem-PHK sehingga kekurangan tenaga kerja, regenerasi mereka yang pensiun, atau pekerjaan tersebut tergolong langka pasar tenaga kerjanya.
“Boro-boro baru, yang ada saja berlebih. Cari kerja susah, sudah pasti,” ucap Bob saat dihubungi, Kamis (6/8/2020).
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Abdul Aziz