Menuju konten utama

Bagaimana Para Leluhur Kita Menguasai Dunia

Leluhur semua orang adalah imigran. Mereka menyingkirkan manusia-manusia lain yang sudah lebih dulu ada dan menguasai dunia dengan bahasa.

Bagaimana Para Leluhur Kita Menguasai Dunia
Lukisan gua dari zaman prahistorik di Tassili N'Ajjer, Algeria. FOTO/iStock

tirto.id - Alam raya hanya mengenal satu urusan: berubah.

Ia bekerja tanpa mengikuti rancangan atau perintah apa pun. Dalam rentang 13,5 hingga 3,8 miliar tahun lalu, ia semau-maunya menciptakan waktu dan ruang, energi, serta materi dengan Ledakan Besar; menggabungkan materi dan energi jadi atom-atom dan menggabungkan atom-atom jadi molekul; dan dari molekul-molekul tertentu, ia merakit entitas rumit bernama organisme alias makhluk hidup.

“Dan baru-baru ini, hanya sekitar enam juta tahun lalu, seekor makhluk hidup berjenis kera besar melahirkan dua anak. Yang satu menjadi leluhur para simpanse dan yang lainnya adalah buyut kita sendiri,” tulis sejarawan Yuval Noah Harari dalam buku Sapiens: A Brief History of Humankind (2014).

Bahwa Homo sapiens, spesies kita, kini menguasai planet Bumi tentu terang belaka. Bahwa kita berbeda dari hewan-hewan lain, jelas. Tetapi kita tak mencapai kedudukan itu secara tiba-tiba. Pelan, sedikit demi sedikit, kita berubah bersama alam raya dan seluruh isinya.

Perubahan yang memerlukan waktu ratusan hingga ribuan kali lipat usia manusia itu membuat kita melupakan dua hal penting—dan baru dapat mengingatnya kembali dengan bantuan sains modern. Pertama, Homo sapiens adalah bagian dari trah kera besar: simpanse, bonobo, gorila, dan orangutan adalah kerabat jauh kita.

Kedua, dan yang lebih penting: Makna kata human alias manusia yang sebenarnya adalah “hewan anggota genus Homo” dan genus itu mencakup pula spesies-spesies selain Homo sapiens.

Manusia Imigran

Manusia terlahir untuk pertama kali sekitar 2,5 juta tahun silam di Afrika Timur, dari genus Australopithecus (Kera Selatan). Setengah juta tahun kemudian, sebagian manusia antik itu meninggalkan tanah kelahiran mereka, mengembara dan menetap di kawasan Afrika Utara, Eropa, dan Asia. Merekalah rombongan imigran pertama di planet ini.

Tuntutan hidup di satu wilayah tentu berbeda dari wilayah-wilayah lain, maka manusia-manusia itu berubah ke arah yang berbeda, mengalami mutasi genetik yang berlain-lainan.

Manusia-manusia pertama yang mendiami Eropa dan Asia barat berevolusi menjadi Homo neanderthalensis (mudahnya, Neanderthal) alias “Manusia dari Lembah Neander.” Di Asia Timur, mereka menjadi Homo erectus atau “Manusia Tegak.” Di Pulau Jawa, Homo soloensis alias “Manusia dari Lembah Solo.” Di Pulau Flores, Homo floresiensis. Dan pada 2010, penggalian arkeologis di gua Denisova, Siberia, berbuah penemuan fosil tulang anggota spesies manusia yang belum dikenal—Homo Denisova.

“Ketika mereka berevolusi di tempat-tempat tinggal baru, evolusi di Afrika Timur tak berhenti. Spesies-spesies baru tetap bermunculan di sana,” tulis Harari. “Mulai dari Homo rudolfensis atau 'Manusia dari Danau Rudolf,' Homo ergaster atau 'Manusia Pekerja,' hingga spesies kita, yang secara congkak kita namai Homo sapiens alias 'Manusia Bijaksana.'”

“Yang ganjil bukanlah keberagaman spesies manusia pada masa itu, melainkan eksklusifitas Sapiens kini,” tulis Harari. Bagaimana Sapiens akhirnya menjadi satu-satunya kelompok manusia di Bumi?

Ada dua teori tentang hal tersebut. Yang pertama adalah teori kawin silang atau interbreeding theory. Menurut teori ini, sapiens kawin-mawin dengan manusia spesies lain seiring persebaran mereka ke seluruh dunia sejak sekitar 70 ribu tahun lalu—dengan manusia Neanderthal di Eurasia, dengan Erectus di Asia Timur, dan seterusnya—sampai populasi mereka menyatu. Itu berarti, hari ini tidak ada Sapiens murni.

Lainnya ialah teori penggusuran atau replacement theory. Kisah yang dianggit teori ini adalah kisah ketidakcocokan, perang, dan bahkan genosida. Para pendukung teori ini tidak menolak kemungkinan kawin silang antar spesies, namun menurut mereka, jurang genetik yang kelewat besar di antara spesies-spesies itu menjadikan keturunan mereka steril—sebagaimana hasil kawin silang kuda dan keledai, misalnya.

Menurut teori penggusuran, manusia-manusia selain Sapiens punah bersama gen masing-masing dan, dengan kata lain, manusia modern adalah keturunan murni Homo sapiens.

“Pertarungan dua teori ini menentukan banyak hal,” tulis Harari. “Dari perspektif evolusioner, 70 ribu tahun adalah waktu yang relatif singkat. Seandainya teori penggusuran benar, semua manusia yang hidup hari ini mengangkut gen-gen yang sama sehingga perbedaan rasial jadi tidak relevan. Namun, jika yang benar adalah teori kawin silang, boleh jadi ada perbedaan genetik antara orang-orang Afrika, Asia, dan Eropa.

“Dan itu adalah dinamit politis yang ampuh buat menciptakan bom teori-teori rasis,” tulis Harari.

Teori penggusuran “dipercaya” lebih banyak orang bukan hanya karena ia lebih patut secara politis, melainkan juga mempunyai pijakan arkeologis yang lebih mantap. Namun, pada 2010, keadaan itu berbalik. Para pakar genetika menemukan bahwa ada 1 sampai 4 persen DNA manusia Neanderthal dalam DNA populasi modern di Timur Tengah dan Eropa serta 6 persen DNA manusia Denisova dalam DNA orang-orang Melanesia dan pribumi Australia masa kini.

Temuan-temuan itu cukup untuk membuktikan bahwa perkawinan silang antar spesies manusia memang terjadi—dan keturunannya dapat berkembang-biak dengan baik. Namun, di sisi lain, kadar warisan genetik itu terlalu kecil untuk kita dapat menyimpulkan bahwa Sapiens menjadi penguasa tunggal planet ini sepenuhnya lewat jalan damai.

Besar kemungkinan, interaksi Sapiens dengan manusia-manusia lain menyerupai interaksi antarnegara di masa kini: mereka berebut sumberdaya yang terbatas, kadang para anggotanya bekerjasama, kadang berperang, dan mereka hidup terpisah dalam kalangan masing-masing.

Sekitar 50 ribu tahun lalu, Homo soloensis dan Homo denisova terakhir mati. Selang 20 ribu tahun, Neanderthal menyusul. Dan 12 ribu tahun yang lalu, manusia-manusia Flores, yang bertubuh lebih kecil daripada saudara-saudaranya, turut berakhir.

Terlepas dari pelbagai perbedaan fisik di antara spesies-spesies tersebut, mereka sama-sama sanggup membangun dan merawat struktur sosial yang kompleks, menggunakan perkakas, dan mendomestifikasi api, tetapi mengapa semua kecuali Sapiens musnah? Apa faktor yang dipunyai si imigran terakhir dan tidak dipunyai para pendahulunya?

Infografik Homo Sapiens

Manusia Pengkhayal

Secara fisik, Sapiens generasi pertama yang mendiami Afrika Timur sekitar 150 ribu tahun lalu sama belaka dengan kita. Namun, mereka tidak menunjukkan keunggulan apa pun atas spesies-spesies lain manusia. Bahkan, imigrasi pertama Sapiens sekitar 100 ribu tahun lalu ke Timur Tengah berakhir dengan kegagalan.

Rekam jejak itu membuat para ilmuwan menduga bahwa struktur otak Sapiens berbeda dari kita. Mereka mirip kita, tetapi kemampuan kognitif mereka jauh lebih rendah.

Namun, sejak sekitar 70 ribu tahun lalu, terjadi sesuatu kepada Sapiens. Mereka meninggalkan Afrika Timur buat kali kedua dan berhasil menetap di seluruh dunia. Sekitar 45 ribu tahun lalu, mereka menyeberangi samudera dan sampai ke Australia. Setidaknya, untuk keperluan itu saja, Sapiens telah menciptakan kapal, lampu minyak, dan alat-alat menjahit (untuk membuat pakaian hangat). Lebih jauh, mereka bahkan menciptakan karya seni.

“Dalam rentang 70 ribu hingga 30 ribu tahun itu Sapiens mengalami Revolusi Kognitif. Kita tidak tahu apa penyebabnya. Teori yang paling banyak dipercaya: mutasi genetik mengubah otak Sapiens dan memungkinkan mereka berpikir dengan cara yang belum pernah dikenal sekaligus berkomunikasi menggunakan bahasa baru.

“Mengapa ia terjadi hanya pada Sapiens? Sejauh pemahaman kita, besar kemungkinan itu hanya kebetulan murni (pure chance). Tetapi lebih penting mengetahui akibat dari mutasi itu ketimbang penyebabnya. Apa yang istimewa dari bahasa baru Sapiens sehingga memungkinkan kita menaklukkan dunia?” tulis Harari.

Berbeda dari bahasa spesies-spesies lain yang hanya dapat digunakan untuk menyampaikan informasi, bahasa baru itu memungkinkan Sapiens berbicara tentang hal-hal yang belum pernah mereka lihat, sentuh, atau hidu.

“Mitos dan legenda dan dewa-dewa dan agama-agama muncul pertama kali bersama Revolusi Kognitif,” tulis Harari.

Jika banyak hewan dan spesies manusia pada masa itu bisa berkata, “Awas, ada buaya!” kepada kawanannya dalam bahasa masing-masing, Sapiens sanggup berkata, “Buaya adalah ruh pelindung suku kita.”

Kemampuan membicarakan fiksi itulah, menurut Harari, yang merupakan fitur terunik bahasa Sapiens. Fiksi tidak hanya memungkinkan kita mengkhayalkan berbagai hal, tetapi juga mengkhayalkannya secara kolektif. Dan khayalan kolektif itu, apa pun wujudnya (keyakinan terhadap dewa-dewa maupun rasa kebangsaan), membuat kita sanggup bekerjasama dengan banyak orang, terlepas dari latar belakang masing-masing, selama kita meyakini khayalan kolektif yang sama.

“Semut sanggup bekerjasama dalam jumlah besar, tetapi mereka sangat kaku dan terlalu mengandalkan kekerabatan. Di sisi lain, kerjasama di kalangan simpanse lebih lentur tetapi mereka hanya dapat melakukannya dalam jumlah kecil yang saling mengenal.

“Hanya Sapiens yang dapat bekerjasama secara lentur dengan orang-orang asing dalam jumlah sebanyak mungkin. Dan karena itulah Sapiens menguasai dunia, sedangkan semut memakan sisa-sisa makanan kita dan simpanse terkurung di kebun binatang dan laboratorium-laboratorium penelitian,” tulis Harari.

Baca juga artikel terkait HOMO SAPIENS atau tulisan lainnya dari Dea Anugrah

tirto.id - Humaniora
Reporter: Dea Anugrah
Penulis: Dea Anugrah
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti