Menuju konten utama

Cerutu: Sobat Dekat Che Guevara hingga Amunisi Revolusi RI

Ernesto “Che” Guevara pernah berkata: mengisap cerutu di kala senggang ialah sobat sejati bagi pejuang yang kesepian.

Cerutu: Sobat Dekat Che Guevara hingga Amunisi Revolusi RI
Ernesto Che Guevara menghisap cerutu saat wawancara ekslusif di ruangan kerjanya, 1963. FOTO/Rene Burri/Magnum Photos

tirto.id - Bagi Che Guevara, mengisap cerutu bukanlah kemewahan, melainkan bagian terpenting dari jalan revolusionernya. Cerutu semacam kompanyon spiritualnya mengikis kesukaran hidup yang penuh aral dan marabahaya.

Bersama pejuang gerilyawan setianya yang membuhulkan revolusi, Guevara pernah berkata: mengisap tembakau di kala senggang ialah sobat sejati bagi pejuang yang kesepian.

Kebiasaan mengisap cerutu dilakoni pula oleh banyak pembesar dunia, termasuk Fidel Castro (favoritnya merek Cohiba) dan lawannya John F. Kennedy (memborong seribu lebih cerutu Kuba sebelum menerapkan embargo), hingga orang hebat macam Winston Churchill (8 hingga 10 batang per hari).

Baca:

Di Indonesia, nama yang perlu disebut salah satunya adalah Soeharto, penguasa antikomunis selama 32 tahun yang tidak segan menerapkan intrik politik di kalangan pembantu setianya demi tampuk kekuasaan tetap aman. Karena itu, bagi beberapa pejabat Orde Baru yang dekat dengan 'Bapak Pembangunan' itu, polah Soeharto mengisap cerutu bisa menggambarkan daleman hati.

Satu kali pada 1980-an, surat tanah Tien Soeharto dipalsukan oleh seorang perwira Angkatan Darat. Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Rudini menindak perwira itu. Namun, isu miring bahwa Rudini menindak perwira itu merebak. Rudini tak terima. Ia menghadap Soeharto di Istana, yang tengah mengisap cerutu.

Usai Rudini menjelaskam, Soeharto menyuruh Rudini menghadap Ibu Tien di Cendana. Ibu negara mengerti. Nama Rudini bersih dari urusan sertifikat tanah. Tak lama Soeharto melintas sambil mengisap cerutu. Sambil tersenyum, Soeharto bertanya, “Bagaimana urusannya?” Rudini menjawab, “Sudah selesai, Pak.”

“Sejak peristiwa itu, ada yang memberitahu saya bahwa kalau Pak Harto mengisap cerutu itu tanda hatinya sedang riang. Dan kalau kita (sedang) lapor, suasana hatinya pasti enak,” ujar Rudini.

Namun kebiasaan mengisap cerutu tak bisa selamanya dilakoni Soeharto. “Pada tahun terakhirnya, Soeharto tidak merokok. Ia dilarang dokter merokok. Tetapi masih suka menggigit-gigit cerutu,” cerita Azwar Anas dalam Azwar Anas: Teladan dari Ranah Minang (2011). Besar tidaknya cerutu yang digigit, menurut Anas, adalah penanda dari suasana hati 'The Smiling General'.

“Jika Soeharto menggigit-gigit cerutu besar, itu pertanda mood Soeharto sedang baik. Hati dan pikirannya terbuka. Tetapi jika ia menggigit-gigit cerutu kecil, hati-hati, karena itu pertanda pikirannya penuh masalah dan yang hidup di hatinya tak dapat diduga,” aku Anas.

Baca:

Infografik HL Indepth Cerutu Nusantara

Dikenalkan oleh Orang Eropa, Dipakai buat Mengusir Penjajah

Jauh sebelum wilayah-wilayah yang kini disebut Indonesia, kebiasaan mengisap cerutu di sini semula dikenalkan oleh orang-orang Eropa.

Orang-orang Belanda pada abad 17 punya kebiasaan “menenggak segelas jenewer sebelum sarapan pagi, dan menjelang sore mengonsumsi bergelas-gelas arak sambil duduk tanpa baju di rumahnya yang gelap dan kurang angin. Dan karena cerutu-cerutu Belanda yang kecil hanya berharga sekian gulden per kotak, dan cerutu-cerutu Havana yang semok itu hanya selisih beberapa gulden lebih mahal ... maka udara Betawi selalu biru karena asap tembakau,” tulis Simon Winchester dalam Krakatau: Ketika Dunia Meledak 27 Agustus 1883 (2007).

Perlahan orang-orang pun menirunya. Bagi pribumi inferior, mengisap cerutu dan minum tembakau bisa membuat mereka merasa seperti orang-orang Eropa. Adrian Vickers dalam Sejarah Modern Indonesia (2005) menyimpulkan: "Jika mengenakan sepatu membuat seseorang setara dengan Belanda, maka sensasi baru merokok kretek khas Indonesia adalah penanda seseorang yang memiliki kecanggihan kota.”

Cerutu tidak berasal dari Eropa, dan asal muasal cerutu belum terang benar. Ada yang menyebut bahwa kebiasaan mengisap cerutu dari peradaban suku Maya. Menurut Encyclopedia of American Indian Contributions to the World (2009), istilah bangsa Maya untuk merokok adalah sikar, akar kata untuk cigar alias cerutu.

Di era pemerintahan kolonial, perkebunan tembakau, termasuk untuk rokok dan cerutu, mulai berkembang sebagai industri sejak era Tanam Paksa pada 1830. Ada sedikitnya tiga sentra tembakau cerutu sejak masa itu: Deli, kawasan pantai timur Sumatera; Vorstenlanden atau 'Tanah Kerajaan' untuk menyebut kawasan di Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta; dan Karesidenan Besuki (Jember, Probolinggo, Bondowoso, Situbondo, dan Banyuwangi).

“Deli menjadi termasyhur di dunia sebagai kawasan produksi daun pembungkus cerutu,” tulis Jan Breman dalam MenjinakkanSangKuli (1997).

Baca laporan khusus Tirto soal kebijakan pintu terbuka kolonial yang mengakhiri era Tanam Paksa: Swastanisasi Gula, Meliberalkan Jawa

Menurut Ensiklopedia Kretek (2014), yang menjabarkan dunia tembakau dari A-Z, pelopor perkebunan tembakau untuk cerutu di Deli bernama Deli Maatschappij. Ia didirikan pada 1869 oleh Jacobus Nienhuys, P.W. Janssen, dan Jacob Theodare Cremer. Ia merajai pasar tembakau Deli yang dikenal sebagai bahan pembungkus cerutu alias wraffer terbaik dunia. Saat pecah Perang Dunia I (1914-1918), lebih dari 92% wraffer impor di Amerika Serikat didatangkan dari Sumatera.

Di Vorstanlanden, orang bernama Mendez da Costa dianggap pelopor tembakau jenis cerutu di wilayah yang kini masuk daerah Klaten itu pada 1858. Sementara di Besuki, tembakau Na-oogst alias tembakau untuk cerutu kini sentra terbesarnya berada di Jember. Jember juga dikenal berkat pengembangan satu-satunya perkebunan tembakau Kuba di Indonesia.

Di Yogyakarta pada 1918 berdiri sebuah pabrik cerutu—yang dikenal sebagai Negrosco. Pabriknya tak sampai 20 km dari kampung Soeharto di Yogyakarta.

Semula pabrik ini berada di daerah Bulu, sekitar Jalan Magelang. Pada 1923 pindah ke Baciro. Di zaman pendudukan Jepang, ia berganti nama menjadi Jawa Tobacco Kojo. Belakangan diambilalih dan menjadi Taru Martani alias 'Daun Kehidupan'.

Pabrik tersebut, menurut Anton Haryono dalam Awal mulanya adalah Muntilan: misi Jesuit di Yogyakarta, 1914-1940, merekrut pekerja dengan bantuan seorang pastur bernama van Driesche. Pastur lain bernama Frans Strater menilai bahwa "pabrik cerutu Negrosco cukup membantu kesejahteraan para pekerja.”

Di masa revolusi kemerdekaan, menurut Adaby Darban dalam Biografi Pahlawan Nasional Sultan Hamengku Buwana IX (1998), Sang Sultan berbisnis berpeti-peti cerutu untuk revolusi.

"Setelah perjalanan selama 12 jam dengan kereta api ke Jakarta, Sultan sempat menukarkan berpeti-peti cerutu Yogya dengan ban mobil,” tulis Darban.

Menurut pengakuan dr. Abdul Halim dalam Di Antara Hempasan dan Benturan: Kenang-kenangan dr Abdul Halim 1942-1950 (1981), “Kalau Sri Sultan datang dari Yogyakarta, beliau membawa rokok Negresco. Rokok itu dibikin di Yogya, cerutu kaleng, Republik punya.”

Dari pabrik cerutu yang didirikan Belanda, hasil produksinya kemudian dinikmati para Republiken, bahkan digunakan pula untuk melawan Belanda. Nasionalisasi aset memungkinkan pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta dan Bank Indonesia membelinya pada 1950 dan menjadikannya sebagai Perusahaan Daerah Taru Martani. Hingga kini pabrik ini setidaknya memproduksi 14 jenis cerutu sebagai komoditas ekspor, termasuk merek Ramayana dan Adipati.

Baca juga artikel terkait CERUTU atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Humaniora
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Fahri Salam